WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: PADA PUNCAK KEPASRAHAN




Mahendra masih tercenung memikirkan perkataan ayahnya yang baru saja disampikannya. Baru tiga hari yang lalu Mahendra pulang ke kampung halamannya untuk bertemu dan melepas kangen dengan kedua orang tuanya setelah hampir satu tahun bekerja di kota. Itu pun Mahendra harus berjuang keras untuk mendapatkan hak cutinya, mengingat masa kerjanya yang baru beberapa bulan. Tetapi berhubung atasannya melihat kinerja Mahendra yang dinilai bagus, ijin cutinya pun diberikan meski hanya empat hari.
Mahendra merasa belum puas melepaskan setumpuk rindunya pada kampung halamannya. Matanya masih ingin terus memandangi hamparan hijau subur kebun cengkih milik ayahnya yang terhampar dan memenuhi hampir separuh lembah di selatan rumahnya. Hidungnya masih ingin membaui aroma tanah basah di halaman rumahnya yang luas, setelah semalaman hujan turun mengguyur bumi. Sungguh, dia merasakan tenang dan damai menikmati suasana alam pedesaan tempat tinggalnya. Semua begitu terasa indah dinikmati saat senja.
Semuanya bagi Mahendra adalah sebuah irama kehidupan yang senantiasa bersenandung dalam jiwanya. Mendatangkan rasa teduh dan damai ketika semua potret kehidupan di kampung halamannya itu terekam indah di sudut matanya. Hanya saja, semuanya itu harus dia tinggalkan ketika letupan-letupan keinginan itu menuntun gejolak jiwa mudanya untuk pergi merantau karena tuntutan keinginan.
Tidak berlebihan kiranya ketika Mahendra berhasil menyelesaikan sekolahnya, dengan gelar sarjana yang dia punya, Mahendra membangun impiannya untuk bekerja di kota. Dari semua yang pernah didengarnya, membangkitkan imajinasinya tentang sebuah kehidupan di kota besar yang menawarkan gemerlap keindahan.
Tak terkecuali bagi seorang Mahendra. Dia merasa kehidupan di kampung halamannya terasa sulit. Apalagi kampungnya hanyalah sebuah kampung kecil yang terpencil dan jauh dari peradaban dunia luar. Mahendra berfikir bahwa di kota, kehidupannya akan jauh lebih baik.
Akhirnya, dengan diiringi pandangan berat dari kedua orang tuanya, pada sebuah pagi yang masih berembun, Mahendra meninggalkan kampung halamannya, tempat tinggalnya, yang selama ini telah menjadi bagian dari keseharian hidupnya. Ada impian melambung yang tertata rapi pada setiap ayun langkahnya menyusuri jalan-jalan tanah di pinggir kampung. Berbagai bayangan indah kota besar yang selama ini Mahendra impikan, seperti telah menawarkan segelas anggur merah nan manis yang sarat dengan mimpi indah.
Sesampainya di terminal bus, dicarinya tiket perjalanan menuju kota hujan. Kebetulan, ada salah seorang kakaknya yang tinggal di sana. Di kota itulah, Mahendra ingin mengadu nasib.
Akan tetapi, irama kehidupan tak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Memang seperti itulah Tuhan mengaturnya. Tuhan berkuasa di atas segalanya. Dan manusia memang diwajibkan untuk berusaha dengan berbagai macam cara. Seperti pepatah yang mengatakan, apabila kita tidak bisa mencapai keinginan kita melalui satu jalan, tempuhlah jalan yang lain. Pun pula bagi Mahendra. Dengan keterbatasan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki, memaksa Mahendra harus bersabar menggapai semua mimpinya.
Entah sudah berapa puluh lembar berkas surat lamaran kerja yang dikirimkannya ke berbagai perusahaan. Tetapi hasilnya nihil. Berkas lamaran kerjanya mungkin hanya berakhir menjadi seonggok sampah di ruang personalia. Dan, mimpi yang dulunya menjulang tinggi sedikit demi sedikit mulai goyah. Demikian pula segenggam asa yang dulu mengalir deras di tubuhnya kini seakan melemah. Inikah kehidupan kota besar? Batinnya ngilu.
