WHAT'S NEW?
Loading...


Kerinduan Ini..............


Malam merambat pelan dalam kesunyian yang seakan abadi. Dingin menelusup melalui sela-sela dedaunan yang merimbun bergoyang tertiup angin. Dingin memang terasa beku menusuk tulang. Sayup-sayup terdengar nyanyian Love so Beautiful-nya Michael Bolton.
Kumasih terduduk termangu di sini di tepi pembaringan di kamarku. Kutengok jam mungil yang tersandar pasrah di depanku. Pukul 23. 57. belum terlalu larut sebetulnya. Tetapi sunyi terasa mencengkeramku dalam dunia asing yang seakan senyap.
Aku tak tahu apa yang salah sebenarnya. Hanya saja aku merasa tak dapat tidur malam ini. Entah kenapa. Ada bayang-bayang rindu yang begitu menggeletar gelisah menampar nuraniku. Ah, rindu. Sebuah kata yang manis sebetulnya. Dan seharusnya menjadikan duniaku penuh warna dengan kerinduan-kerinduan yang romantis.
Rinduku, mengantarkanku pada sosok indah seseorang yang kutemui beberapa waktu lalu. Kau begitu indahnya, hingga aku seakan tak menemukan sesuatu yang salah pada bayangmu. Keramahan, aura keikhlasan dan ketulusan yang terpancar bening dari wajahmu. Ah,… mungkin inilah ketertarikan itu. Yach, ketertarikanku padamu. Entah dalam rasa apa aku tertarik padamu. Sekedar tertarik, mengagumimu, atau bahkan aku mencintaimu?
Aku tak tahu. Aklu terlalu bodoh untuk mengeja setiap ketertarikan ini menjadi uraian perasaan yang bisa dijabarkan. Segalanya terasa sangat abstrak. Tak terlukiskan. Membingungkan. Memusingkan. Tapi di satu sisi indah mendebarkan. Kucoba mengahdirkanmu. Menerawang senyummu. Melukis raut wajah denagn pancaran aura yang penuh keramahtamahan. Ah, semua itu memang ada padamu. Mungkin aku terlalu melankolis. Bahkan mungkin mengada-ada. Berharap kamu menyapa aku. Berharap aku bisa sekedar bicara padamu meski hanya sepatah kata,”Apa kabar.”
Ah, lagi-lagi itu hanya pengharapanku. Tapi jujur kuakui, kau begitu ramah di mataku. Senyummu itu. Memberikan rasa senang ketika aku memandang kamu tersenyum.
Aku tak tahu. Dari mana rasa ini berawal. Dan memang sepertinya aku tak mau tahu. Yang aku tahu aku menjadi begitu ingin setiap hari melihat senyum itu. Senyumanmu. Senyum yang penuh pesona. Senyum yang membuat hati ini terasa berada pada sebuah tempat. Mungkin bukan di dunia ini. Ataukah mungkin di surga? Sebuah tempat yang penuh damai. Penuh cinta. Dan penuh kasih. Ah, memang senyuman mampu menghantarkan perasaan melambung entah ke belahan dunia mana. Dan itu adalah senyumanmu.
Kerinduan ini menjadi semakin menebal. Seiring malam mengantar kesunyian menjemput dini hari. Perlahan namun pasti berarak menepi. Love Me Tender-nya Elvis Presley mengalun perlahan mengisi sunyi malam. Dari siaran salah satu radio yang menyajikan musik-musik lembut penghantar istirahat.
Kerinduan ini. Kutujukan padamu, wahai sesosok raga yang mengguncang mimpi-mimpi tidur malamku. Kuterbangkan bersama suara-suara serangga malam, agar sampai kepadamu. Kepada sososk yang menghadirkan debar rasa asing namun indah dalam denyut hariku.
Kerinduan ini, mengisi langit malamku dengan sejuta keresahanku. Juga dengan sejumput do’a agar esok aku masih bisa menatap mentari. Mengarungi hari dan bersua denganmu. Pemilik senyuman indah. Seindah fajar pagi hari yang merekah jingga di timur cakrawala. Aku merindukan itu. Merindukan mentari pagi menyapa bumi. Merindukan embun pagi yang menggantung laksana kristal pada pucuk-pucuk daun. Merindukan hawa sejuk segar udara pagi. Ah, aku merindukan semuanya. Dan pastinya aku merindukanmu. Senyumanmu.
Beranjak menepi, jarum jam berputar membawa waktu semakin merapat ke ujung hari. Purnama di atas cakrawala terang bersinar menyiram bumi dengan cahaya lembut keperakan. Aku bias pastikan. Kamu telah lelap memeluk mimpi. Mimpi-mimpi indahmu. Tentang aku kah salah satu episode mimpimu? Ah, aku ingin tertawa membayangkan itu. Aku rasa tak mungkin kamu bermimpi tentang aku. Tetapi bagiku tak mengapa. Biarlah aku saja yang bermimpi tentang kamu. Tentang sosokmu. Dan yang pasti tentang senyummu. Karena di situlah daya tarikmu. Di situlah aku terperangkap. Dalam senyum di wajahmu.
Yah, aku terperangkap. Terperangkap dalam angan dan khayal tentang kamu lewat senyumanmu itu. Tahukah kamu? Please, release me. Bebaskan aku. Bebaskan aku dari perasaan tak tenang ini. Karena kamu. Seperti juga lagu yang mengalun sendu dalam kamarku malam ini. Entah suara siapa yang mengantarkan lagu itu sampai ke telingaku. Merdu mendayu, sekaligus sendu.
Jam 00.30 tepat. Masih sempat mataku menatap jam dinding mungil yang tersandar sunyi di kamarku. Ah, tidak lelahkah engkau wahai jarum jam yang berputar tanpa henti. Seandainya kamu bisa cerita, aku ingin tahu cerita apa yang akan kamu sampaikan. Apakah kamu akan bercerita bahwa kamu menyesal karena tercipta menjadi sebuah jarum jam. Yang selama hidup kamu harus terus bergerak dalam irama yang tetap. Ah, mungkin kamu tidak menyesal. Bahkan mungkin kamu akan bercerita dengan bangganya, karena kamulah maka dunia tahu tentang waktu. Bukankah waktu amat sangat berharga. Bahkan dalam sebuah kitab suci Tuhan bersumpah dengan menggunakan demi waktu. Ah, waktu. Kamu memang tak terlihat. Tapi kamu bisa terbaca. Bahkan kamu bisa menjawab semua pertanyaan yang tak bisa terjawab. Bukankah banyak orang yang putus asa menunggu jawaban, akhirnya hanya mampu mengatakan biarlah waktu yang menjawabnya.
Seperti juga pertanyaanku saat ini. Aku tak ingin jawaban. Aku hanya ingin tahu, apakah waktu akan terus menumbuhkan segenap perasaan ini. Perasaan rindu yang tertuju padamu. Pada sosok yang menghisap segenap kerinduanku yang masih ada. Ah, lagi-lagi waktu yang akan berperan atas rasa ini.


