WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: Pelangi Senja


Ada ketakutan tersendiri ketika aku menengok kalender yang ada di kamarku. Apalagi kalau sudah mendekati bulan Januari. Tepatnya lagi bulan Januari di tanggal 12. Seakan, pertaruhan ada di setiap detik di bulan itu. Pertaruhan tentang apa? Ah, rasanya sulit menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa ternyata aku sudah teramat lama menghirup nafas kehidupan ini. Lama sekali. Itu menurut perkiraanku. Hanya saja kenapa terasa lama?
Banyak orang bilang, apalah arti sebuah usia. Usia hanyalah deretan satu angka, kemudian bertambah menjadi deretan dua angka. Kalaulah ada yang sampai mempunyai deretan angka tiga, itu tentu saja sebuah rekor luar biasa. Yang tentu saja dapat dimasukkan dalam rekor MURI, untuk wilayah nasional dan yang pasti bisa masuk Guiness Book of Record kalaulah itu tercium dunia internasional.
Usia. Ah, aku terlalu takut menghitung usiaku. Entah kenapa ada pobia tak beralasan ketika ada orang yang bertanya tentang usiaku. Padahal sekali lagi, apa artinya bilangan usia. Tapi justru itulah masalahnya. Ketika ada orang bertanya tentang usia, huh, aku rasanya seperti ingin langsung menyusut, kemudian menguap bersama udara yang tak kasat mata. Padahal bukankah usia hanyalah deretan angka?
Usia itu sendiri hanyalah penanda berapa lama kita hidup. Walau menurutku, berapapun usia seseorang, hanyalah pengulangan dari satu tahun yang berulang terus menerus. Walau itu memang secara jujur aku mengakui, kalaulah aku ditanya tentang usia, aku mendadak ingin berubah menjadi gas.
Dan kini, sudah bulan Januari. Tentu bukanlah peringatan tentang pergantian tahun baru yang ada di kepalaku. Terbayang di benakku, tentang bertambahnya usiaku yang terus merangkak. Pelan namun pasti. Aku sudah akan berusia 43 tahun di tanggal 12 Januari nanti. Lalu apa yang salah dengan usia seperti itu. Banyak para ahli mengatakan bahwa life begin 40. Ah, bukan! Aku tidak merasakan seperti itu. Menjalani kehidupan sampai di usia itu bagiku merupakan siksaan berat. Teramat berat bagi jiwaku, sebagai seorang perempuan desa yang tinggal di lingkungan pedesaan tradisional, yang masih memperhitungkan tentang masalah usia.
Dogma tak tertulis yang mengatakan bahwa, anak perempuan di usia yang berkepala empat yang belum kawin adalah perempuan tua, tak laku, perawan kasep, dan sebutan-sebutan lain selalu mampir di telingaku. Duh, betapa menyakitkan. Tiap lewat di kerumunan ibu-ibu yang berkumpul sambil bergunjing, kata-kata itu selalu mampir di gendang telingaku membuat merah daun telinga dan rasanya ingin supaya aku tak terlihat.
“Tuh, anaknya Pak Maryadi, nggak laku-laku. Kasihan ya, jadi perawan tua.”
Dan setiap mendengar kata-kata ibu-ibu tersebut, mendadak aku ingin berubah menjadi gas. Menguap tak kasat mata. Dus!
Perawan tua. Itu kini julukanku. Dan masih banyak lagi julukan yang aku sandang. Bukan keinginanku menjadi seperti itu. Aku hanyalah perempuan yang tak ingin terlalu mengobral senyum sana sini hanya untuk menggaet lelaki. Meski aku juga sudah berusaha menata diri menjadi sedikit menarik di mata orang lain. Tetapi, kalau Tuhan memang berkehendak yang lain, apa dayaku?
Rasa-rasanya, aku sudah mencoba dan melakukan yang dianjurkan oleh agamaku. Aku mencoba untuk berjalan sesuai rel akhlak yang lurus-lurus saja. Aku tak pernah berbuat aneh-aneh yang dilarang agama. Tetapi kenapa jodoh itu tak jua menjemputku. Belum lagi masalah rejeki. Aku yang lulusan Diploma Tiga Sekretaris, sampai usia saat ini juga tak mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan bidangku. Padahal, dulu, bertahun-tahun lalu, ijasah Diploma Tigaku itu kuanggap sebagai senjata pamungkas terhebatku untuk meraih mimpi-mimpi menjulang.
Betapa tidak. Di tempatku, kampung kecil nan terpencil itu, belajar sampai ke perguruan tinggi adalah hal yang sangat langka. Teramat langka. Sebuah gedung universitas laksana menara gading yang teramat megah untuk dimasuki. Dan aku terpilih masuk ke sana. Tentu saja itu sebuah kemenangan besar yang aku rasakan.
Tetapi, kini lembaran ijasah itu tak lebih dari sebuah onggokan kertas tak berharga yang tersimpan di lemari pakaianku. Berada di rak paling bawah, bahkan telah menyelip entah kemana.
Dan kini, tanggal 12 Januari. 43 tahun usiaku. Dan aku masih sendiri. Perempuan lajang yang tak tahu, di mana seseorang yang dulu tulang rusuknya telah diambil Tuhan untuk dicipta menjadi diriku. Duhai, belahan jiwa, dimana kini kau berada. Betapa aku mendamba, kau datang melengkapi nafas kehidupanku. Bukankah Tuhan menciptakan segalanya berpasangan di dalam kehidupan ini. Dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar. Dan satu hati dalam tubuh kita. Karena Tuhan telah menyiapkan hati yang lain untuk melengkapi.
“Mbok, aku malu. Aku kasihan dengan simbok kalau simbok sedang berkumpul dengan ibu-iu itu,” ratapku kepada perempuan sepuh yang rapuh itu.
Simbok. Ya, aku memanggil Ibuku dengan panggilan simbok. Karena aku memang perempuan kampung.
“Kenapa harus malu, Nduk. Kalau memang jodoh itu belum datang juga, bukan berarti Gusti Allah tidak sayang sama kamu. Justru itu wujud kasih sayang Gusti Allah kepadamu.”
Itu yang selalu simbok katakan kepadaku. Dan aku merasa mempunyai kekuatan untuk kembali melangkah menapaki hari-hariku. Walau kesunyian belum juga berlalu. Tetapi setidaknya aku tetap optimis melangkah dan tak pupus harap akan kekuatan sebuah do’a.

0 komentar:

Posting Komentar