Hanya berdo'a yang mampu dilakukannya ketika letih di tubuhnya telah mencapai batas penat. Letih yang bertumpuk, harapan yang mulai pudar, hanya mampu menghadirkan desah kepedihan di setiap sujud malamnya. Tetapi Tuhan memang tak pernah lalai. Apalagi tidur. Dia akan selalu mendengar do'a umatNya yang sungguh-sungguh memohon. Pada puncak kepasrahan untuk terus bertahan hidup, akhirnya Mahendra mendapatkan panggilan kerja di sebuah perusahaan.
Tak ada yang bisa diucapkan Mahendra selain sujud syukur kepada Sang Pemberi Rejeki. Akhirnya dengan usaha dan do'a yang dilakoninya selama hampir empat bulan keluar masuk perusahaan, kini panggilan kerja itu pun ia terima. Tetapi kehidupan memang tak mudah. Apalagi di sebuah kota besar. Impian Mahendra untuk bekerja di sebuah kantor yang megah, lengkap dengan jas dan dasi seperti yang dulu dia impikan rupanya semakin jauh dari kenyataan. Dalam masa training selama tiga bulan pertama, Mahendra harus bekerja dalam tekanan dan pengawasan yang lumayan berat. Dia harus bekerja sebagai seorang kuli bongkar muat kayu yang baru datang dari pelabuhan, karena memang tempatnya bekerja bergerak di bidang industri perkayuan. Sianr matahari yang garang adalah temannya setiap hari. Tak heran kalau dalam beberapa hari saja, kulitnya menjadi legam.
Keringat yang terus mengalir dan badan dekil, serta pakaian yang kumal  laksana simbol ketertindasan kaum urban dalam hiruk pikuknya kota besar. Dan Mahendra kini berkutat di dalamnya. Setiap hari Mahendra dan beberapa pekerja lain harus bekerja di bawah terik mentari kota industri. Semuanya kini sama. Tak ada lagi perbedaan pendidikan atau status sosial lainnya.
Ada geliat yang memberontak dalam dirinya. Ada perasaan tertindas yang menyesakkan dadanya. Mahendra seperti merasakan betapa tidak bergunanya ilmu yang dia dapat dari bangku sekolah yang selama ini ditekuninya. Tak berartinya begitu banyak buku-buku pengetahuan yang dia lahap selama ini. Sungguh, pekerjaan seperti ini orang yang tidak sekolahpun bisa melakukannya, rutuknya dalam hati.
"Kalau seperti ini terus menerus, kita semua akan jadi pembalap sepertinya," kelakar Putra, perantau asal Medan.
"Bah, apa maksud kau itu, kawan?" sahut Anton meniru logat Bataknya.
"Macam mana pula kau, pembalap itu artinya pemuda berbadan gelap," sahut Putra masih dengan logat tanah kelahirannya.
Semuanya tertawa. Mungkin menertawakan perjalanan hidup mereka yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka menjadi akrab satu sama lain tanpa membedakan suku, ras, golongan, maupun agama. Semua keberagaman itu menyatu dalam perjalanan mereka mengadu nasib di kota besar.
Putra, sarjana bahasa Inggris dari Medan. Ada pula Anton, seorang sarjana teknik, dan masih banyak lagi kawan-kawan lainnya dengan gelar pendidikan yang beragam. Dan kini mereka semua terdampar di sini dan bekerja sebagai buruh pabrik di tempat ini.
"Kamu menyesal dengan apa yang kamu dapatkan sekarang?" tanya kakak perempuannya pada suatu malam ketika Mahendra bercerita perihal pekerjaannya.
"Tidak, Kak. Hanya saja aku merasa kenapa sulit sekali meraih impian yang selama ini aku inginkan?" ada sedikit keletihan dalam kata-katanya.
"Itulah hidup. Kamu tak boleh putus asa. Segala sesuatu yang kamu dapatkan dengan dengan pengorbanan dan jerih payah yang tak kenal menyerah, Insya Allah akan mendatangkan kebaikan bagi diri kamu sendiri," nasehat kakanya.
"Dan ingat, segala sesuatu yang terjadi pada diri kamu sudah digariskan oleh Allah. Yang bisa kamu lakukan berdo'a dan berusaha sebaik mungkin menjalani hidup kamu. Takdir Allah tak akan tertukar," lanjut kakaknya.
