Dadamu, dinda, adalah semesta tempat
pengelana menambatkan letih kembara; aku musafir di gurun rindumu
#
Kutemukan lembar kenangan di pondok kayu
tua, terselip di sudut luka dengan lebam di matanya;begitu nelangsa
#
Pada riak air kuberkaca tentang perjalanan
luka; betapa, kenangan tak begitu saja beranjak dari dekap tuannya-Cinta
#
Maka menjadilah malam, kelak akan
kutanamkan pohon kerinduan di sepanjang remang jalan kenangan
#
Akan kulukis wajah pagi di sela warna
pelangi, kelak embun akan menerjemahkan menjadi selarik rindu di kuncup melati
#
Bersemayamlah di ingatanku, biar
kukekalkan rindumu bersama waktu
#
Pagi kian menua, tak lagi mampu embun
menggurat baitbait aksara di jenggala rindu yang kian rimbun
#
Satu satu daun gugur menyentuh tanah,
begitu pula kenangan terkubur di gelap ingatan
#
Dan gerak angin, lunglai dalam lambaian
perpisahan. Kita, hanya mampu menangisi kepergian cinta yang begitu tibatiba
#
Di gersang savana, air mata menjadi
labuhan luka, dengan sepotong matahari yang erat memeluk lusuh kenangan
#
Ada yg begitu terngiang di lagu angin,
konser kerinduan yg hingar nian, berdenging di telinga kenangan
#
Ada yang terlupa setelah pergimu: menidurkan
rindu
#
Dan Tuhan akan menatah langit dengan
guratgurat pelangi, seabadi cinta yang menaungi setiap hati, dari dada Ibu yang
surgawi
#
Masih tersisa
lembar kosong di kertas terakhir catatan pagi, kelak akan kutulis tebaltebal di
situ; sebuah doa yang abadi
#
Kadang di lembah sunyiku, matahari begitu
enggan menuliskan hangatnya; mungkin ia malu memandang pijar matamu
#
Pagi kadang memberiku seikat hujan
warna-warni, namun tak jarang ia pun mengirimkan sepi yg dititipkan lewat embun
#
Lalu sepi ini hunjamkan nyeri pada
jantung puisi; seraut wajah menangisi kenangan yang gugur dari getas ranting
senja
0 komentar:
Posting Komentar