WHAT'S NEW?
Loading...
Kerinduan Ini..............
Malam merambat pelan dalam kesunyian yang seakan abadi. Dingin menelusup melalui sela-sela dedaunan yang merimbun bergoyang tertiup angin. Dingin memang terasa beku menusuk tulang. Sayup-sayup terdengar nyanyian Love so Beautiful-nya Michael Bolton.
Kumasih terduduk termangu di sini di tepi pembaringan di kamarku. Kutengok jam mungil yang tersandar pasrah di depanku. Pukul 23. 57. belum terlalu larut sebetulnya. Tetapi sunyi terasa mencengkeramku dalam dunia asing yang seakan senyap.
Aku tak tahu apa yang salah sebenarnya. Hanya saja aku merasa tak dapat tidur malam ini. Entah kenapa. Ada bayang-bayang rindu yang begitu menggeletar gelisah menampar nuraniku. Ah, rindu. Sebuah kata yang manis sebetulnya. Dan seharusnya menjadikan duniaku penuh warna dengan kerinduan-kerinduan yang romantis.
Rinduku, mengantarkanku pada sosok indah seseorang yang kutemui beberapa waktu lalu. Kau begitu indahnya, hingga aku seakan tak menemukan sesuatu yang salah pada bayangmu. Keramahan, aura keikhlasan dan ketulusan yang terpancar bening dari wajahmu. Ah,… mungkin inilah ketertarikan itu. Yach, ketertarikanku padamu. Entah dalam rasa apa aku tertarik padamu. Sekedar tertarik, mengagumimu, atau bahkan aku mencintaimu?
Aku tak tahu. Aklu terlalu bodoh untuk mengeja setiap ketertarikan ini menjadi uraian perasaan yang bisa dijabarkan. Segalanya terasa sangat abstrak. Tak terlukiskan. Membingungkan. Memusingkan. Tapi di satu sisi indah mendebarkan. Kucoba mengahdirkanmu. Menerawang senyummu. Melukis raut wajah denagn pancaran aura yang penuh keramahtamahan. Ah, semua itu memang ada padamu. Mungkin aku terlalu melankolis. Bahkan mungkin mengada-ada. Berharap kamu menyapa aku. Berharap aku bisa sekedar bicara padamu meski hanya sepatah kata,”Apa kabar.”
Ah, lagi-lagi itu hanya pengharapanku. Tapi jujur kuakui, kau begitu ramah di mataku. Senyummu itu. Memberikan rasa senang ketika aku memandang kamu tersenyum.
Aku tak tahu. Dari mana rasa ini berawal. Dan memang sepertinya aku tak mau tahu. Yang aku tahu aku menjadi begitu ingin setiap hari melihat senyum itu. Senyumanmu. Senyum yang penuh pesona. Senyum yang membuat hati ini terasa berada pada sebuah tempat. Mungkin bukan di dunia ini. Ataukah mungkin di surga? Sebuah tempat yang penuh damai. Penuh cinta. Dan penuh kasih. Ah, memang senyuman mampu menghantarkan perasaan melambung entah ke belahan dunia mana. Dan itu adalah senyumanmu.
Kerinduan ini menjadi semakin menebal. Seiring malam mengantar kesunyian menjemput dini hari. Perlahan namun pasti berarak menepi. Love Me Tender-nya Elvis Presley mengalun perlahan mengisi sunyi malam. Dari siaran salah satu radio yang menyajikan musik-musik lembut penghantar istirahat.
Kerinduan ini. Kutujukan padamu, wahai sesosok raga yang mengguncang mimpi-mimpi tidur malamku. Kuterbangkan bersama suara-suara serangga malam, agar sampai kepadamu. Kepada sososk yang menghadirkan debar rasa asing namun indah dalam denyut hariku.
Kerinduan ini, mengisi langit malamku dengan sejuta keresahanku. Juga dengan sejumput do’a agar esok aku masih bisa menatap mentari. Mengarungi hari dan bersua denganmu. Pemilik senyuman indah. Seindah fajar pagi hari yang merekah jingga di timur cakrawala. Aku merindukan itu. Merindukan mentari pagi menyapa bumi. Merindukan embun pagi yang menggantung laksana kristal pada pucuk-pucuk daun. Merindukan hawa sejuk segar udara pagi. Ah, aku merindukan semuanya. Dan pastinya aku merindukanmu. Senyumanmu.
Beranjak menepi, jarum jam berputar membawa waktu semakin merapat ke ujung hari. Purnama di atas cakrawala terang bersinar menyiram bumi dengan cahaya lembut keperakan. Aku bias pastikan. Kamu telah lelap memeluk mimpi. Mimpi-mimpi indahmu. Tentang aku kah salah satu episode mimpimu? Ah, aku ingin tertawa membayangkan itu. Aku rasa tak mungkin kamu bermimpi tentang aku. Tetapi bagiku tak mengapa. Biarlah aku saja yang bermimpi tentang kamu. Tentang sosokmu. Dan yang pasti tentang senyummu. Karena di situlah daya tarikmu. Di situlah aku terperangkap. Dalam senyum di wajahmu.
Yah, aku terperangkap. Terperangkap dalam angan dan khayal tentang kamu lewat senyumanmu itu. Tahukah kamu? Please, release me. Bebaskan aku. Bebaskan aku dari perasaan tak tenang ini. Karena kamu. Seperti juga lagu yang mengalun sendu dalam kamarku malam ini. Entah suara siapa yang mengantarkan lagu itu sampai ke telingaku. Merdu mendayu, sekaligus sendu.
Jam 00.30 tepat. Masih sempat mataku menatap jam dinding mungil yang tersandar sunyi di kamarku. Ah, tidak lelahkah engkau wahai jarum jam yang berputar tanpa henti. Seandainya kamu bisa cerita, aku ingin tahu cerita apa yang akan kamu sampaikan. Apakah kamu akan bercerita bahwa kamu menyesal karena tercipta menjadi sebuah jarum jam. Yang selama hidup kamu harus terus bergerak dalam irama yang tetap. Ah, mungkin kamu tidak menyesal. Bahkan mungkin kamu akan bercerita dengan bangganya, karena kamulah maka dunia tahu tentang waktu. Bukankah waktu amat sangat berharga. Bahkan dalam sebuah kitab suci Tuhan bersumpah dengan menggunakan demi waktu. Ah, waktu. Kamu memang tak terlihat. Tapi kamu bisa terbaca. Bahkan kamu bisa menjawab semua pertanyaan yang tak bisa terjawab. Bukankah banyak orang yang putus asa menunggu jawaban, akhirnya hanya mampu mengatakan biarlah waktu yang menjawabnya.