*********
"Bagaimana, Hen. Sudah kamu pikirkan kata-kata ayah?" tanya ayahnya membuyarkan semua lamunan Mahendra.
Mahendra masih duduk diam di kursinya.
"Tetapi saya baru bekerja satu tahun, Pak. Saya masih ingin bekerja untuk mencari pengalaman yang lebih banyak lagi di kota. Saya bosan kalau setiap hari harus tinggal di kampung ini," protes Mahendra tak setuju permintaan ayahnya.
"Kamu tidak kasihan melihat kedua orang tuamua yang sudah tua ini?" tanya ayahnya.
Mahendra terdiam. Dalam hati sebetulnya Mahendra merasa bahwa permintaan kedua orang tuanya tidaklah berlebihan. Kedua orang tuanya hanya meminta Mahendra tidak lagi bekerja di kota dan kembali ke kampung halamannya untuk mengurus perkebunan keluarga dan yang terpenting mengurus kedua orang tuanya. Sebagai satu-satunya laki-laki di keluarga, harapan kedua orang tuanya kini ada di pundaknya. Apalagi semua saudaranya kini telah berkeluarga dan memilih tinggal bersama suaminya. Urusan mengurus perkebunan tentulah tidak dapat lagi mengharapkan bantuan saudara-saudarnya.
"Kalau masalah pekerjaan, kamu bisa mengelola perkebunan kita ini. Sudah sejak dulu secara turun temurun, keluarga kita hidup dari perkebunan ini. Dan kita bia hidup dengan cukup. Kami tidak menuntut kamu harus bekerja di kantor dengan gaji besar dan fasilitas-fasilitas mewah lainnya. Kami menyekolahkan kalian, agar wawasan kalian luas dan kamu bisa mengembangkan kampung kita ini. Justru, kita bisa membuat kehidupan orang lain lebih baik itulah kebahagiaan kita sesungguhnya. Dan segala sesuatu yang kamu jalankan dengan ikhlas karena ingin mencari Ridho Allah, pasti akan mendatangkan kebahagiaan yang sesungguhnya," nasehat ayahnya panjang lebar.
"Kami sudah terlalu tua untuk mengurus perkebunan kita ini. Ayah harap kamu memikirkan kata-kata ayahmu ini," kata ayahnya seraya meninggalkan Mahendra yang masih duduk diam di kursinya.
Mahendra merenungi semua perkataan ayahnya. Selama ini, Mahendra memang belum bisa memberi kebahagiaan kepada kedua orang tuanya. Dan kini, saat kedua orang tuanya mengajukan sebuah permintaan yang begitu sederhana, haruskah aku mengecewakan mereka, batinnya galau. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Batinnya bimbang.
Sebenarnya tidak sulit keluar dari pekerjaannya dan kembali ke kampung halamannya, ke pangkuan orang-orang terkasih, kalaulah memang itu bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Tetapi mengingat perjuangan panjang yang dilaluinya untuk memperoleh pekerjaan hingga mencapai posisi seperti ini, Mahendra merasa sayang untuk begitu saja meninggalkan pekerjaannya.
"Permintaan ayah akan saya pikirkan kalau saya nanti kembali ke kota. Bagaimanapun saya butuh waktu untuk memutuskan semuanya," kata Mahendra bangkit menuju ke kamarnya.
Dan keesokan paginya, keputusan itupun belum keluar juga dari mulut Mahendra.
"Mahendra pamit dulu, Ibu, Ayah. Sesampainya di kota nanti, saya akan memikirkan kembali permintaan ayah. Mahendra berangkat dulu," pamit Mahendra sambil mencium kedua tangan orang tuanya.
Dua pasang mata yang renta itu hanya bisa berkaca-kaca mengantar kepergian sang bungsu tercinta. Gambaran keberatan terlihat jelas di sorot mata keduanya. Mahendra tak sanggup menatap mata renta yang selama ini begitu banyak memberikan pelajaran kehidupan dan selalu mendatangkan kekuatan ketika badai memporak porandakan dinding-dinding hatinya.
*******
"Bah, jadi kau bermaksud keluar dari sini setelah selama ini kita berjuang untuk mendapatkan posisi seperti ini, kawan?" jawab si Putra ketika Mahendra menceritakan keinginannya.
