Banyak
orang bilang, apalah arti sebuah usia. Usia hanyalah deretan satu angka,
kemudian bertambah menjadi deretan dua angka. Kalaulah ada yang sampai
mempunyai deretan angka tiga, itu tentu saja sebuah rekor luar biasa. Yang
tentu saja dapat dimasukkan dalam rekor MURI, untuk wilayah nasional dan yang
pasti bisa masuk Guiness Book of Record kalaulah itu tercium dunia
internasional.
Usia.
Ah, aku terlalu takut menghitung usiaku. Entah kenapa ada pobia tak beralasan
ketika ada orang yang bertanya tentang usiaku. Padahal sekali lagi, apa artinya
bilangan usia. Tapi justru itulah masalahnya. Ketika ada orang bertanya tentang
usia, huh, aku rasanya seperti ingin langsung menyusut, kemudian menguap
bersama udara yang tak kasat mata. Padahal bukankah usia hanyalah deretan
angka?
Usia
itu sendiri hanyalah penanda berapa lama kita hidup. Walau menurutku, berapapun
usia seseorang, hanyalah pengulangan dari satu tahun yang berulang terus
menerus. Walau itu memang secara jujur aku mengakui, kalaulah aku ditanya
tentang usia, aku mendadak ingin berubah menjadi gas.
Dan
kini, sudah bulan Januari. Tentu bukanlah peringatan tentang pergantian tahun
baru yang ada di kepalaku. Terbayang di benakku, tentang bertambahnya usiaku
yang terus merangkak. Pelan namun pasti. Aku sudah akan berusia 43 tahun di
tanggal 12 Januari nanti. Lalu apa yang salah dengan usia seperti itu. Banyak
para ahli mengatakan bahwa life begin 40.
Ah, bukan! Aku tidak merasakan seperti itu. Menjalani kehidupan sampai di
usia itu bagiku merupakan siksaan berat. Teramat berat bagi jiwaku, sebagai
seorang perempuan desa yang tinggal di lingkungan pedesaan tradisional, yang
masih memperhitungkan tentang masalah usia.
Dogma
tak tertulis yang mengatakan bahwa, anak perempuan di usia yang berkepala empat
yang belum kawin adalah perempuan tua, tak laku, perawan kasep, dan sebutan-sebutan
lain selalu mampir di telingaku. Duh, betapa menyakitkan. Tiap lewat di
kerumunan ibu-ibu yang berkumpul sambil bergunjing, kata-kata itu selalu mampir
di gendang telingaku membuat merah daun telinga dan rasanya ingin supaya aku
tak terlihat.
“Tuh,
anaknya Pak Maryadi, nggak laku-laku. Kasihan ya, jadi perawan tua.”
Dan
setiap mendengar kata-kata ibu-ibu tersebut, mendadak aku ingin berubah menjadi
gas. Menguap tak kasat mata. Dus!
Perawan
tua. Itu kini julukanku. Dan masih banyak lagi julukan yang aku sandang. Bukan
keinginanku menjadi seperti itu. Aku hanyalah perempuan yang tak ingin terlalu
mengobral senyum sana sini hanya untuk menggaet lelaki. Meski aku juga sudah
berusaha menata diri menjadi sedikit menarik di mata orang lain. Tetapi, kalau Tuhan
memang berkehendak yang lain, apa dayaku?
Rasa-rasanya,
aku sudah mencoba dan melakukan yang dianjurkan oleh agamaku. Aku mencoba untuk
berjalan sesuai rel akhlak yang lurus-lurus saja. Aku tak pernah berbuat
aneh-aneh yang dilarang agama. Tetapi kenapa jodoh itu tak jua menjemputku.
Belum lagi masalah rejeki. Aku yang lulusan Diploma Tiga Sekretaris, sampai
usia saat ini juga tak mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan bidangku.
Padahal, dulu, bertahun-tahun lalu, ijasah Diploma Tigaku itu kuanggap sebagai
senjata pamungkas terhebatku untuk meraih mimpi-mimpi menjulang.
Betapa
tidak. Di tempatku, kampung kecil nan terpencil itu, belajar sampai ke
perguruan tinggi adalah hal yang sangat langka. Teramat langka. Sebuah gedung
universitas laksana menara gading yang teramat megah untuk dimasuki. Dan aku
terpilih masuk ke sana. Tentu saja itu sebuah kemenangan besar yang aku
rasakan.
Tetapi,
kini lembaran ijasah itu tak lebih dari sebuah onggokan kertas tak berharga
yang tersimpan di lemari pakaianku. Berada di rak paling bawah, bahkan telah
menyelip entah kemana.
Dan
kini, tanggal 12 Januari. 43 tahun usiaku. Dan aku masih sendiri. Perempuan
lajang yang tak tahu, di mana seseorang yang dulu tulang rusuknya telah diambil
Tuhan untuk dicipta menjadi diriku. Duhai, belahan jiwa, dimana kini kau
berada. Betapa aku mendamba, kau datang melengkapi nafas kehidupanku. Bukankah
Tuhan menciptakan segalanya berpasangan di dalam kehidupan ini. Dua mata untuk
melihat, dua telinga untuk mendengar. Dan satu hati dalam tubuh kita. Karena
Tuhan telah menyiapkan hati yang lain untuk melengkapi.
“Mbok,
aku malu. Aku kasihan dengan simbok kalau simbok sedang berkumpul dengan ibu-iu
itu,” ratapku kepada perempuan sepuh yang rapuh itu.
Simbok.
Ya, aku memanggil Ibuku dengan panggilan simbok. Karena aku memang perempuan
kampung.
“Kenapa
harus malu, Nduk. Kalau memang jodoh itu belum datang juga, bukan berarti Gusti
Allah tidak sayang sama kamu. Justru itu wujud kasih sayang Gusti Allah
kepadamu.”
Itu
yang selalu simbok katakan kepadaku. Dan aku merasa mempunyai kekuatan untuk
kembali melangkah menapaki hari-hariku. Walau kesunyian belum juga berlalu.
Tetapi setidaknya aku tetap optimis melangkah dan tak pupus harap akan kekuatan
sebuah do’a.
0 komentar:
Posting Komentar