Seperti juga pertanyaanku saat ini. Aku tak ingin jawaban. Aku hanya ingin tahu, apakah waktu akan terus menumbuhkan segenap perasaan ini. Perasaan rindu yang tertuju padamu. Pada sosok yang menghisap segenap kerinduanku yang masih ada. Ah, lagi-lagi waktu yang akan berperan atas rasa ini.
Kenangan dan Hujan; Senja
Hujan, selalu saja menguarkan aroma yang teduh di hatiku.... ada rasa tersendiri yang terselip di dasar hati ketika memandang titik-titik air hujan yang turun dari tingkap langit. Suasana yang tenang, indah sekaligus rasa sepi yang menyergap.... sepi yang ngelangut.....rasa yang damai...ah, berbagai perasaaan campur aduk bersama hujan. Ada juga sebongkah kenangan yang ikut bermain-main di sana.....Memandangi hujan di senja, di beranda kamarku adalah sesuatu yang sangat aku sukai. Juga memandang langit barat, di mana senja menorehkan beragam warna di langit sana... kemilau kuning senja,,,, itu yang kunamakan. Indah, sekaligus romantis bukan?????
apalagi senja yang hujan selalu disertai kabut...... gumpalan-gumpalan warna putih seakan keluar dari sela-sela pepohonan...ada pohon jati yang berdiri kokoh, menjulangkan dahan-dahannya yang perkasa, menyembul di sela-sela pekat kabut putih yang lembut......
senja.......
hujan............
kenangan................
tiga hal yang menyertai senjaku kali ini. Juga kenangan tentangmu....
kenangan masa silamku yang lekap bersama hujan.....
kamukah itu????
mungkin saja.....
kadang aku merasa, kamu di ujung senja itu, berdiri memandang lukisan langit yang bertabur kuning, jingga, juga kesumba....
ah,,,,, mengapa juga senja hadir hanya sekejap???
3 puisi
CERITA PAGI
Pagi ini hujan masih
menyanyi
Melantunkan kidung syukur
karena pongah sang kemarau telah menjauh pergi.
Pagi ini, sisa hujan
semalam masih juga terus menetes. Melarutkan debu, mengguyur ranting pohon yang
kemarin mati kehausan.
Pagi ini, dingin tetap
merayap. Menelusuri segenap jiwa, pada manusia yang lalu lalang di tanah-tanah
becek sisa hujan semalam
Pagi ini, angin masih
berlari kencang dan masih tertawa membawa banyak cerita.
Mengelus wajah-wajah
mungil nan lucu anak-anak kecil yang tertawa ceria bermain lumpur dan tanah
liat. Membelai rambut ikal bergelombang perawan-perawan desa yang berjalan
beriringan, mengendong sekeranjang harap tersisa.
Pagi ini, kabut masih
membentangkan tirainya. Putih. Melebur menjadi satu dengan awan yang biasa berarak
di tingkap langit biru semesta.
Pagi ini, matahari murung
terkalahkan kabut lembab, dan angina tetap tertawa dan menari-nari kegirangan
karena sang matahari tak mampu menepati janji.
Kemarin, matahari mengucap
sepotong janji pada seraut wajah murung yang melongok dari buram kaca
jendelanya.
“Percayalah, aku pasti
datang untukmu. Bersinar cerah, mengantarkan sejumput asa yang kelak akan kau
bawa melanglang buana,” janjinya.
Dan wajah itu tersenyum.
Tetapi kenapa murung tak jua menepi dari wajah piasnya?
Dia tak percaya lagi asa.
Dan bahkan janji sang matahari sekalipun.
“Kehidupan terlalu pongah
untuk kujalani,” rutuknya.
Gontai dia menyusur tepian
telaga pengharapan yang mengeruh. Biduk retaknya tertambat lunglai pada rapuh
kehidupan. “Aku tak percaya lagi sebuah kebaikan,” teriaknya.
Bertahun-tahun dibangunnya
asa itu. Dirangkainya sejumput demi sejumput, dan tersulam menjadi sebuah
lembar mimpi dan harapan. Dibentangkannya sepanjang titian perjalanan.
Hingga akhirnya semua
terkoyak!
Pagi ini, seraut wajah itu
berkubang dalam kepingan asa yang terserak. Hatinya membeku.
“Sekiranya saat ini bumi
terbelah dan langit runtuh, aku ingin lebur ke dalamnya, agar tak ada lagi
kecewa.”
CINTA
:<yang tak seharusnya>
Pagi….
Basah berembun seetelah
sisa hujan yang turun semalam.
Hati ini teronggok biru
dalam dingin yang beku. Bernuansa ragu.
Ragu menapak hari, dalam
rasa asing yang berdenyar nyeri.
Perasaan apa yang kini
membias? Seakan cinta selalu menyodorkan nuansa asing yang tak biasa. Bahkan
ini tak sewajarnya.
Tuhan, aku mencintainya
Dalam sebuah bingkai yang
aku tahu tak sewajarnya……
-<ketika aku mencintaimu>
TUHAN, KAU DI MANA?
Aku adalah jiwa yang
bimbang. Yang tak jua mengerti mengapa takdir tak bisa ditukar.
Aku adalah jiwa yang
gersang, yang mencoba pasrah ketika realita tak bisa aku belokkan.
Aku adalah jiwa yang terus
melayang, ketika sang Kuasa bermain dengan keinginanNya.
Aku tak bisa mengelak, pun
pula menolak. Ketika takdir menulis segala catatannya dalam prasasti kelam alur
hidupku.
Nasibkah? Atau takdir?
Lalu, dimana Tuhanku
ketika seharusnya aku meminta jawab atas hasil karyaNya?
Cerpen: Pelangi Senja
Banyak
orang bilang, apalah arti sebuah usia. Usia hanyalah deretan satu angka,
kemudian bertambah menjadi deretan dua angka. Kalaulah ada yang sampai
mempunyai deretan angka tiga, itu tentu saja sebuah rekor luar biasa. Yang
tentu saja dapat dimasukkan dalam rekor MURI, untuk wilayah nasional dan yang
pasti bisa masuk Guiness Book of Record kalaulah itu tercium dunia
internasional.
