KESUNYIAN JINGGA
Cericit nyanyian burung pada pagi hari di atas bukit itu mendendangkan
nyanyian yang sangat indah. Menebar pandangan ke segala penjuru, yang terlihat
adalah lukisan Sang Maha Pencipta yang teramat sempurna. Langit biru jernih.
Sementara sinar mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Terlihat beberapa
ekor burung pipit terbang bergerombol dalam sebuah kelompok, terbang menukik,
lalu menghilang di balik bukit. Sungguh, sebuah karunia Illahi di pagi hari
yang sangat menenteramkan hati.
Gadis itu masih duduk di sebuah batu besar di atas bukit. Di sampingnya
berdiri menjulang sebuah pohon beringin raksasa yang mungkin sudah berumur
puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Sulur-sulur pohon itu begitu banyak,
laksana tangan malaikat yang siap mencengkeram siapa saja yang mengusik
ketenangannya. Sang gadis masih saja terdiam membisu menikmati panorama pagi
yang indah dari atas bukit itu. Rambutnya yang legam sebahu dibiarkan tergerai
terjamah angin yang sesekali berkesiur. Hembusan angin pagi menerbangkan dan
meluruhkan daun-daun beringin kering. Jatuh luruh ke bumi dan kemudian melayang
lagi.
“Pulanglah. Karena sebentar lagi panas matahari akan membakar kulitmu.
Nanti kulitmu bias berubah legam,” kata pohon beringin tua kepada sang gadis.
“Aku tak mau pulang. Aku akan tetap di sini. Sampai kesunyian ini
mengendap ke dasar hatiku,” sang gadis bersikukuh dan tetap diam mematung.
“Tak ada gunanya kamu duduk seharian di sini. Tidakkah kamu melihat
burung pipit itu. Lihatlah! Dia mengajarkan anak-anaknya untuk terbang. Kamu
lihat Pipit kecil itu tidak pernah berputus asa meskipun dia berkali-kali
terhempas ke bumi. Kenapa juga kamu harus berputus asa?” kata sang pohon.
Sang gadis menoleh. Dilihatnya tiga ekor burung pipit meloncat-loncat di
dahan pohon beringin. Dua ekor burung pipit kecil. Dan seekor pipit dewasa.
Rupa-rupanya sang induk sedang mengajarkan anak-anaknya untuk terbang.
“Ayo, anak-anakku! Kamu harus bisa terbang dengan cepat agar kalian bisa
menyusul Ibu,” sang induk pipit menyeru kepada anak-anaknya yang nampaknya
mulai kelelahan.
“Ibu, aku lelah sekali. Sayap-sayapku seperti patah rasanya,” kata pipit
betina kecil.
“Kalian tidak boleh menyerah, anak-anakku! Kalian harus bisa bertahan
hidup di sini. Kalau kalian tidak mau nerlajar terbang, kalian akan menjadi
mangsa binatang lain yang ganas. Mangsa burung elang. Apakah kalian tidak
takut?” sang induk pipit menyemangati anak-anaknya.
“Kenapa binatang-binatang lain itu tega memakan kita, Ibu?” tanya sang
pipit jantan.
“Itulah hukum di kehidupan kita, anak-anakku. Siapa yang kuat, dialah
yang akan menang dan berkuasa. Untuk itulah kalian harus kuat dan jangan mudah
menyerah. Karena kalau kita lemah, kita pasti akan kalah,” nasehat sang induk
pipit.
Dan anak-anak burung itupun
kembali belajar terbang lagi. Pantang menyerah. Berulangkali terjatuh. Tetapi
sang induk sungguh sabar dan pintar membangkitkan semangat mereka.
Sang gadis menyimak percakapan pipit-pipit itu. Dan dia tercenung.
Sungguh bijaksana induk pipit itu.
Dengan berani dia mengajarkan anak-anaknya untuk tetap berjuang demi
mempertahankan hidup di lingkungannya yang keras dan kejam.
“Apa yang kamu dengar dari percakapan itu, kawan?” tanya pohon beringin
tua. Sang gadis masih diam mematung.
“Hubungan kekeluargaan yang sungguh bahagia.” Gumam sang gadis
“Lalu apalagi?” beringin tua melanjutkan pertanyaannya.
