WHAT'S NEW?
Loading...

3 puisi

CERITA PAGI
Pagi ini hujan masih menyanyi
Melantunkan kidung syukur karena pongah sang kemarau telah menjauh pergi.
Pagi ini, sisa hujan semalam masih juga terus menetes. Melarutkan debu, mengguyur ranting pohon yang kemarin mati kehausan.
Pagi ini, dingin tetap merayap. Menelusuri segenap jiwa, pada manusia yang lalu lalang di tanah-tanah becek sisa hujan semalam
Pagi ini, angin masih berlari kencang dan masih tertawa membawa banyak cerita.
Mengelus wajah-wajah mungil nan lucu anak-anak kecil yang tertawa ceria bermain lumpur dan tanah liat. Membelai rambut ikal bergelombang perawan-perawan desa yang berjalan beriringan, mengendong sekeranjang harap tersisa.
Pagi ini, kabut masih membentangkan tirainya. Putih. Melebur menjadi satu dengan awan yang biasa berarak di tingkap langit biru semesta.
Pagi ini, matahari murung terkalahkan kabut lembab, dan angina tetap tertawa dan menari-nari kegirangan karena sang matahari tak mampu menepati janji.
Kemarin, matahari mengucap sepotong janji pada seraut wajah murung yang melongok dari buram kaca jendelanya.
“Percayalah, aku pasti datang untukmu. Bersinar cerah, mengantarkan sejumput asa yang kelak akan kau bawa melanglang buana,” janjinya.
Dan wajah itu tersenyum. Tetapi kenapa murung tak jua menepi dari wajah piasnya?
Dia tak percaya lagi asa. Dan bahkan janji sang matahari sekalipun.
“Kehidupan terlalu pongah untuk kujalani,” rutuknya.
Gontai dia menyusur tepian telaga pengharapan yang mengeruh. Biduk retaknya tertambat lunglai pada rapuh kehidupan. “Aku tak percaya lagi sebuah kebaikan,” teriaknya.
Bertahun-tahun dibangunnya asa itu. Dirangkainya sejumput demi sejumput, dan tersulam menjadi sebuah lembar mimpi dan harapan. Dibentangkannya sepanjang titian perjalanan.
Hingga akhirnya semua terkoyak!
Pagi ini, seraut wajah itu berkubang dalam kepingan asa yang terserak. Hatinya membeku.
“Sekiranya saat ini bumi terbelah dan langit runtuh, aku ingin lebur ke dalamnya, agar tak ada lagi kecewa.”












CINTA
:<yang tak seharusnya>

Pagi….
Basah berembun seetelah sisa hujan yang turun semalam.
Hati ini teronggok biru dalam dingin yang beku. Bernuansa ragu.
Ragu menapak hari, dalam rasa asing yang berdenyar nyeri.
Perasaan apa yang kini membias? Seakan cinta selalu menyodorkan nuansa asing yang tak biasa. Bahkan ini tak sewajarnya.
Tuhan, aku mencintainya
Dalam sebuah bingkai yang aku tahu tak sewajarnya……

-<ketika aku mencintaimu>







TUHAN, KAU DI MANA?

Aku adalah jiwa yang bimbang. Yang tak jua mengerti mengapa takdir tak bisa ditukar.
Aku adalah jiwa yang gersang, yang mencoba pasrah ketika realita tak bisa aku belokkan.
Aku adalah jiwa yang terus melayang, ketika sang Kuasa bermain dengan keinginanNya.
Aku tak bisa mengelak, pun pula menolak. Ketika takdir menulis segala catatannya dalam prasasti kelam alur hidupku.
Nasibkah? Atau takdir?
Lalu, dimana Tuhanku ketika seharusnya aku meminta jawab atas hasil karyaNya?


2 komentar: Leave Your Comments

  1. bagus... , tapi pagi ini aku belum sarapan dan aku harus berangkat kerja. di tunggu episode berikutnya om Sigit

    BalasHapus
  2. Komplit narasi puisinya
    Membaca puisi sembari menyimak cerita di dalamnya
    Ajib mas sigit

    BalasHapus