Usia.
Ah, aku terlalu takut menghitung usiaku. Entah kenapa ada pobia tak beralasan
ketika ada orang yang bertanya tentang usiaku. Padahal sekali lagi, apa artinya
bilangan usia. Tapi justru itulah masalahnya. Ketika ada orang bertanya tentang
usia, huh, aku rasanya seperti ingin langsung menyusut, kemudian menguap
bersama udara yang tak kasat mata. Padahal bukankah usia hanyalah deretan
angka?
Usia
itu sendiri hanyalah penanda berapa lama kita hidup. Walau menurutku, berapapun
usia seseorang, hanyalah pengulangan dari satu tahun yang berulang terus
menerus. Walau itu memang secara jujur aku mengakui, kalaulah aku ditanya
tentang usia, aku mendadak ingin berubah menjadi gas.
Dan
kini, sudah bulan Januari. Tentu bukanlah peringatan tentang pergantian tahun
baru yang ada di kepalaku. Terbayang di benakku, tentang bertambahnya usiaku
yang terus merangkak. Pelan namun pasti. Aku sudah akan berusia 43 tahun di
tanggal 12 Januari nanti. Lalu apa yang salah dengan usia seperti itu. Banyak
para ahli mengatakan bahwa life begin 40.
Ah, bukan! Aku tidak merasakan seperti itu. Menjalani kehidupan sampai di
usia itu bagiku merupakan siksaan berat. Teramat berat bagi jiwaku, sebagai
seorang perempuan desa yang tinggal di lingkungan pedesaan tradisional, yang
masih memperhitungkan tentang masalah usia.
Dogma
tak tertulis yang mengatakan bahwa, anak perempuan di usia yang berkepala empat
yang belum kawin adalah perempuan tua, tak laku, perawan kasep, dan sebutan-sebutan
lain selalu mampir di telingaku. Duh, betapa menyakitkan. Tiap lewat di
kerumunan ibu-ibu yang berkumpul sambil bergunjing, kata-kata itu selalu mampir
di gendang telingaku membuat merah daun telinga dan rasanya ingin supaya aku
tak terlihat.
“Tuh,
anaknya Pak Maryadi, nggak laku-laku. Kasihan ya, jadi perawan tua.”
Dan
setiap mendengar kata-kata ibu-ibu tersebut, mendadak aku ingin berubah menjadi
gas. Menguap tak kasat mata. Dus!
Perawan
tua. Itu kini julukanku. Dan masih banyak lagi julukan yang aku sandang. Bukan
keinginanku menjadi seperti itu. Aku hanyalah perempuan yang tak ingin terlalu
mengobral senyum sana sini hanya untuk menggaet lelaki. Meski aku juga sudah
berusaha menata diri menjadi sedikit menarik di mata orang lain. Tetapi, kalau Tuhan
memang berkehendak yang lain, apa dayaku?
Rasa-rasanya,
aku sudah mencoba dan melakukan yang dianjurkan oleh agamaku. Aku mencoba untuk
berjalan sesuai rel akhlak yang lurus-lurus saja. Aku tak pernah berbuat
aneh-aneh yang dilarang agama. Tetapi kenapa jodoh itu tak jua menjemputku.
Belum lagi masalah rejeki. Aku yang lulusan Diploma Tiga Sekretaris, sampai
usia saat ini juga tak mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan bidangku.
Padahal, dulu, bertahun-tahun lalu, ijasah Diploma Tigaku itu kuanggap sebagai
senjata pamungkas terhebatku untuk meraih mimpi-mimpi menjulang.
Betapa
tidak. Di tempatku, kampung kecil nan terpencil itu, belajar sampai ke
perguruan tinggi adalah hal yang sangat langka. Teramat langka. Sebuah gedung
universitas laksana menara gading yang teramat megah untuk dimasuki. Dan aku
terpilih masuk ke sana. Tentu saja itu sebuah kemenangan besar yang aku
rasakan.
Tetapi,
kini lembaran ijasah itu tak lebih dari sebuah onggokan kertas tak berharga
yang tersimpan di lemari pakaianku. Berada di rak paling bawah, bahkan telah
menyelip entah kemana.
Dan
kini, tanggal 12 Januari. 43 tahun usiaku. Dan aku masih sendiri. Perempuan
lajang yang tak tahu, di mana seseorang yang dulu tulang rusuknya telah diambil
Tuhan untuk dicipta menjadi diriku. Duhai, belahan jiwa, dimana kini kau
berada. Betapa aku mendamba, kau datang melengkapi nafas kehidupanku. Bukankah
Tuhan menciptakan segalanya berpasangan di dalam kehidupan ini. Dua mata untuk
melihat, dua telinga untuk mendengar. Dan satu hati dalam tubuh kita. Karena
Tuhan telah menyiapkan hati yang lain untuk melengkapi.
“Mbok,
aku malu. Aku kasihan dengan simbok kalau simbok sedang berkumpul dengan ibu-iu
itu,” ratapku kepada perempuan sepuh yang rapuh itu.
Simbok.
Ya, aku memanggil Ibuku dengan panggilan simbok. Karena aku memang perempuan
kampung.
“Kenapa
harus malu, Nduk. Kalau memang jodoh itu belum datang juga, bukan berarti Gusti
Allah tidak sayang sama kamu. Justru itu wujud kasih sayang Gusti Allah
kepadamu.”
Itu
yang selalu simbok katakan kepadaku. Dan aku merasa mempunyai kekuatan untuk
kembali melangkah menapaki hari-hariku. Walau kesunyian belum juga berlalu.
Tetapi setidaknya aku tetap optimis melangkah dan tak pupus harap akan kekuatan
sebuah do’a.
Cerpen: Cinta Yang Sebenarnya
Hampa menerpa. Segala cuaca seakan terkumpul pada suasana pagi itu.
Sekejap mendung tebal melintas seakan tak peduli pada tatapan cemas anak-anak
kecil yang berjalan melintas perbukitan kecil itu untuk berjalan menuju ke
sekolahnya yang berdiri rapuh di atas bukit. Di kali lain, dalam hitungan
detik, kabut putih tebal menyebar ke segala penjuru menutup pandang segala
penglihatan yang bergegas pada langkah-langkah pagi yang seakan tergesa menuju
ke suatu tempat. Entah kemana.