Kenangan dan Hujan; Senja

Hujan,  selalu saja menguarkan aroma yang teduh di hatiku.... ada rasa tersendiri yang terselip di dasar hati ketika memandang titik-titik air hujan yang turun dari tingkap langit. Suasana yang tenang, indah sekaligus rasa sepi yang menyergap.... sepi yang ngelangut.....rasa yang damai...ah, berbagai perasaaan campur aduk bersama hujan. Ada juga sebongkah kenangan yang ikut bermain-main di sana.....
Memandangi hujan di senja, di beranda kamarku adalah sesuatu yang sangat aku sukai. Juga memandang langit barat, di mana senja menorehkan beragam warna di langit sana... kemilau kuning senja,,,, itu yang kunamakan. Indah, sekaligus romantis bukan?????
apalagi senja yang hujan selalu disertai kabut...... gumpalan-gumpalan warna putih seakan keluar dari sela-sela pepohonan...ada pohon jati yang berdiri kokoh, menjulangkan dahan-dahannya yang perkasa, menyembul di sela-sela pekat kabut putih yang lembut......
senja.......
hujan............
kenangan................
tiga hal yang menyertai senjaku kali ini. Juga kenangan tentangmu....
kenangan masa silamku yang lekap bersama hujan.....
kamukah itu????
mungkin saja.....
kadang aku merasa, kamu di ujung senja itu, berdiri memandang lukisan langit yang bertabur kuning, jingga, juga kesumba....
ah,,,,, mengapa juga senja hadir hanya sekejap???
 

3 puisi

CERITA PAGI
Pagi ini hujan masih menyanyi
Melantunkan kidung syukur karena pongah sang kemarau telah menjauh pergi.
Pagi ini, sisa hujan semalam masih juga terus menetes. Melarutkan debu, mengguyur ranting pohon yang kemarin mati kehausan.
Pagi ini, dingin tetap merayap. Menelusuri segenap jiwa, pada manusia yang lalu lalang di tanah-tanah becek sisa hujan semalam
Pagi ini, angin masih berlari kencang dan masih tertawa membawa banyak cerita.
Mengelus wajah-wajah mungil nan lucu anak-anak kecil yang tertawa ceria bermain lumpur dan tanah liat. Membelai rambut ikal bergelombang perawan-perawan desa yang berjalan beriringan, mengendong sekeranjang harap tersisa.
Pagi ini, kabut masih membentangkan tirainya. Putih. Melebur menjadi satu dengan awan yang biasa berarak di tingkap langit biru semesta.
Pagi ini, matahari murung terkalahkan kabut lembab, dan angina tetap tertawa dan menari-nari kegirangan karena sang matahari tak mampu menepati janji.
Kemarin, matahari mengucap sepotong janji pada seraut wajah murung yang melongok dari buram kaca jendelanya.
“Percayalah, aku pasti datang untukmu. Bersinar cerah, mengantarkan sejumput asa yang kelak akan kau bawa melanglang buana,” janjinya.
Dan wajah itu tersenyum. Tetapi kenapa murung tak jua menepi dari wajah piasnya?
Dia tak percaya lagi asa. Dan bahkan janji sang matahari sekalipun.
“Kehidupan terlalu pongah untuk kujalani,” rutuknya.
Gontai dia menyusur tepian telaga pengharapan yang mengeruh. Biduk retaknya tertambat lunglai pada rapuh kehidupan. “Aku tak percaya lagi sebuah kebaikan,” teriaknya.
Bertahun-tahun dibangunnya asa itu. Dirangkainya sejumput demi sejumput, dan tersulam menjadi sebuah lembar mimpi dan harapan. Dibentangkannya sepanjang titian perjalanan.
Hingga akhirnya semua terkoyak!
Pagi ini, seraut wajah itu berkubang dalam kepingan asa yang terserak. Hatinya membeku.
“Sekiranya saat ini bumi terbelah dan langit runtuh, aku ingin lebur ke dalamnya, agar tak ada lagi kecewa.”












CINTA
:<yang tak seharusnya>

Pagi….
Basah berembun seetelah sisa hujan yang turun semalam.
Hati ini teronggok biru dalam dingin yang beku. Bernuansa ragu.
Ragu menapak hari, dalam rasa asing yang berdenyar nyeri.
Perasaan apa yang kini membias? Seakan cinta selalu menyodorkan nuansa asing yang tak biasa. Bahkan ini tak sewajarnya.
Tuhan, aku mencintainya
Dalam sebuah bingkai yang aku tahu tak sewajarnya……

-<ketika aku mencintaimu>







TUHAN, KAU DI MANA?

Aku adalah jiwa yang bimbang. Yang tak jua mengerti mengapa takdir tak bisa ditukar.
Aku adalah jiwa yang gersang, yang mencoba pasrah ketika realita tak bisa aku belokkan.
Aku adalah jiwa yang terus melayang, ketika sang Kuasa bermain dengan keinginanNya.
Aku tak bisa mengelak, pun pula menolak. Ketika takdir menulis segala catatannya dalam prasasti kelam alur hidupku.
Nasibkah? Atau takdir?
Lalu, dimana Tuhanku ketika seharusnya aku meminta jawab atas hasil karyaNya?


