CERITA PAGI
Pagi ini hujan masih
menyanyi
Melantunkan kidung syukur
karena pongah sang kemarau telah menjauh pergi.
Pagi ini, sisa hujan
semalam masih juga terus menetes. Melarutkan debu, mengguyur ranting pohon yang
kemarin mati kehausan.
Pagi ini, dingin tetap
merayap. Menelusuri segenap jiwa, pada manusia yang lalu lalang di tanah-tanah
becek sisa hujan semalam
Pagi ini, angin masih
berlari kencang dan masih tertawa membawa banyak cerita.
Mengelus wajah-wajah
mungil nan lucu anak-anak kecil yang tertawa ceria bermain lumpur dan tanah
liat. Membelai rambut ikal bergelombang perawan-perawan desa yang berjalan
beriringan, mengendong sekeranjang harap tersisa.
Pagi ini, kabut masih
membentangkan tirainya. Putih. Melebur menjadi satu dengan awan yang biasa berarak
di tingkap langit biru semesta.
Pagi ini, matahari murung
terkalahkan kabut lembab, dan angina tetap tertawa dan menari-nari kegirangan
karena sang matahari tak mampu menepati janji.
Kemarin, matahari mengucap
sepotong janji pada seraut wajah murung yang melongok dari buram kaca
jendelanya.
“Percayalah, aku pasti
datang untukmu. Bersinar cerah, mengantarkan sejumput asa yang kelak akan kau
bawa melanglang buana,” janjinya.
Dan wajah itu tersenyum.
Tetapi kenapa murung tak jua menepi dari wajah piasnya?
Dia tak percaya lagi asa.
Dan bahkan janji sang matahari sekalipun.
“Kehidupan terlalu pongah
untuk kujalani,” rutuknya.
Gontai dia menyusur tepian
telaga pengharapan yang mengeruh. Biduk retaknya tertambat lunglai pada rapuh
kehidupan. “Aku tak percaya lagi sebuah kebaikan,” teriaknya.
Bertahun-tahun dibangunnya
asa itu. Dirangkainya sejumput demi sejumput, dan tersulam menjadi sebuah
lembar mimpi dan harapan. Dibentangkannya sepanjang titian perjalanan.
Hingga akhirnya semua
terkoyak!
Pagi ini, seraut wajah itu
berkubang dalam kepingan asa yang terserak. Hatinya membeku.
“Sekiranya saat ini bumi
terbelah dan langit runtuh, aku ingin lebur ke dalamnya, agar tak ada lagi
kecewa.”
CINTA
:<yang tak seharusnya>
Pagi….
Basah berembun seetelah
sisa hujan yang turun semalam.
Hati ini teronggok biru
dalam dingin yang beku. Bernuansa ragu.
Ragu menapak hari, dalam
rasa asing yang berdenyar nyeri.
Perasaan apa yang kini
membias? Seakan cinta selalu menyodorkan nuansa asing yang tak biasa. Bahkan
ini tak sewajarnya.
Tuhan, aku mencintainya
Dalam sebuah bingkai yang
aku tahu tak sewajarnya……
-<ketika aku mencintaimu>
TUHAN, KAU DI MANA?
Aku adalah jiwa yang
bimbang. Yang tak jua mengerti mengapa takdir tak bisa ditukar.
Aku adalah jiwa yang
gersang, yang mencoba pasrah ketika realita tak bisa aku belokkan.
Aku adalah jiwa yang terus
melayang, ketika sang Kuasa bermain dengan keinginanNya.
Aku tak bisa mengelak, pun
pula menolak. Ketika takdir menulis segala catatannya dalam prasasti kelam alur
hidupku.
Nasibkah? Atau takdir?
Lalu, dimana Tuhanku
ketika seharusnya aku meminta jawab atas hasil karyaNya?
bagus... , tapi pagi ini aku belum sarapan dan aku harus berangkat kerja. di tunggu episode berikutnya om Sigit
BalasHapusKomplit narasi puisinya
BalasHapusMembaca puisi sembari menyimak cerita di dalamnya
Ajib mas sigit