Angin masih masih berkesiur pelan mengantarkan dingin yang kadang membuat
tubuh menggigil. Seperti juga pada sebuah jendela yang terbuka, seraut wajah
menatap pagi berkabut dalam balut seribu gundah yang terhias kuyu pada
wajahnya. Apakah kau masih di sana ,
kekasihku? Menatap gumpalan kabut bersulam seribu embun yang menari di
pucuk-pucuk daun? Batinnya gamang menatap pilu di kejauhan. Gadis itu,
mengenang wajah kekasihnya yang telah pulang ke alam baka, ketika bencana tak
terkira menerjang tempat kediamannya. Tanah yang seakan marah, menerjang habis
semua warganya dalam sebuah tragedi tak terencana ketika hujan tak juga
mengirimkan berita bahwa dia akan turun sepanjang hari, lalu kemudian longsor
menerpa seketika.
Masih jelas kenangan bersama, ketika purnama menyepuh malam dalam cahaya
yang remang mempesona.
“ Kau tahu, aku sudah membicarakan tentang hubungan kita dengan kedua
orang tuaku. Dan tak lebih dari satu purnama lagi, kami akan menghadap ke orang
tuamu untuk meminta kamu bersedia menjadi pendampingku,” janji sang kekasih
pada saat itu.
Angin berdesir manja. Purnama terlunta,namun bahagia. Burung malam yang
tadi riuh berirama, diam sekejap mencerna janji sang arjuna. Tak perlu waktu
lama, ketika janji terkata, hati yang telah lama menunggu bahagia itu terlonjak
riang menerpa segala semesta dalam bola-bola asmara
yang melagukan irama surga.
“ Tentu saja. Bukankah dari dulu memang inilah akhirnya. Kita ingin kelak
selalu bersama, membesarkan anak-anak kita dalam pondok sederhana. Menjala
segala bahagia dan mewariskannya kepada keturunan kita?” jawab sang putri
jelita dengan nafas lega. Tenang. Setenang telaga biru yang makin berkilau
dalam tumpahan sinar rembulan.
Dan tawa menggema. Menelusup selubung malam dalam balutan rona bahagia.
Hingga akhirnya kedua keluarga sepakat telah menentukan tanggal sakral yang
akan menyatukan dua insan saling mencinta itu dalam bingkai mahligai rumah
tangga. Dua purnama ke depan, janji itu akan terucap. Segala persiapan telah
direncanakan dengan sempurna. Hingga detik waktu seakan tak mampu mengurai
penantian akan janji yang terpatri.
Tetapi, kehidupan punya jalan ceritanya sendiri. Tak perlu meminta restu
pada mereka yang menjalani. Dia punya dunianya sendiri. Baik cerita bahagia
yang menyunggingkan tawa, ataupun cerita duka yang menggenangkan air mata. Dia
tak peduli. Karena iramanya melagukan nyanyiannya sendiri.
Bencana itu, membawa sekeping hatinya pergi. Juga separuh jiwa. Bahkan
mungkin separuh nyawa. Seperti pepatah Jawa, bahwa garwo adalah sigaraning
nyowo. Garwo, pasangan jiwa. Dia adalah separuh nyawa, separuh jiwa. Ketika
pasangan jiwa itu pergi, ada bagian-bagian dalam diri yang ikut pergi. Rencana
bahagia itu juga sirna. Menguap bersama duka. Mengalir mengikut arus air mata.
“Kenapa?” hanya itu yang selalu terucap. Sang belahan jiwanya hilang
bersama retaknya bumi tempatnya berkarya. Hilang, tergulung bencana yang
meluluh lantakkan kampungnya, ketika tebing-tebing curam itu tak sanggup lagi
berdiri kokoh menyangga curahan hujan yang berderai seharian.
“Kami tak bisa lagi menemukan 20 jenasah yang diperkirakan masih
tertimbun longsor. Medan
yang sulit dan juga cuaca yang tak memungkinkan, membuat kami terpaksa
menghentikan pencarian ini,” kata para aparat yang bertugas mencari korban.
Pupus sudah harapan itu. Bahkan untuk sekedar melihat kali terakhir raga
yang selalu dirindukannya pun, seakan tak lagi ada. Dunia seakan runtuh,
meluruh bersama puing-puing asa yang dulu tegak kokoh berdiri melandasi
bangunan istana cinta yang dibangunnya. Dan kini semuanya terberai.
Termangu sang gadis menatap kejauhan. Kosong pandangan. Mencoba menyibak
kabut yang tergelar di depannya. Siapa tahu, sang belahan jiwa muncul di sana . Dari lorong yang tak
mampu dimasukinya. Tetapi, sampai senja menutup cakrawala, tak juga ada dia
datang menggandeng lengannya. Seperti dulu kala. Saat dia masih ada.
Teringat akan kenangan indah, ketika senja seperti ini. Ketika kabut
memayungi mereka dalam sentuhan hangat dua kutub cinta. Cinta mereka berdua.
Tanpa siapa-siapa. Berjalan penuh gelak tawa. Menyusuri hutan-hutan cemara.
Mengumpulkan sejuta kunang-kunang yang bercahaya. Alangkah indahnya.
“Sebaiknya kita pulang. Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Terlalu
bahaya kalau kamu disini?” lembut suara ibunya menyadarkan lamunannya yang
mengembara. Ah, bunda. Betapa dalam segala suasana, engkau selalu ada. Memberi
kekuatan dalam hempasan badai kehidupan.
Dan pulang ke rumah, seakan mengulang lagi kenangan indah itu. Di beranda
ini. Tempat berbincang ketika hujan memayung cuaca. Juga ketika purnama
menyulam semesta. Segala tempat. Segala rupa, hanya ada kenangan itu. Tak jua
sirna. Namun, di belaian lembut bunda segala kosong jiwa menemukan muara. Cinta
yang sebenarnya…………..
cerpen
KESUNYIAN JINGGA
Cericit nyanyian burung pada pagi hari di atas bukit itu mendendangkan
nyanyian yang sangat indah. Menebar pandangan ke segala penjuru, yang terlihat
adalah lukisan Sang Maha Pencipta yang teramat sempurna. Langit biru jernih.
Sementara sinar mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Terlihat beberapa
ekor burung pipit terbang bergerombol dalam sebuah kelompok, terbang menukik,
lalu menghilang di balik bukit. Sungguh, sebuah karunia Illahi di pagi hari
yang sangat menenteramkan hati.