“Ibu yang bijaksana. Begitu tegar dan sabar menyemangati anak-anaknya,”
lanjut sang gadis.
Sepi. Percakapan itu terhenti.
“Tetapi kenapa kamu nampak murung akhir-akhir ini?” sang pohon
melanjutkan bertanya.
Beberapa hari terakhir ini sang gadis selalu melewatkan paginya di atas
bukit. Biasanya dia dating ke bukit menjelang pagi dan akan di sana menunggu matahari
muncul di ufuk timur.
“Aku bosan dengan takdir hidupku. Semuanya aku jalani dengan serba
terpaksa. Aku harus selalu menuruti keinginan mereka,” sang gadis mulai
terisak.
“Siapa mereka?” sang pohon rupanya mulai tertarik dengan cerita itu.
“Mereka adalah orang-orang yang merasa berkuasa atas kehidupanku,” jawab
sang gadis sambil menyibakkan rambut legamnya yang meriap ditiup angin gunung.
“Apa yang mereka telah lakukan?”
“Ah, sudahlah. Aku rasa kamu pun pasti akan berbuat seperti mereka. Aku
mau pulang saja. Matahari sudah mulai terasa panas di sini,” kata sang gadis
sambil beranjak pergi.
Angin masih bertiup lembut membelai perbukitan yang hijau asri itu. Bunga
bakung yang berwarna putih laksana tebaran mutiara di lereng-lereng bukit.
“Dari mana saja kamu?” tegur suara lelaki separuh baya, ketika sang gadis
memasuki pekarangan rumahnya. Tegas dan
berwibawa.
“Dari bukit melihat matahari terbit, Ayah,” jawab sang gadis sambil
berlalu melintasi halaman rumahnya.
“Melihat matahari terbit sampai siang begini? Apa saja yang kamu lakukan
di atas sana ,
hah? Jangan terlalu sering keluar rumah. Kamu harus menjaga penampilan kamu
agar kulitmu tetap terlihat cantik sampai hari pernikahanmu nanti,” kata
laki-laki setengah baya itu.
“Saya tidak mau menikah dengan laki-laki yang tua bangkotan itu. Saya
tidak mau jadi isteri keempatnya,” teriak sang gadis sambil berlari masuk ke
kamarnya.
“Dengar, anakku. Sekaranglah saatnya kamu berbakti kepada kedua orang
tuamu. Ayah berhutang budi pada Pak Baroto. Dia yang selama ini membantu
kehidupan kita hingga menjadi seperti sekarang ini. Sampai kita sekarang
menjadi orang kaya dan terpandang di kampung kita ini. Kamu harus tahu itu!”
kata Ayah sang gadis.
“Itu semua Ayah yang menginginkannya. Bukan saya! Saya tidak menuntut
agar kita bisa menjadi orang kaya dengan cara seperti itu. Saya hanya ingin
menikah dengan orang yang saya cintai. Bukan dengan Pak baroto. Laki-laki tua
yang gemar main perempuan. Saya tidak mau menikah dengan dia!” teriak sang
gadis dari dalam kamar sambil menghempaskan badannya di atas tempat tidur.
“Sudahlah, Pak. Kalau dia tidak mau menikah dengan Pak Baroto, Bapak kan bisa membatalkan
pernikahan itu. Kasihan anak kita,” bujuk isterinya sambil memegang bahu
suaminya.
“Tidak bisa, Bu. Aku sudah berjanji pada beliau, bahwa kita bersedia
menyerahkan anak kita untuk diambil sebagai isterinya,” jawab laki-laki itu
tegas.
Kedua orang tua itu terdiam. Hening seketika menyergap. Dalam hatinya,
sebetulnya kedua orang tua itu tidak ingin menyerahkan anak gadisnya kepada
lelaki tua kaya raya itu. Karena Baroto bukanlah orang baik. Tetapi keluarga
itu sudah terperangkap dalam lingkaran permainan dengan Baroto. Hutang keluarga
yang menggunung kepada rentenir, telah dilunasi oleh Baroto. Meskipun sebagai
imbalannya, adalah masa depan puteri tercintanya. Dan ketika Baroto menawarkan
kebaikan yang pahit, orang tua itu hanya bisa mengangguk pasrah. Dia teringat
ketiga anaknya. Terutama putera bungsunya yang masih kecil, yang diharapkan
bisa menjadi penerus usahanya. Dia tak ingin masuk penjara, dan keluarganya
menjadi terlantar.