"Bagaimanapun juga aku tak ingin membuat orang tuaku kecewa, Put. Aku ingin membahagiakan mereka saat mereka masih ada. Kalaulah keberadaanku di sisi mereka mampu mendatangkan kebahagiaan, kenapa tidak?" jawab Mahendra.
"Iya. Betul itu. Kita sebagai seorang anak harus bisa berbakti kepada orang tua kita. Lalu, kau akan bekerja apa di sana?" tanya Putra.
"Keluarga kami punya perkebunan. Aku akan mengambil alih tugas orang tuaku untuk mengelolanya."
"Alamak, bagus kali itu. Siapa tahu kau nanti akan jadi konglomerat dengan perkebunan warisan itu. Eh, bagaimana dengan si Widya. Apa sudah kau beritahu?" kelakar Putra.
"Itulah, Put. Aku belum membicarakan hal ini dengan Widya. Aku masih bingung dengan keputusan yang harus aku ambil sebetulnya," keluh Mahendra.
"Oke, dengarkan suara hatimu, kawan. Kamu pasti bisa memilih yang terbaik untuk kehidupan kau. Masa depan kita ada di tangan kita sendiri," kata Putra memberi semangat.
Seminggu berlalu. Seminggu itu pula Mahendra gelisah dengan keputusan yang harus diambilnya. Di satu pihak, Mahendra berat meninggalkan pekerjaannya, di pihak lain kewajibannya sebagai seorang anak mengusik nuraninya. Dan ada pula rasa sakit ketika harus meninggalkan Widya, gadis lembut nan santun yang selama ini mengisi warna pelangi di hatinya.
"Memang sudah kewajiban kita sebagai seorang anak harus membahagiakan orang tua kita. Kalau orang tua Mas Hendra meminta seperti itu, sebaiknya dituruti saja. Yakinlah, anak yang mampu berbakti kepada kedua orangtuanya akan mendapat balasanyang terbaik dari Allah, Mas."
Nasehat Widya seolah oase yang menyegarkan hati Mahendra.
"Lalu, bagaimana dengan hubungan kita, Wid? Apa kita mampu bertahan dengan jarak yang akan memisahkan kita?" ada keraguan menjalari kata-kata Mahendra.
Widya tersenyum. Sangat lembut. Kelembutan seperti itulah yang telah meluluhkan hati Mahendra.
"Sebaiknya kita berdua saling menjaga kepercayaan yang telah kita bina ini, Mas. Dan yakinlah akan ada banyak jalan untuk kita bersama kalau Allah berkehendak."
Sebuah janji termanis yang pernah Mahendra dengar. Dan keyakinan itu pun mengakar kuat dalam hatinya.
Keputusan telah diambil. Bagaimanapun juga, jasa kedua orang tua tak akan mampu diukur dengan apapun di dunia ini. Perjuangan seorang Ibu yang telah berjibaku melawan maut ketika melahirkan. Pengorbanan dan kerja keras seorang ayah membesarkan kita. Dan Mahendra akan merasa sangat berdosa kalaulah harus mengecewakan kedua orang tuanya.
Akhirnya, pada suatu pagi dini hari, seusai bersujud mohon kekuatan kepada sang Pencipta, Mahendra bulat pada keputusannya. Dia akan berbakti sepenuhnya kepada kedua orang tuanya. Pada puncak kepasrahannya pada Sang Khalik, keputusan untuk kembali ke pangkuan orang tuanya diambilnya. Tidak sebanding rasanya kalau Mahendra harus mengecewakan orang tuanya, apalagi kasih sayang yang telah mereka berdua berikan selama ini begitu tulus, tanpa pamrih.   


1 komentar: Leave Your Comments

  1. Paragraph pertama kata "sampikan">"sampaikan" paragraph kedua kata "cengkih" bukannya "cengkeh" lihat kamus bhs "membaui" mungkin lbh baik dengan kata "mencium" paragraph ke 8 kata "pun pula" ini artinya sama kan? paragraph 11 "Sianr" (sinar) matahari, di atas tanda ini **** nasehat kakanya kurang "k" *SIIIP CAKEP ISINYA*

    BalasHapus