Gadis itu masih duduk di sebuah batu besar di atas bukit. Di sampingnya
berdiri menjulang sebuah pohon beringin raksasa yang mungkin sudah berumur
puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Sulur-sulur pohon itu begitu banyak,
laksana tangan malaikat yang siap mencengkeram siapa saja yang mengusik
ketenangannya. Sang gadis masih saja terdiam membisu menikmati panorama pagi
yang indah dari atas bukit itu. Rambutnya yang legam sebahu dibiarkan tergerai
terjamah angin yang sesekali berkesiur. Hembusan angin pagi menerbangkan dan
meluruhkan daun-daun beringin kering. Jatuh luruh ke bumi dan kemudian melayang
lagi.
“Pulanglah. Karena sebentar lagi panas matahari akan membakar kulitmu.
Nanti kulitmu bias berubah legam,” kata pohon beringin tua kepada sang gadis.
“Aku tak mau pulang. Aku akan tetap di sini. Sampai kesunyian ini
mengendap ke dasar hatiku,” sang gadis bersikukuh dan tetap diam mematung.
“Tak ada gunanya kamu duduk seharian di sini. Tidakkah kamu melihat
burung pipit itu. Lihatlah! Dia mengajarkan anak-anaknya untuk terbang. Kamu
lihat Pipit kecil itu tidak pernah berputus asa meskipun dia berkali-kali
terhempas ke bumi. Kenapa juga kamu harus berputus asa?” kata sang pohon.
Sang gadis menoleh. Dilihatnya tiga ekor burung pipit meloncat-loncat di
dahan pohon beringin. Dua ekor burung pipit kecil. Dan seekor pipit dewasa.
Rupa-rupanya sang induk sedang mengajarkan anak-anaknya untuk terbang.
“Ayo, anak-anakku! Kamu harus bisa terbang dengan cepat agar kalian bisa
menyusul Ibu,” sang induk pipit menyeru kepada anak-anaknya yang nampaknya
mulai kelelahan.
“Ibu, aku lelah sekali. Sayap-sayapku seperti patah rasanya,” kata pipit
betina kecil.
“Kalian tidak boleh menyerah, anak-anakku! Kalian harus bisa bertahan
hidup di sini. Kalau kalian tidak mau nerlajar terbang, kalian akan menjadi
mangsa binatang lain yang ganas. Mangsa burung elang. Apakah kalian tidak
takut?” sang induk pipit menyemangati anak-anaknya.
“Kenapa binatang-binatang lain itu tega memakan kita, Ibu?” tanya sang
pipit jantan.
“Itulah hukum di kehidupan kita, anak-anakku. Siapa yang kuat, dialah
yang akan menang dan berkuasa. Untuk itulah kalian harus kuat dan jangan mudah
menyerah. Karena kalau kita lemah, kita pasti akan kalah,” nasehat sang induk
pipit.
Dan anak-anak burung itupun
kembali belajar terbang lagi. Pantang menyerah. Berulangkali terjatuh. Tetapi
sang induk sungguh sabar dan pintar membangkitkan semangat mereka.
Sang gadis menyimak percakapan pipit-pipit itu. Dan dia tercenung.
Sungguh bijaksana induk pipit itu.
Dengan berani dia mengajarkan anak-anaknya untuk tetap berjuang demi
mempertahankan hidup di lingkungannya yang keras dan kejam.
“Apa yang kamu dengar dari percakapan itu, kawan?” tanya pohon beringin
tua. Sang gadis masih diam mematung.
“Hubungan kekeluargaan yang sungguh bahagia.” Gumam sang gadis
“Lalu apalagi?” beringin tua melanjutkan pertanyaannya.
“Ibu yang bijaksana. Begitu tegar dan sabar menyemangati anak-anaknya,”
lanjut sang gadis.
Sepi. Percakapan itu terhenti.
“Tetapi kenapa kamu nampak murung akhir-akhir ini?” sang pohon
melanjutkan bertanya.
Beberapa hari terakhir ini sang gadis selalu melewatkan paginya di atas
bukit. Biasanya dia dating ke bukit menjelang pagi dan akan di sana menunggu matahari
muncul di ufuk timur.
“Aku bosan dengan takdir hidupku. Semuanya aku jalani dengan serba
terpaksa. Aku harus selalu menuruti keinginan mereka,” sang gadis mulai
terisak.
“Siapa mereka?” sang pohon rupanya mulai tertarik dengan cerita itu.
“Mereka adalah orang-orang yang merasa berkuasa atas kehidupanku,” jawab
sang gadis sambil menyibakkan rambut legamnya yang meriap ditiup angin gunung.
“Apa yang mereka telah lakukan?”
“Ah, sudahlah. Aku rasa kamu pun pasti akan berbuat seperti mereka. Aku
mau pulang saja. Matahari sudah mulai terasa panas di sini,” kata sang gadis
sambil beranjak pergi.
Angin masih bertiup lembut membelai perbukitan yang hijau asri itu. Bunga
bakung yang berwarna putih laksana tebaran mutiara di lereng-lereng bukit.
“Dari mana saja kamu?” tegur suara lelaki separuh baya, ketika sang gadis
memasuki pekarangan rumahnya. Tegas dan
berwibawa.
“Dari bukit melihat matahari terbit, Ayah,” jawab sang gadis sambil
berlalu melintasi halaman rumahnya.
“Melihat matahari terbit sampai siang begini? Apa saja yang kamu lakukan
di atas sana ,
hah? Jangan terlalu sering keluar rumah. Kamu harus menjaga penampilan kamu
agar kulitmu tetap terlihat cantik sampai hari pernikahanmu nanti,” kata
laki-laki setengah baya itu.
“Saya tidak mau menikah dengan laki-laki yang tua bangkotan itu. Saya
tidak mau jadi isteri keempatnya,” teriak sang gadis sambil berlari masuk ke
kamarnya.
“Dengar, anakku. Sekaranglah saatnya kamu berbakti kepada kedua orang
tuamu. Ayah berhutang budi pada Pak Baroto. Dia yang selama ini membantu
kehidupan kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Sampai kita sekarang
menjadi orang kaya dan terpandang di kampung kita ini. Kamu harus tahu itu!”
kata Ayah sang gadis.
“Itu semua Ayah yang menginginkannya. Bukan saya! Saya tidak menuntut
agar kita bisa menjadi orang kaya dengan cara seperti itu. Saya hanya ingin
menikah dengan orang yang saya cintai. Bukan dengan Pak baroto. Laki-laki tua
yang gemar main perempuan. Saya tidak mau menikah dengan dia!” teriak sang
gadis dari dalam kamar sambil menghempaskan badannya di atas tempat tidur.