Hingga akhirnya, Jingga, puteri sulungnya, yang masih sangat belia harus
menjadi korban. Gadis remaja itu dalam waktu dekat harus bersanding di
pelaminan dengan laki-laki yang lebih pantas menjadi bapaknya. Dan seakan kisah
Siti Nurbaya akan terulang.
“Apakah tidak ada cara lain agar anak kita tidak jadi menikah dengan Pak
Baroto?” tanya sang istri sambil memandang wajah suaminya.
“Entahlah, Bu. Aku juga tidak tahu. Bagaimana mungkin kita bisa
mengembalikan uangnya Pak Baroto yang begitu banyak,” jawab lelaki itu sambil
memegangi kepalanya.
“Kenapa tidak kita jual saja rumah ini?” jawab istrinya memberikan jalan
keluar.
“Tidak akan cukup, Bu. Lagi pula kita nanti akan tinggal di mana. Jingga
masih punya dua orang adik yang masih butuh biaya dan tempat tinggal yang
layak. Kalau dalam dua minggu ini kita tidak bisa mengembalikan uangnya Pak
Baroto, terpaksa kita memang harus menikahkan anak kita,” jawab sang suami.
Sang istri hanya mendesah lirih. Bagaimanapun, sebagai seorang ibu
hatinya merasa pedih. Dia kasihan kepada puterinya yang harus menanggung beban
karena permasalahan orang tuanya. Tetapi, sebagai seorang istri, perempuan
lembut itu tak mampu berbuat banyak.
Dan Jingga menangis pilu di kamarnya.
“Kenapa kehidupan begitu tak adil untukku. Kenapa aku yang harus menjadi
korban ketamakan Baroto jahanam itu?” batinnya berontak.
Hatinya terasa begitu remuk. Tetapi gadis itu tak mampu mengurai benang
yang melilit kehidupannya. Batinnya marah. Dan dia bertekad untuk keluar dari
kumparan masalah ini.
Dan pagi itu, dia kembali ke bukit.
“Kenapa kamu semakin murung?” tanya sang pohon beringin, ketika sang
gadis duduk di bawahnya.
Keduanya kini telah menjadi dua saudara yang saling membutuhkan.
“Entahlah. Sepertinya aku tak punya pilihan lagi. Aku harus menerima
laki-laki tua itu sebagai suamiku,” jawab sang gadis sambil melepaskan
pandangannya ke bawah bukit.
“Kamu bahagia dengan semuanya itu?” sang pohon ingin tahu.
“Aku tidak tahu. Bahagia seperti apa yang aku dapatkan. Sebagai anak, aku
harus berbakti kepada kedua orang tuaku, meski kadang orang tua juga bisa
salah. Tapi aku juga tak ingin, masa depan mereka, terutama adik-adikku menjadi
terancam. Aku harus berkorban untuk mereka. Saat ini, hanya dengan cara menjadi
isteri Barotolah jalan keluar itu,” pasrah suara sang gadis.
“Maafkan aku. Aku tak bisa membantu kamu. Aku hanyalah sebatang pohon tua
yang kesepian di atas bukit ini. Tetapi kalau kamu sedang dirundung duka,
datanglah kemari dan kamu bisa cerita padaku tentang apa saja. Siapa tahu
dengan bercerita, bebanmu bisa sedikit berkurang.”
“Terima kasih. Aku senang kalau kamu mau mendengarkan ceritaku. Aku juga
merasa sangat kesepian. Aku tak punya siapa-siapa untuk tempat berbagi,” kata
sang gadis tersenyum.
*****************
Dan pada suatu pagi, terjadi kegemparan di kampung itu. Sudah hampir lima hari sang gadis
menghilang. Semua warga sudah bergotong royong mencari sang gadis, tetapi belum
juga berhasil menemukan di mana gerangan gadis itu berada.