Cerpen: Pelangi Senja


Ada ketakutan tersendiri ketika aku menengok kalender yang ada di kamarku. Apalagi kalau sudah mendekati bulan Januari. Tepatnya lagi bulan Januari di tanggal 12. Seakan, pertaruhan ada di setiap detik di bulan itu. Pertaruhan tentang apa? Ah, rasanya sulit menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa ternyata aku sudah teramat lama menghirup nafas kehidupan ini. Lama sekali. Itu menurut perkiraanku. Hanya saja kenapa terasa lama?
Banyak orang bilang, apalah arti sebuah usia. Usia hanyalah deretan satu angka, kemudian bertambah menjadi deretan dua angka. Kalaulah ada yang sampai mempunyai deretan angka tiga, itu tentu saja sebuah rekor luar biasa. Yang tentu saja dapat dimasukkan dalam rekor MURI, untuk wilayah nasional dan yang pasti bisa masuk Guiness Book of Record kalaulah itu tercium dunia internasional.
Usia. Ah, aku terlalu takut menghitung usiaku. Entah kenapa ada pobia tak beralasan ketika ada orang yang bertanya tentang usiaku. Padahal sekali lagi, apa artinya bilangan usia. Tapi justru itulah masalahnya. Ketika ada orang bertanya tentang usia, huh, aku rasanya seperti ingin langsung menyusut, kemudian menguap bersama udara yang tak kasat mata. Padahal bukankah usia hanyalah deretan angka?
Usia itu sendiri hanyalah penanda berapa lama kita hidup. Walau menurutku, berapapun usia seseorang, hanyalah pengulangan dari satu tahun yang berulang terus menerus. Walau itu memang secara jujur aku mengakui, kalaulah aku ditanya tentang usia, aku mendadak ingin berubah menjadi gas.
Dan kini, sudah bulan Januari. Tentu bukanlah peringatan tentang pergantian tahun baru yang ada di kepalaku. Terbayang di benakku, tentang bertambahnya usiaku yang terus merangkak. Pelan namun pasti. Aku sudah akan berusia 43 tahun di tanggal 12 Januari nanti. Lalu apa yang salah dengan usia seperti itu. Banyak para ahli mengatakan bahwa life begin 40. Ah, bukan! Aku tidak merasakan seperti itu. Menjalani kehidupan sampai di usia itu bagiku merupakan siksaan berat. Teramat berat bagi jiwaku, sebagai seorang perempuan desa yang tinggal di lingkungan pedesaan tradisional, yang masih memperhitungkan tentang masalah usia.
Dogma tak tertulis yang mengatakan bahwa, anak perempuan di usia yang berkepala empat yang belum kawin adalah perempuan tua, tak laku, perawan kasep, dan sebutan-sebutan lain selalu mampir di telingaku. Duh, betapa menyakitkan. Tiap lewat di kerumunan ibu-ibu yang berkumpul sambil bergunjing, kata-kata itu selalu mampir di gendang telingaku membuat merah daun telinga dan rasanya ingin supaya aku tak terlihat.
“Tuh, anaknya Pak Maryadi, nggak laku-laku. Kasihan ya, jadi perawan tua.”
Dan setiap mendengar kata-kata ibu-ibu tersebut, mendadak aku ingin berubah menjadi gas. Menguap tak kasat mata. Dus!
Perawan tua. Itu kini julukanku. Dan masih banyak lagi julukan yang aku sandang. Bukan keinginanku menjadi seperti itu. Aku hanyalah perempuan yang tak ingin terlalu mengobral senyum sana sini hanya untuk menggaet lelaki. Meski aku juga sudah berusaha menata diri menjadi sedikit menarik di mata orang lain. Tetapi, kalau Tuhan memang berkehendak yang lain, apa dayaku?
Rasa-rasanya, aku sudah mencoba dan melakukan yang dianjurkan oleh agamaku. Aku mencoba untuk berjalan sesuai rel akhlak yang lurus-lurus saja. Aku tak pernah berbuat aneh-aneh yang dilarang agama. Tetapi kenapa jodoh itu tak jua menjemputku. Belum lagi masalah rejeki. Aku yang lulusan Diploma Tiga Sekretaris, sampai usia saat ini juga tak mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan bidangku. Padahal, dulu, bertahun-tahun lalu, ijasah Diploma Tigaku itu kuanggap sebagai senjata pamungkas terhebatku untuk meraih mimpi-mimpi menjulang.
Betapa tidak. Di tempatku, kampung kecil nan terpencil itu, belajar sampai ke perguruan tinggi adalah hal yang sangat langka. Teramat langka. Sebuah gedung universitas laksana menara gading yang teramat megah untuk dimasuki. Dan aku terpilih masuk ke sana. Tentu saja itu sebuah kemenangan besar yang aku rasakan.
Tetapi, kini lembaran ijasah itu tak lebih dari sebuah onggokan kertas tak berharga yang tersimpan di lemari pakaianku. Berada di rak paling bawah, bahkan telah menyelip entah kemana.
Dan kini, tanggal 12 Januari. 43 tahun usiaku. Dan aku masih sendiri. Perempuan lajang yang tak tahu, di mana seseorang yang dulu tulang rusuknya telah diambil Tuhan untuk dicipta menjadi diriku. Duhai, belahan jiwa, dimana kini kau berada. Betapa aku mendamba, kau datang melengkapi nafas kehidupanku. Bukankah Tuhan menciptakan segalanya berpasangan di dalam kehidupan ini. Dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar. Dan satu hati dalam tubuh kita. Karena Tuhan telah menyiapkan hati yang lain untuk melengkapi.
“Mbok, aku malu. Aku kasihan dengan simbok kalau simbok sedang berkumpul dengan ibu-iu itu,” ratapku kepada perempuan sepuh yang rapuh itu.
Simbok. Ya, aku memanggil Ibuku dengan panggilan simbok. Karena aku memang perempuan kampung.
“Kenapa harus malu, Nduk. Kalau memang jodoh itu belum datang juga, bukan berarti Gusti Allah tidak sayang sama kamu. Justru itu wujud kasih sayang Gusti Allah kepadamu.”
Itu yang selalu simbok katakan kepadaku. Dan aku merasa mempunyai kekuatan untuk kembali melangkah menapaki hari-hariku. Walau kesunyian belum juga berlalu. Tetapi setidaknya aku tetap optimis melangkah dan tak pupus harap akan kekuatan sebuah do’a.

Cerpen: Cinta Yang Sebenarnya

Hampa menerpa. Segala cuaca seakan terkumpul pada suasana pagi itu. Sekejap mendung tebal melintas seakan tak peduli pada tatapan cemas anak-anak kecil yang berjalan melintas perbukitan kecil itu untuk berjalan menuju ke sekolahnya yang berdiri rapuh di atas bukit. Di kali lain, dalam hitungan detik, kabut putih tebal menyebar ke segala penjuru menutup pandang segala penglihatan yang bergegas pada langkah-langkah pagi yang seakan tergesa menuju ke suatu tempat. Entah kemana.