“Sudahlah, Pak. Kalau dia tidak mau menikah dengan Pak Baroto, Bapak kan bisa membatalkan
pernikahan itu. Kasihan anak kita,” bujuk isterinya sambil memegang bahu
suaminya.
“Tidak bisa, Bu. Aku sudah berjanji pada beliau, bahwa kita bersedia
menyerahkan anak kita untuk diambil sebagai isterinya,” jawab laki-laki itu
tegas.
Kedua orang tua itu terdiam. Hening seketika menyergap. Dalam hatinya,
sebetulnya kedua orang tua itu tidak ingin menyerahkan anak gadisnya kepada
lelaki tua kaya raya itu. Karena Baroto bukanlah orang baik. Tetapi keluarga
itu sudah terperangkap dalam lingkaran permainan dengan Baroto. Hutang keluarga
yang menggunung kepada rentenir, telah dilunasi oleh Baroto. Meskipun sebagai
imbalannya, adalah masa depan puteri tercintanya. Dan ketika Baroto menawarkan
kebaikan yang pahit, orang tua itu hanya bisa mengangguk pasrah. Dia teringat
ketiga anaknya. Terutama putera bungsunya yang masih kecil, yang diharapkan
bisa menjadi penerus usahanya. Dia tak ingin masuk penjara, dan keluarganya
menjadi terlantar.
Hingga akhirnya, Jingga, puteri sulungnya, yang masih sangat belia harus
menjadi korban. Gadis remaja itu dalam waktu dekat harus bersanding di
pelaminan dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Dan seakan kisah
Siti Nurbaya akan terulang.
“Apakah tidak ada cara lain agar anak kita tidak jadi menikah dengan Pak
Baroto?” tanya sang istri sambil memandang wajah suaminya.
“Entahlah, Bu. Aku juga tidak tahu. Bagaimana mungkin kita bisa
mengembalikan uangnya Pak Baroto yang begitu banyak,” jawab lelaki itu sambil
memegangi kepalanya.
“Kenapa tidak kita jual saja rumah ini?” jawab istrinya memberikan jalan
keluar.
“Tidak akan cukup, Bu. Lagi pula kita nanti akan tinggal di mana. Jingga
masih punya dua orang adik yang masih butuh biaya dan tempat tinggal yang
layak. Kalau dalam dua minggu ini kita tidak bisa mengembalikan uangnya Pak
Baroto, terpaksa kita memang harus menikahkan anak kita,” jawab sang suami.
Sang istri hanya mendesah lirih. Bagaimanapun, sebagai seorang ibu
hatinya merasa pedih. Dia kasihan kepada puterinya yang harus menanggung beban
karena permasalahan orang tuanya. Tetapi, sebagai seorang istri, perempuan
lembut itu tak mampu berbuat banyak.
Dan Jingga menangis pilu di kamarnya.
“Kenapa kehidupan begitu tak adil untukku. Kenapa aku yang harus menjadi
korban ketamakan Baroto jahanam itu?” batinnya berontak.
Hatinya terasa begitu remuk. Tetapi gadis itu tak mampu mengurai benang
yang melilit kehidupannya. Batinnya marah. Dan dia bertekad untuk keluar dari
kumparan masalah ini.
Dan pagi itu, dia kembali ke bukit.
“Kenapa kamu semakin murung?” tanya sang pohon beringin, ketika sang
gadis duduk di bawahnya.
Keduanya kini telah menjadi dua saudara yang saling membutuhkan.
“Entahlah. Sepertinya aku tak punya pilihan lagi. Aku harus menerima
laki-laki tua itu sebagai suamiku,” jawab sang gadis sambil melepaskan
pandangannya ke bawah bukit.
“Kamu bahagia dengan semuanya itu?” sang pohon ingin tahu.
“Aku tidak tahu. Bahagia seperti apa yang aku dapatkan. Sebagai anak, aku
harus berbakti kepada kedua orang tuaku, meski kadang orang tua juga bisa
salah. Tapi aku juga tak ingin, masa depan mereka, terutama adik-adikku menjadi
terancam. Aku harus berkorban untuk mereka. Saat ini, hanya dengan cara menjadi
isteri Barotolah jalan keluar itu,” pasrah suara sang gadis.
“Maafkan aku. Aku tak bisa membantu kamu. Aku hanyalah sebatang pohon tua
yang kesepian di atas bukit ini. Tetapi kalau kamu sedang dirundung duka,
datanglah kemari dan kamu bisa cerita padaku tentang apa saja. Siapa tahu
dengan bercerita, bebanmu bisa sedikit berkurang.”
“Terima kasih. Aku senang kalau kamu mau mendengarkan ceritaku. Aku juga
merasa sangat kesepian. Aku tak punya siapa-siapa untuk tempat berbagi,” kata
sang gadis tersenyum.
*****************
Dan pada suatu pagi, terjadi kegemparan di kampung itu. Sudah hampir lima hari sang gadis
menghilang. Semua warga sudah bergotong royong mencari sang gadis, tetapi belum
juga berhasil menemukan di mana gerangan gadis itu berada.
“Sontoloyo! Kamu sembunyikan di mana anak gadismu itu, heh?!” hardik
Baroto ketika siang itu dia mengunjungi rumah calon istri keempatnya.
“Maaf, Pak Baroto. Kami juga tidak tahu. Lima hari yang lalu dia pergi ke atas bukit
itu. Tetapi setelah itu dia tidak pulang lagi ke rumah ini,” jawab Ayah sang
gadis ketakutan.
“Bohong! Pasti dia kamu sembunyikan. Kamu tidak mau menyerahkan anakmu
itu padaku. Iya, kan ?!”
laki-laki tua berperut buncit itu semakin marah.
“Demi Tuhan, tidak Pak Baroto. Kami sudah rela menyerahkan dia sebagai
isteri Bapak,” kata ayah sang gadis.
“Tetapi kenapa dia tidak ada di rumah?” Baroto masih tidak percaya.
“Saya tidak tahu, Pak.”
“Baik. Anak-anak, cari gadis itu di bukit sana . Dan segera bawa dia kemari dengan cara
apapun. Cepat!” perintah Baroto kepada tiga orang anak buahnya.