“Sontoloyo! Kamu sembunyikan di mana anak gadismu itu, heh?!” hardik
Baroto ketika siang itu dia mengunjungi rumah calon istri keempatnya.
“Maaf, Pak Baroto. Kami juga tidak tahu. Lima hari yang lalu dia pergi ke atas bukit
itu. Tetapi setelah itu dia tidak pulang lagi ke rumah ini,” jawab Ayah sang
gadis ketakutan.
“Bohong! Pasti dia kamu sembunyikan. Kamu tidak mau menyerahkan anakmu
itu padaku. Iya, kan ?!”
laki-laki tua berperut buncit itu semakin marah.
“Demi Tuhan, tidak Pak Baroto. Kami sudah rela menyerahkan dia sebagai
isteri Bapak,” kata ayah sang gadis.
“Tetapi kenapa dia tidak ada di rumah?” Baroto masih tidak percaya.
“Saya tidak tahu, Pak.”
“Baik. Anak-anak, cari gadis itu di bukit sana . Dan segera bawa dia kemari dengan cara
apapun. Cepat!” perintah Baroto kepada tiga orang anak buahnya.
“Baik, Pak,” jawab ketiganya serempak sambil meninggalkan tempat itu.
“Kami mohon, jangan sakiti anak kami, Pak Baroto,” rengek Ibu sang gadis
sambil terisak.
“Hmm… Aku tidak akan menyakiti anakmu. Tetapi kalau sampai anak itu tidak
ketemu, kalianlah yang akan menanggung akibatnya.” Angkuh suara Baroto.
“Beri kami kesempatan untuk menemukan anak kami, Pak. Kami berjanji, akan
menyerahkan dia kalau sudah kami temukan.”
“Baiklah. Aku masih berbaik hati memberi kalian kesempatan. Seminggu lagi
aku akan kembali lagi dan kalian harus sudah menemukan anakmu itu,” kata Baroto
sambil meninggalkan kedua orang tua yang masih ketakutan itu.
Dan detik demi detik merayap. Menjadi hitungan jam. Bertambah lagi
menjadi menjadi hari. Dua hari, tiga hari, bahkan sampai lima hari jejak sang gadis tak ditemukan. Dia
seakan hilang ditelan bumi. Tak ada yang tahu kemana sang gadis berada. Mereka
hanya tahu, sebelum sang gadis hilang, mereka sering melihat sang gadis pergi
ke atas bukit. Hampir setiap hari. Dan dia duduk di sana hingga menjelang tengah hari. Dan mereka
kadang mendengar gadis itu berbicara, entah dengan siapa. Kadang tertawa-tawa,
bahkan sering kali terlihat menangis sendirian.
Tetapi, kini penduduk kampung tak pernah melihat gadis itu lagi. Mereka
hanya melihat pohon beringin tua itu tetap tegak kokoh berdiri sendirian di
atas bukit sana .
Sulur-sulur pohonnya terlihat menjurai ke tanah. Laksana jenggot lelaki pertapa
tua yang tak terawat. Sesekali angin berkesiur menggoyang daun-daunnya yang
rimbun menghijau. Daun-daun itu kadang berkeresek ketika angin meniupnya.
Menimbulkan suara-suara aneh, seperti nyanyian kepedihan dari alam lain. Kadang
dahannya yang rapuh patah berderak menghempas bumi.
“Apakah kamu sudah siap dengan keputusanmu itu?” tanya sang pohon.
Siang itu terasa panas menyengat. Matahari tegak di atas kepala.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa setegar pipit-pipit kecil itu. Aku hanyalah
Jingga, gadis kecil yang kesepian.”
Dan warga kampung kembali gempar. Siang itu mereka melihat sang gadis
terkulai lemas di bawah pohon beringin tua di atas bukit. Sebotol racun
serangga masih tergenggam di tangannya.
Sementara, angin gunung bertiup lamban menggoyang daun-daun pohon
beringin yang hijau merimbun. Mendendangkan nyanyian sedih dari alam kegaiban.
wah kasihan banget gadis kecil itu smapai bunuh diri, koq ga takut mati ya?
BalasHapus