Angin masih masih berkesiur pelan mengantarkan dingin yang kadang membuat tubuh menggigil. Seperti juga pada sebuah jendela yang terbuka, seraut wajah menatap pagi berkabut dalam balut seribu gundah yang terhias kuyu pada wajahnya. Apakah kau masih di sana, kekasihku? Menatap gumpalan kabut bersulam seribu embun yang menari di pucuk-pucuk daun? Batinnya gamang menatap pilu di kejauhan. Gadis itu, mengenang wajah kekasihnya yang telah pulang ke alam baka, ketika bencana tak terkira menerjang tempat kediamannya. Tanah yang seakan marah, menerjang habis semua warganya dalam sebuah tragedi tak terencana ketika hujan tak juga mengirimkan berita bahwa dia akan turun sepanjang hari, lalu kemudian longsor menerpa seketika.

Masih jelas kenangan bersama, ketika purnama menyepuh malam dalam cahaya yang remang mempesona.

“ Kau tahu, aku sudah membicarakan tentang hubungan kita dengan kedua orang tuaku. Dan tak lebih dari satu purnama lagi, kami akan menghadap ke orang tuamu untuk meminta kamu bersedia menjadi pendampingku,” janji sang kekasih pada saat itu.

Angin berdesir manja. Purnama terlunta,namun bahagia. Burung malam yang tadi riuh berirama, diam sekejap mencerna janji sang arjuna. Tak perlu waktu lama, ketika janji terkata, hati yang telah lama menunggu bahagia itu terlonjak riang menerpa segala semesta dalam bola-bola asmara  yang melagukan irama surga.

“ Tentu saja. Bukankah dari dulu memang inilah akhirnya. Kita ingin kelak selalu bersama, membesarkan anak-anak kita dalam pondok sederhana. Menjala segala bahagia dan mewariskannya kepada keturunan kita?” jawab sang putri jelita dengan nafas lega. Tenang. Setenang telaga biru yang makin berkilau dalam tumpahan sinar rembulan.

Dan tawa menggema. Menelusup selubung malam dalam balutan rona bahagia. Hingga akhirnya kedua keluarga sepakat telah menentukan tanggal sakral yang akan menyatukan dua insan saling mencinta itu dalam bingkai mahligai rumah tangga. Dua purnama ke depan, janji itu akan terucap. Segala persiapan telah direncanakan dengan sempurna. Hingga detik waktu seakan tak mampu mengurai penantian akan janji yang terpatri.

Tetapi, kehidupan punya jalan ceritanya sendiri. Tak perlu meminta restu pada mereka yang menjalani. Dia punya dunianya sendiri. Baik cerita bahagia yang menyunggingkan tawa, ataupun cerita duka yang menggenangkan air mata. Dia tak peduli. Karena iramanya melagukan nyanyiannya sendiri.

Bencana itu, membawa sekeping hatinya pergi. Juga separuh jiwa. Bahkan mungkin separuh nyawa. Seperti pepatah Jawa, bahwa garwo adalah sigaraning nyowo. Garwo, pasangan jiwa. Dia adalah separuh nyawa, separuh jiwa. Ketika pasangan jiwa itu pergi, ada bagian-bagian dalam diri yang ikut pergi. Rencana bahagia itu juga sirna. Menguap bersama duka. Mengalir mengikut arus air mata.

“Kenapa?” hanya itu yang selalu terucap. Sang belahan jiwanya hilang bersama retaknya bumi tempatnya berkarya. Hilang, tergulung bencana yang meluluh lantakkan kampungnya, ketika tebing-tebing curam itu tak sanggup lagi berdiri kokoh menyangga curahan hujan yang berderai seharian.

“Kami tak bisa lagi menemukan 20 jenasah yang diperkirakan masih tertimbun longsor. Medan yang sulit dan juga cuaca yang tak memungkinkan, membuat kami terpaksa menghentikan pencarian ini,” kata para aparat yang bertugas mencari korban.

Pupus sudah harapan itu. Bahkan untuk sekedar melihat kali terakhir raga yang selalu dirindukannya pun, seakan tak lagi ada. Dunia seakan runtuh, meluruh bersama puing-puing asa yang dulu tegak kokoh berdiri melandasi bangunan istana cinta yang dibangunnya. Dan kini semuanya terberai.

Termangu sang gadis menatap kejauhan. Kosong pandangan. Mencoba menyibak kabut yang tergelar di depannya. Siapa tahu, sang belahan jiwa muncul di sana. Dari lorong yang tak mampu dimasukinya. Tetapi, sampai senja menutup cakrawala, tak juga ada dia datang menggandeng lengannya. Seperti dulu kala. Saat dia masih ada.

Teringat akan kenangan indah, ketika senja seperti ini. Ketika kabut memayungi mereka dalam sentuhan hangat dua kutub cinta. Cinta mereka berdua. Tanpa siapa-siapa. Berjalan penuh gelak tawa. Menyusuri hutan-hutan cemara. Mengumpulkan sejuta kunang-kunang yang bercahaya. Alangkah indahnya.

“Sebaiknya kita pulang. Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Terlalu bahaya kalau kamu disini?” lembut suara ibunya menyadarkan lamunannya yang mengembara. Ah, bunda. Betapa dalam segala suasana, engkau selalu ada. Memberi kekuatan dalam hempasan badai kehidupan.