“Baik, Pak,” jawab ketiganya serempak sambil meninggalkan tempat itu.
“Kami mohon, jangan sakiti anak kami, Pak Baroto,” rengek Ibu sang gadis
sambil terisak.
“Hmm… Aku tidak akan menyakiti anakmu. Tetapi kalau sampai anak itu tidak
ketemu, kalianlah yang akan menanggung akibatnya.” Angkuh suara Baroto.
“Beri kami kesempatan untuk menemukan anak kami, Pak. Kami berjanji, akan
menyerahkan dia kalau sudah kami temukan.”
“Baiklah. Aku masih berbaik hati memberi kalian kesempatan. Seminggu lagi
aku akan kembali lagi dan kalian harus sudah menemukan anakmu itu,” kata Baroto
sambil meninggalkan kedua orang tua yang masih ketakutan itu.
Dan detik demi detik merayap. Menjadi hitungan jam. Bertambah lagi
menjadi menjadi hari. Dua hari, tiga hari, bahkan sampai lima hari jejak sang gadis tak ditemukan. Dia
seakan hilang ditelan bumi. Tak ada yang tahu kemana sang gadis berada. Mereka
hanya tahu, sebelum sang gadis hilang, mereka sering melihat sang gadis pergi
ke atas bukit. Hampir setiap hari. Dan dia duduk di sana hingga menjelang tengah hari. Dan mereka
kadang mendengar gadis itu berbicara, entah dengan siapa. Kadang tertawa-tawa,
bahkan sering kali terlihat menangis sendirian.
Tetapi, kini penduduk kampung tak pernah melihat gadis itu lagi. Mereka
hanya melihat pohon beringin tua itu tetap tegak kokoh berdiri sendirian di
atas bukit sana .
Sulur-sulur pohonnya terlihat menjurai ke tanah. Laksana jenggot lelaki pertapa
tua yang tak terawat. Sesekali angin berkesiur menggoyang daun-daunnya yang
rimbun menghijau. Daun-daun itu kadang berkeresek ketika angin meniupnya.
Menimbulkan suara-suara aneh, seperti nyanyian kepedihan dari alam lain. Kadang
dahannya yang rapuh patah berderak menghempas bumi.
“Apakah kamu sudah siap dengan keputusanmu itu?” tanya sang pohon.
Siang itu terasa panas menyengat. Matahari tegak di atas kepala.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa setegar pipit-pipit kecil itu. Aku hanyalah
Jingga, gadis kecil yang kesepian.”
Dan warga kampung kembali gempar. Siang itu mereka melihat sang gadis
terkulai lemas di bawah pohon beringin tua di atas bukit. Sebotol racun
serangga masih tergenggam di tangannya.
Sementara, angin gunung bertiup lamban menggoyang daun-daun pohon
beringin yang hijau merimbun. Mendendangkan nyanyian sedih dari alam kegaiban.
Puisi Luka
PUISI
– PUISI LUKA
v
lalu
nyeri terasa
pada
gumpalan awan awan jingga di ufuk senja
torehan
luka yang membungkam rasa
tentang
cinta yang terbuang siasia……..
v
pada
apa harus kularutkan segala rasa?
Sementara
senja yang biasanya kunikmati kini bukan lagi arena tempatku bercengkrama
Dan
luka memprandakan asa yang tersisa…………….
v
Sengaja
kulinangkan air mata
Di
senja yang di dalamnya pelangi mengurai warna
Walau
sesungguhnya nyeri luka mengaburkan warna yang ada……
v
Desir
cemara menemani senja yang bilur oleh luka
Dan
aku berdiri termangu menikmatinya
Meski
luka meraja………
v
Terbata
bata aku mengeja nama
Yang
dulu pernah ada
Walau
akhirnya semua sirna
Dan
kini tinggallah luka…………..
v
Jingga
bertahta di dinginnya senja
Seuntai
doa kurapalkan untuk memujanya
Akulah
pecinta senja
Walau
luka mendera, aku menikmatinya…………..
v
Sayang,……………
Di
senja aku melihat bayangbayang
Cinta
kita seakan tertayang
Meski
kini semua hanya dalam kenang
v
Di
pantai luka aku selalu ada
Menyimak
senja yang bertutur cerita
Tentang
dukanya cinta
Yang
kini terabai lara
v
Angin
berkesiur di senja yang uzur
Mengirimkan
setumpuk daun yang gugur
Gambaran
lukaku dalam diam yang terkubur
v
hujan
mengingatkan aku
tentang
silam masa lalu
di
mana kenangan cinta itu
menorehkan
luka yang membiru
v
rerintik
tetes hujan itu….
Adalah
selembar kenangan bagiku
Juga
seribu lukaluka beku
Yang
tertulis abadi di hatiku…
v
Hujan,
kenangan, dan luka
Rangkaian
peristiwa
Tentang
cinta yang dulu pernah begitu merona
Walau
akhirnya luka memporandakan altar kita
v
Dalam
hujan, irama luka terasa begitu menggema
Dan
segala asa yang dulu pernah ada,
Mendadak
sirna….
Seiring
kenangan yang mungkin lapuk dimakan usia
v
Hujan
yang menempias di sudut jendela
Melukiskan
indah kenangan kita
Dan
guratnya terasa semakin nyata
Meski
semua kini menyuguhkan luka…..
v
Pada
bulir bulir hujan yang menggigilkan hatiku
Aku
menatap sayu pada tiaptiap rinai yang turun melaju
Ah,
kenangan itu……..
Kini
seperti memenjarakan aku
Dalam
genang luka yang menghimpitku
v
Dan,
hujan selalu begitu
Melemparkan
aku dengan sejuta kenanganku
Tentang
masa lalu yang masih saja lekat di anganku
Tentangmu
yang kini entah tak aku tahu….
v
Hujan
ini, kekasihku………
Adalah
jembatan menuju silam tentangmu
Juga
tentang luka yang membuat hati ini kelu
Juga
tentangmu, yang kini tinggalkan aku……………..
v
Ada gigil pagi yang terselimuti hujan yang setia
menemani
Juga
tingkap hati yang terasa kian sepi…..
Pada
hujan yang riuh bernyanyi….
Kusampaikan
rinduku….
Semoga
saja bisa terobati
v
Pada
dingin hujan
Kutumpahkan
segala perasaan
Rindu
yang berkejaran………….
Luka
yang berkelindan……………
Dan
semua tentangmu, yang masih lekat dalam ingatan
v
Dan,
betapa hujan menerjemahkan kenangan kita
Bagai cerita cinta yang penuh luka……….
Pada gigil luka yang meraja
Aku terdiam lara
Membebat rindu dengan serpih mimpi yang tak lagi
ingin kunikmati
v
Dan
tetes air hujan pagi ini, kekasih
Adalah
nyanyian lukaku ketika kau pergi dari altar rindu, di musim lalu….
v
Jika
sekiranya di senja ini aku tak ada di ufuk sana
Mungkin
di senja berikutnya kita masih bisa menyatukan mimpi kita
Walau
segores luka menyertainya
v
Di
bentang sunyi semesata
Lantang
kueja setiap makna
Tentang
luka yang membiru nyata
Atas
nama cinta……………
v
Duhai
senja…..
Beri
ku warna. Jingga….. atau apa saja
Agar
luka tak membuatku lara. Tentu saja!
v
Dan
di selubung malam, rapuhku menyulam mimpi mimpi tak pasti
Tentang
riuh rindu yang bergerak merrupa angina
Menghempas
lepas, dan asa iu kandas
Dalam
linang luka yang terrtindas
v
Apakah
gurat rupa wajahmu hanya fatamorgana yang menipu?
Dan
gigil rinduku bekukan malam hingga kejora tak mampu lagi bercahaya…. Dan hanya
tersisa,luka……..
v
Dan
malam bentangkan sayapnya, di mana aku ingin luruh dalam senyapnya.
Agar
nyeri luka ini mereda
v
Senja,
adalah harum nafasmua ketika lantun doa doa mengobati keeping hatiku yang
terdera lara dan menggurat luka nganga
v
Senja
menguntai warna dalam dimensi semesta.
Di
antara remah mimpi yang tersisa, kaulah muara segala luka
Apakah
kau merasa????
v
Dan
luka seakan mengalir ke muara ketika
gelap malam menaungi semesta
Tanpa
kata, kueja namamu dalam diam yang kelam
Dan
malam menggurat luka pada dinding dinding semesta
Tanpa
kata, kau toreh dusta pada hati yang teraniaya
v
Senja
larut dalam dimensi warna antara jingga, biru, dan nila
Menyamarkan
rasa yang mengharubiru kenangan luka
Kujamah
rindu yang bergelora.
Mewarnai
semesta. Berkelebatan mengurai segala kenang yang terentang di lini masa. Suatu
ketika….
v
Seakan
luka yang meriuhkan jelaga malam, pada akhirnya duka tertayang pada remah
fatamorgana yang melebur indah pijar aura. Kau.
Selaksa
tahta maya yang mengoyak tabir damba dalam pekat semesta
v
Pada
akhirnya hanya jeda yang mampu mentasbihkan suara suara
Karena
cinta ternyata hanya segores luka nganga di rahim semesta
v
Senja
ini aku kehilangan kata
Ketika
gullita hadir tiba tiba membungkam lara yang luka
Tak
tersisa keeping damba yang dulu sempat membuncahkan rasa
v
Di
ujung gulita, malamku seakan rebah dalam luka
Menata
pinta yang berbaur dalam doa dan berbalut air mata.
Pada
pendar berjuta bintang, kutitipka pijar asa.
Bukankah
semesta telah menorehkan takdirnya ketika Tuhan menasbihkan cerita tentang
kita?
v
Seperti
tak kuasa,senja mengelam dalam rejam kesendirian
Bertahtakan
sepi harap yang kembali menguarkan aroma luka pada detak detak waktu yang
seperti membatu. Pilu mengoyak kelu dalam serapah yang memapah gundah
v
Desember.
Masih saja menyajikan. Bulir bulir hujan yang melesapkan kenangan. Juga rinai
yang memburaikan serpihan asa yang berjatuhan. Di antara jarak yangmemisahkan.
Antara aku, kau, dan kenangan.
Bukankah
Desember akan selalu ada, meski genang rindu mungkin tlah mengeringa karena
muara tak lagi mampu menampung luka?
Luka
dan kepedihan.
Merangkum
nyata dalam jejak kusam yang tertatih menimang damba akan indahmu yang kian samar
tenggelam dalam tempias senja yang diam termangu menyajikan perih yang tak
kuasa kusapih
v
Menyadari
jejakmu yang kian menjauh, dalam doa tak pernah berhenti kupinta.
Semoga
adamu kan mewujud dalam bingkai nyata, sempurna…
Aku
letih mengemas luka yang terbentuk dari remah bayangmu. Semu………
v
Senja…
Sementara
kita…..
Pelan
pelan melangkah memilah jalan
v
Hujan
yang melukis bianglala senja seakan hamparan sejuta cerita tentang indahnya
warna yang berbaur dengan senyapnya luka
pada mata mata yang menatap hampa.
Denting
denting suara yang menerpa lemahnya raga, tak lagi mampu aku bahasakan dengan
kata meski sebetulnya sederhana saja. Maafkan…
v
Kembali
kenangan purba mengais luka.
Tentang
ribuan cerita yang menuai bilur bilur indah senjakala.
Dan
hanya ada tanya tentang kisah kita,,,,,
Mengapa???
v
Pada
kesumat yang melumat habis segala siasat, kucabik luka bisu yang selama ini menempatkanmu
pada altar rindu. Biar saja semua yang pernah kutata menjadi untai kata penuh
makna, kini berai menenggelamkan segala jejak bayangmu pada gulita malam
malamku yang tak lagi beraroma rindu.
Kudamparkan
segala bahtera pada retaknya dermaga
v
Senja
menua.
Membiaskan
berjuta tarian rindu yang seakan enggan berlalu.
Masihkah
kau ingat segala kenang yang sebenarnya enggan kubuang?
Mengais
serpih asa di antara reruntuhan luka, seakan merengkuh mimpi untuk membelaimu,
lagi………..
v
Pada
titik ini.
Dalam
sunyi yang tak lagi menorehkan pelangi, tersaji nyata luka luka yang hampir
terlupa.
Dan
kini, sapamu pergi berlalu semenjak arena rindu ini menyajikan hampa yang sia
sia
v
Apakah
malam? Dialah senyap yang berbalut kelam yang menenangkan.
Pada
setiap jiwa yang luka, dia menyapa. Menuturkan cerita. Tentang mimpi mimpi
indah suatu masa. Di mana segala luka menemukan muara. Lalu, kamu di mana,
cinta???