Dan pulang ke rumah, seakan mengulang lagi kenangan indah itu. Di beranda ini. Tempat berbincang ketika hujan memayung cuaca. Juga ketika purnama menyulam semesta. Segala tempat. Segala rupa, hanya ada kenangan itu. Tak jua sirna. Namun, di belaian lembut bunda segala kosong jiwa menemukan muara. Cinta yang sebenarnya…………..








cerpen

KESUNYIAN JINGGA

Cericit nyanyian burung pada pagi hari di atas bukit itu mendendangkan nyanyian yang sangat indah. Menebar pandangan ke segala penjuru, yang terlihat adalah lukisan Sang Maha Pencipta yang teramat sempurna. Langit biru jernih. Sementara sinar mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Terlihat beberapa ekor burung pipit terbang bergerombol dalam sebuah kelompok, terbang menukik, lalu menghilang di balik bukit. Sungguh, sebuah karunia Illahi di pagi hari yang sangat menenteramkan hati.
Gadis itu masih duduk di sebuah batu besar di atas bukit. Di sampingnya berdiri menjulang sebuah pohon beringin raksasa yang mungkin sudah berumur puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Sulur-sulur pohon itu begitu banyak, laksana tangan malaikat yang siap mencengkeram siapa saja yang mengusik ketenangannya. Sang gadis masih saja terdiam membisu menikmati panorama pagi yang indah dari atas bukit itu. Rambutnya yang legam sebahu dibiarkan tergerai terjamah angin yang sesekali berkesiur. Hembusan angin pagi menerbangkan dan meluruhkan daun-daun beringin kering. Jatuh luruh ke bumi dan kemudian melayang lagi.
“Pulanglah. Karena sebentar lagi panas matahari akan membakar kulitmu. Nanti kulitmu bias berubah legam,” kata pohon beringin tua kepada sang gadis.
“Aku tak mau pulang. Aku akan tetap di sini. Sampai kesunyian ini mengendap ke dasar hatiku,” sang gadis bersikukuh dan tetap diam mematung.
“Tak ada gunanya kamu duduk seharian di sini. Tidakkah kamu melihat burung pipit itu. Lihatlah! Dia mengajarkan anak-anaknya untuk terbang. Kamu lihat Pipit kecil itu tidak pernah berputus asa meskipun dia berkali-kali terhempas ke bumi. Kenapa juga kamu harus berputus asa?” kata sang pohon.
Sang gadis menoleh. Dilihatnya tiga ekor burung pipit meloncat-loncat di dahan pohon beringin. Dua ekor burung pipit kecil. Dan seekor pipit dewasa. Rupa-rupanya sang induk sedang mengajarkan anak-anaknya untuk terbang.
“Ayo, anak-anakku! Kamu harus bisa terbang dengan cepat agar kalian bisa menyusul Ibu,” sang induk pipit menyeru kepada anak-anaknya yang nampaknya mulai kelelahan.
“Ibu, aku lelah sekali. Sayap-sayapku seperti patah rasanya,” kata pipit betina kecil.
“Kalian tidak boleh menyerah, anak-anakku! Kalian harus bisa bertahan hidup di sini. Kalau kalian tidak mau nerlajar terbang, kalian akan menjadi mangsa binatang lain yang ganas. Mangsa burung elang. Apakah kalian tidak takut?” sang induk pipit menyemangati anak-anaknya.
“Kenapa binatang-binatang lain itu tega memakan kita, Ibu?” tanya sang pipit jantan.
“Itulah hukum di kehidupan kita, anak-anakku. Siapa yang kuat, dialah yang akan menang dan berkuasa. Untuk itulah kalian harus kuat dan jangan mudah menyerah. Karena kalau kita lemah, kita pasti akan kalah,” nasehat sang induk pipit.
Dan anak-anak  burung itupun kembali belajar terbang lagi. Pantang menyerah. Berulangkali terjatuh. Tetapi sang induk sungguh sabar dan pintar membangkitkan semangat mereka.
Sang gadis menyimak percakapan pipit-pipit itu. Dan dia tercenung. Sungguh  bijaksana induk pipit itu. Dengan berani dia mengajarkan anak-anaknya untuk tetap berjuang demi mempertahankan hidup di lingkungannya yang keras dan kejam.
“Apa yang kamu dengar dari percakapan itu, kawan?” tanya pohon beringin tua. Sang gadis masih diam mematung.
“Hubungan kekeluargaan yang sungguh bahagia.” Gumam sang gadis
“Lalu apalagi?” beringin tua melanjutkan pertanyaannya.
“Ibu yang bijaksana. Begitu tegar dan sabar menyemangati anak-anaknya,” lanjut sang gadis.
Sepi. Percakapan itu terhenti.
“Tetapi kenapa kamu nampak murung akhir-akhir ini?” sang pohon melanjutkan bertanya.
Beberapa hari terakhir ini sang gadis selalu melewatkan paginya di atas bukit. Biasanya dia dating ke bukit menjelang pagi dan akan di sana menunggu matahari muncul di ufuk timur.
“Aku bosan dengan takdir hidupku. Semuanya aku jalani dengan serba terpaksa. Aku harus selalu menuruti keinginan mereka,” sang gadis mulai terisak.
“Siapa mereka?” sang pohon rupanya mulai tertarik dengan cerita itu.
“Mereka adalah orang-orang yang merasa berkuasa atas kehidupanku,” jawab sang gadis sambil menyibakkan rambut legamnya yang meriap ditiup angin gunung.
“Apa yang mereka telah lakukan?”
“Ah, sudahlah. Aku rasa kamu pun pasti akan berbuat seperti mereka. Aku mau pulang saja. Matahari sudah mulai terasa panas di sini,” kata sang gadis sambil beranjak pergi.
Angin masih bertiup lembut membelai perbukitan yang hijau asri itu. Bunga bakung yang berwarna putih laksana tebaran mutiara di lereng-lereng bukit.
“Dari mana saja kamu?” tegur suara lelaki separuh baya, ketika sang gadis memasuki pekarangan rumahnya.  Tegas dan berwibawa.
“Dari bukit melihat matahari terbit, Ayah,” jawab sang gadis sambil berlalu melintasi halaman rumahnya.
“Melihat matahari terbit sampai siang begini? Apa saja yang kamu lakukan di atas sana, hah? Jangan terlalu sering keluar rumah. Kamu harus menjaga penampilan kamu agar kulitmu tetap terlihat cantik sampai hari pernikahanmu nanti,” kata laki-laki setengah baya itu.
“Saya tidak mau menikah dengan laki-laki yang tua bangkotan itu. Saya tidak mau jadi isteri keempatnya,” teriak sang gadis sambil berlari masuk ke kamarnya.
“Dengar, anakku. Sekaranglah saatnya kamu berbakti kepada kedua orang tuamu. Ayah berhutang budi pada Pak Baroto. Dia yang selama ini membantu kehidupan kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Sampai kita sekarang menjadi orang kaya dan terpandang di kampung kita ini. Kamu harus tahu itu!” kata Ayah sang gadis.
“Itu semua Ayah yang menginginkannya. Bukan saya! Saya tidak menuntut agar kita bisa menjadi orang kaya dengan cara seperti itu. Saya hanya ingin menikah dengan orang yang saya cintai. Bukan dengan Pak baroto. Laki-laki tua yang gemar main perempuan. Saya tidak mau menikah dengan dia!” teriak sang gadis dari dalam kamar sambil menghempaskan badannya di atas tempat tidur.
“Sudahlah, Pak. Kalau dia tidak mau menikah dengan Pak Baroto, Bapak kan bisa membatalkan pernikahan itu. Kasihan anak kita,” bujuk isterinya sambil memegang bahu suaminya.
“Tidak bisa, Bu. Aku sudah berjanji pada beliau, bahwa kita bersedia menyerahkan anak kita untuk diambil sebagai isterinya,” jawab laki-laki itu tegas.
Kedua orang tua itu terdiam. Hening seketika menyergap. Dalam hatinya, sebetulnya kedua orang tua itu tidak ingin menyerahkan anak gadisnya kepada lelaki tua kaya raya itu. Karena Baroto bukanlah orang baik. Tetapi keluarga itu sudah terperangkap dalam lingkaran permainan dengan Baroto. Hutang keluarga yang menggunung kepada rentenir, telah dilunasi oleh Baroto. Meskipun sebagai imbalannya, adalah masa depan puteri tercintanya. Dan ketika Baroto menawarkan kebaikan yang pahit, orang tua itu hanya bisa mengangguk pasrah. Dia teringat ketiga anaknya. Terutama putera bungsunya yang masih kecil, yang diharapkan bisa menjadi penerus usahanya. Dia tak ingin masuk penjara, dan keluarganya menjadi terlantar.
Hingga akhirnya, Jingga, puteri sulungnya, yang masih sangat belia harus menjadi korban. Gadis remaja itu dalam waktu dekat harus bersanding di pelaminan dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Dan seakan kisah Siti Nurbaya akan terulang.
“Apakah tidak ada cara lain agar anak kita tidak jadi menikah dengan Pak Baroto?” tanya sang istri sambil memandang wajah suaminya.
“Entahlah, Bu. Aku juga tidak tahu. Bagaimana mungkin kita bisa mengembalikan uangnya Pak Baroto yang begitu banyak,” jawab lelaki itu sambil memegangi kepalanya.
“Kenapa tidak kita jual saja rumah ini?” jawab istrinya memberikan jalan keluar.
“Tidak akan cukup, Bu. Lagi pula kita nanti akan tinggal di mana. Jingga masih punya dua orang adik yang masih butuh biaya dan tempat tinggal yang layak. Kalau dalam dua minggu ini kita tidak bisa mengembalikan uangnya Pak Baroto, terpaksa kita memang harus menikahkan anak kita,” jawab sang suami.
Sang istri hanya mendesah lirih. Bagaimanapun, sebagai seorang ibu hatinya merasa pedih. Dia kasihan kepada puterinya yang harus menanggung beban karena permasalahan orang tuanya. Tetapi, sebagai seorang istri, perempuan lembut itu tak mampu berbuat banyak.
Dan Jingga menangis pilu di kamarnya.
“Kenapa kehidupan begitu tak adil untukku. Kenapa aku yang harus menjadi korban ketamakan Baroto jahanam itu?” batinnya berontak.
Hatinya terasa begitu remuk. Tetapi gadis itu tak mampu mengurai benang yang melilit kehidupannya. Batinnya marah. Dan dia bertekad untuk keluar dari kumparan masalah ini.
Dan pagi itu, dia kembali ke bukit.
“Kenapa kamu semakin murung?” tanya sang pohon beringin, ketika sang gadis duduk di bawahnya.
Keduanya kini telah menjadi dua saudara yang saling membutuhkan.
“Entahlah. Sepertinya aku tak punya pilihan lagi. Aku harus menerima laki-laki tua itu sebagai suamiku,” jawab sang gadis sambil melepaskan pandangannya ke bawah bukit.
“Kamu bahagia dengan semuanya itu?” sang pohon ingin tahu.
“Aku tidak tahu. Bahagia seperti apa yang aku dapatkan. Sebagai anak, aku harus berbakti kepada kedua orang tuaku, meski kadang orang tua juga bisa salah. Tapi aku juga tak ingin, masa depan mereka, terutama adik-adikku menjadi terancam. Aku harus berkorban untuk mereka. Saat ini, hanya dengan cara menjadi isteri Barotolah jalan keluar itu,” pasrah suara sang gadis.
“Maafkan aku. Aku tak bisa membantu kamu. Aku hanyalah sebatang pohon tua yang kesepian di atas bukit ini. Tetapi kalau kamu sedang dirundung duka, datanglah kemari dan kamu bisa cerita padaku tentang apa saja. Siapa tahu dengan bercerita, bebanmu bisa sedikit berkurang.”
“Terima kasih. Aku senang kalau kamu mau mendengarkan ceritaku. Aku juga merasa sangat kesepian. Aku tak punya siapa-siapa untuk tempat berbagi,” kata sang gadis tersenyum.
*****************

Dan pada suatu pagi, terjadi kegemparan di kampung itu. Sudah hampir lima hari sang gadis menghilang. Semua warga sudah bergotong royong mencari sang gadis, tetapi belum juga berhasil menemukan di mana gerangan gadis itu berada.
“Sontoloyo! Kamu sembunyikan di mana anak gadismu itu, heh?!” hardik Baroto ketika siang itu dia mengunjungi rumah calon istri keempatnya.
“Maaf, Pak Baroto. Kami juga tidak tahu. Lima hari yang lalu dia pergi ke atas bukit itu. Tetapi setelah itu dia tidak pulang lagi ke rumah ini,” jawab Ayah sang gadis ketakutan.
“Bohong! Pasti dia kamu sembunyikan. Kamu tidak mau menyerahkan anakmu itu padaku. Iya, kan?!” laki-laki tua berperut buncit itu semakin marah.
“Demi Tuhan, tidak Pak Baroto. Kami sudah rela menyerahkan dia sebagai isteri Bapak,” kata ayah sang gadis.
“Tetapi kenapa dia tidak ada di rumah?” Baroto masih tidak percaya.
“Saya tidak tahu, Pak.”
“Baik. Anak-anak, cari gadis itu di bukit sana. Dan segera bawa dia kemari dengan cara apapun. Cepat!” perintah Baroto kepada tiga orang anak buahnya.
“Baik, Pak,” jawab ketiganya serempak  sambil meninggalkan tempat itu.
“Kami mohon, jangan sakiti anak kami, Pak Baroto,” rengek Ibu sang gadis sambil terisak.
“Hmm… Aku tidak akan menyakiti anakmu. Tetapi kalau sampai anak itu tidak ketemu, kalianlah yang akan menanggung akibatnya.” Angkuh suara Baroto.
“Beri kami kesempatan untuk menemukan anak kami, Pak. Kami berjanji, akan menyerahkan dia kalau sudah kami temukan.”
“Baiklah. Aku masih berbaik hati memberi kalian kesempatan. Seminggu lagi aku akan kembali lagi dan kalian harus sudah menemukan anakmu itu,” kata Baroto sambil meninggalkan kedua orang tua yang masih ketakutan itu.
Dan detik demi detik merayap. Menjadi hitungan jam. Bertambah lagi menjadi menjadi hari. Dua hari, tiga hari, bahkan sampai lima hari jejak sang gadis tak ditemukan. Dia seakan hilang ditelan bumi. Tak ada yang tahu kemana sang gadis berada. Mereka hanya tahu, sebelum sang gadis hilang, mereka sering melihat sang gadis pergi ke atas bukit. Hampir setiap hari. Dan dia duduk di sana hingga menjelang tengah hari. Dan mereka kadang mendengar gadis itu berbicara, entah dengan siapa. Kadang tertawa-tawa, bahkan sering kali terlihat menangis sendirian.
Tetapi, kini penduduk kampung tak pernah melihat gadis itu lagi. Mereka hanya melihat pohon beringin tua itu tetap tegak kokoh berdiri sendirian di atas bukit sana. Sulur-sulur pohonnya terlihat menjurai ke tanah. Laksana jenggot lelaki pertapa tua yang tak terawat. Sesekali angin berkesiur menggoyang daun-daunnya yang rimbun menghijau. Daun-daun itu kadang berkeresek ketika angin meniupnya. Menimbulkan suara-suara aneh, seperti nyanyian kepedihan dari alam lain. Kadang dahannya yang rapuh patah berderak menghempas bumi.
“Apakah kamu sudah siap dengan keputusanmu itu?” tanya sang pohon.
Siang itu terasa panas menyengat. Matahari tegak di atas kepala.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa setegar pipit-pipit kecil itu. Aku hanyalah Jingga, gadis kecil yang kesepian.”
Dan warga kampung kembali gempar. Siang itu mereka melihat sang gadis terkulai lemas di bawah pohon beringin tua di atas bukit. Sebotol racun serangga masih tergenggam di tangannya.
Sementara, angin gunung bertiup lamban menggoyang daun-daun pohon beringin yang hijau merimbun. Mendendangkan nyanyian sedih dari alam kegaiban.


Puisi Luka

PUISI – PUISI LUKA
v                lalu nyeri terasa
pada gumpalan awan awan jingga di ufuk senja
torehan luka yang membungkam rasa
tentang cinta yang terbuang siasia……..

v                pada apa harus kularutkan segala rasa?
Sementara senja yang biasanya kunikmati kini bukan lagi arena tempatku bercengkrama
Dan luka memprandakan asa yang tersisa…………….

v                Sengaja kulinangkan air mata
Di senja yang di dalamnya pelangi mengurai warna
Walau sesungguhnya nyeri luka mengaburkan warna yang ada……

v                Desir cemara menemani senja yang bilur oleh luka
Dan aku berdiri termangu menikmatinya
Meski luka meraja………
v                Terbata bata aku mengeja nama
Yang dulu pernah ada
Walau akhirnya semua sirna
Dan kini tinggallah luka…………..

v                Jingga bertahta di dinginnya senja
Seuntai doa kurapalkan untuk memujanya
Akulah pecinta senja
Walau luka mendera, aku menikmatinya…………..

v                Sayang,……………
Di senja aku melihat bayangbayang
Cinta kita seakan tertayang
Meski kini semua hanya dalam kenang




v                Di pantai luka aku selalu ada
Menyimak senja yang bertutur cerita
Tentang dukanya cinta
Yang kini terabai lara

v                Angin berkesiur di senja yang uzur
Mengirimkan setumpuk daun yang gugur
Gambaran lukaku dalam diam yang terkubur

v                hujan mengingatkan aku
tentang silam masa lalu
di mana kenangan cinta itu
menorehkan luka yang membiru

v                rerintik tetes hujan itu….
Adalah selembar kenangan bagiku
Juga seribu lukaluka beku
Yang tertulis abadi di hatiku…
v                Hujan, kenangan, dan luka
Rangkaian peristiwa
Tentang cinta yang dulu pernah begitu merona
Walau akhirnya luka memporandakan altar kita

v                Dalam hujan, irama luka terasa begitu menggema
Dan segala asa yang dulu pernah ada,
Mendadak sirna….
Seiring kenangan yang mungkin lapuk dimakan usia

v                Hujan yang menempias di sudut jendela
Melukiskan indah kenangan kita
Dan guratnya terasa semakin nyata
Meski semua kini menyuguhkan luka…..




v                Pada bulir bulir hujan yang menggigilkan hatiku
Aku menatap sayu pada tiaptiap rinai yang turun melaju
Ah, kenangan itu……..
Kini seperti memenjarakan aku
Dalam genang luka yang menghimpitku

v                Dan, hujan selalu begitu
Melemparkan aku dengan sejuta kenanganku
Tentang masa lalu yang masih saja lekat di anganku
Tentangmu yang kini entah tak aku tahu….

v                Hujan ini, kekasihku………
Adalah jembatan menuju silam tentangmu
Juga tentang luka yang membuat hati ini kelu
Juga tentangmu, yang kini tinggalkan aku……………..



v                Ada gigil pagi yang terselimuti hujan yang setia menemani
Juga tingkap hati yang terasa kian sepi…..
Pada hujan yang riuh bernyanyi….
Kusampaikan rinduku….
Semoga saja bisa terobati

v                Pada dingin hujan
Kutumpahkan segala perasaan
Rindu yang berkejaran………….
Luka yang berkelindan……………
Dan semua tentangmu, yang masih lekat dalam ingatan

v    Dan, betapa hujan menerjemahkan kenangan kita
Bagai cerita cinta yang penuh luka……….
Pada gigil luka yang meraja
Aku terdiam lara
Membebat rindu dengan serpih mimpi yang tak lagi ingin kunikmati
v    Dan tetes air hujan pagi ini, kekasih
Adalah nyanyian lukaku ketika kau pergi dari altar rindu, di musim lalu….

v    Jika sekiranya di senja ini aku tak ada di ufuk sana
Mungkin di senja berikutnya kita masih bisa menyatukan mimpi kita
Walau segores luka menyertainya

v    Di bentang sunyi semesata
Lantang kueja setiap makna
Tentang luka yang membiru nyata
Atas nama cinta……………

v    Duhai senja…..
Beri ku warna. Jingga….. atau apa saja
Agar luka tak membuatku lara. Tentu saja!


v    Dan di selubung malam, rapuhku menyulam mimpi mimpi tak pasti
Tentang riuh rindu yang bergerak merrupa angina
Menghempas lepas, dan asa iu kandas
Dalam linang luka yang terrtindas

v    Apakah gurat rupa wajahmu hanya fatamorgana yang menipu?
Dan gigil rinduku bekukan malam hingga kejora tak mampu lagi bercahaya…. Dan hanya tersisa,luka……..

v    Dan malam bentangkan sayapnya, di mana aku ingin luruh dalam senyapnya.
Agar nyeri luka ini mereda

v    Senja, adalah harum nafasmua ketika lantun doa doa mengobati keeping hatiku yang terdera lara dan menggurat luka nganga

v    Senja menguntai warna dalam dimensi semesta.
Di antara remah mimpi yang tersisa, kaulah muara segala luka
Apakah kau merasa????

v    Dan luka  seakan mengalir ke muara ketika gelap malam menaungi semesta
Tanpa kata, kueja namamu dalam diam yang kelam
Dan malam menggurat luka pada dinding dinding semesta
Tanpa kata, kau toreh dusta pada hati yang teraniaya

v    Senja larut dalam dimensi warna antara jingga, biru, dan nila
Menyamarkan rasa yang mengharubiru kenangan luka
Kujamah rindu yang bergelora.
Mewarnai semesta. Berkelebatan mengurai segala kenang yang terentang di lini masa. Suatu ketika….

v    Seakan luka yang meriuhkan jelaga malam, pada akhirnya duka tertayang pada remah fatamorgana yang melebur indah pijar aura. Kau.
Selaksa tahta maya yang mengoyak tabir damba dalam pekat semesta

v    Pada akhirnya hanya jeda yang mampu mentasbihkan suara suara
Karena cinta ternyata hanya segores luka nganga di rahim semesta

v    Senja ini aku kehilangan kata
Ketika gullita hadir tiba tiba membungkam lara yang luka
Tak tersisa keeping damba yang dulu sempat membuncahkan rasa

v    Di ujung gulita, malamku seakan rebah dalam luka
Menata pinta yang berbaur dalam doa dan berbalut air mata.
Pada pendar berjuta bintang, kutitipka pijar asa.
Bukankah semesta telah menorehkan takdirnya ketika Tuhan menasbihkan cerita tentang kita?

v    Seperti tak kuasa,senja mengelam dalam rejam kesendirian
Bertahtakan sepi harap yang kembali menguarkan aroma luka pada detak detak waktu yang seperti membatu. Pilu mengoyak kelu dalam serapah yang memapah gundah

v    Desember. Masih saja menyajikan. Bulir bulir hujan yang melesapkan kenangan. Juga rinai yang memburaikan serpihan asa yang berjatuhan. Di antara jarak yangmemisahkan. Antara aku, kau, dan kenangan.
Bukankah Desember akan selalu ada, meski genang rindu mungkin tlah mengeringa karena muara tak lagi mampu menampung luka?
Luka dan kepedihan.
Merangkum nyata dalam jejak kusam yang tertatih menimang damba akan indahmu yang kian samar tenggelam dalam tempias senja yang diam termangu menyajikan perih yang tak kuasa kusapih



v    Menyadari jejakmu yang kian menjauh, dalam doa tak pernah berhenti kupinta.
Semoga adamu kan mewujud dalam bingkai nyata, sempurna…
Aku letih mengemas luka yang terbentuk dari remah bayangmu. Semu………

v    Senja…
Ada kelam yang menikam. Perlahan. Dalam diam. Juga kenangan. Timbul silam bergantian. Dan perlahan, malam mengatupkan impian. Tentang luka yang dalam. Juga harapan yang tertanam.
Sementara kita…..
Pelan pelan melangkah memilah jalan

v    Hujan yang melukis bianglala senja seakan hamparan sejuta cerita tentang indahnya warna yang  berbaur dengan senyapnya luka pada mata mata yang menatap hampa.
Denting denting suara yang menerpa lemahnya raga, tak lagi mampu aku bahasakan dengan kata meski sebetulnya sederhana saja. Maafkan…
v    Kembali kenangan purba mengais luka.
Tentang ribuan cerita yang menuai bilur bilur indah senjakala.
Dan hanya ada tanya tentang kisah kita,,,,,
Mengapa???

v    Pada kesumat yang melumat habis segala siasat, kucabik luka bisu yang selama ini menempatkanmu pada altar rindu. Biar saja semua yang pernah kutata menjadi untai kata penuh makna, kini berai menenggelamkan segala jejak bayangmu pada gulita malam malamku yang tak lagi beraroma rindu.
Kudamparkan segala bahtera pada retaknya dermaga 

v    Senja menua.
Membiaskan berjuta tarian rindu yang seakan enggan berlalu.
Masihkah kau ingat segala kenang yang sebenarnya enggan kubuang?
Mengais serpih asa di antara reruntuhan luka, seakan merengkuh mimpi untuk membelaimu, lagi………..

v    Pada titik ini.
Dalam sunyi yang tak lagi menorehkan pelangi, tersaji nyata luka luka yang hampir terlupa.
Dan kini, sapamu pergi berlalu semenjak arena rindu ini menyajikan hampa yang sia sia

v    Apakah malam? Dialah senyap yang berbalut kelam yang menenangkan.
Pada setiap jiwa yang luka, dia menyapa. Menuturkan cerita. Tentang mimpi mimpi indah suatu masa. Di mana segala luka menemukan muara. Lalu, kamu di mana, cinta???