WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: ELEGI ITU TAK TERDENGAR LAGI




                Giska meneguk tetes terakhir minumannya dengan nikmat. Siang itu udara memang cukup panas. Giska dan sahabatnya, Lisa, sedang menikmati makan siangnya di sebuah mal yang cukup megah. Selesai makan, mereka berdua segera menuju ke lantai dua untuk menemani Lisa mencari kado untuk keponakannya yang sore nanti berulang tahun.
Tiba di lantai dua, mereka segera berkeliling ke tempat penjualan mainan anak-anak. Lisa masih bingung mencari hadiah yang cocok untuk keponakannya. Sementara Lisa berkeliling mencari barang yang diinginkan nya, Giska secara tak sengaja melihat sesosok tubuh yang seperti dikenalinya. Bahkan amat sangat dikenalnya. Giska menajamkan penglihatannya dan bermaksud untuk memanggil sesosok tubuh tersebut, ketika dari arah lain datang seorang gadis yang menghampiri orang yang dikenalnya itu. Mereka bergandengan tangan dengan mesra dan melangkah pergi.
Giska menggigit bibirnya dengan beribu perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Ada rasa sedih sekaligus marah menghantam relung hatinya. Wajahnya pias menahan tangis yang hampir tumpah.
"Kamu kenapa, Gis?" tanya Lisa begitu melihat wajah Giska yang pucat.
"Nggak tahu, Lis. Kepalaku pusing tiba-tiba," bohong Giska.
"Kalau begitu aku antar kamu ke dokter, ya?" tawar Lisa.
"Tidak usah, Lis. Mending kita pulang aja, yuk. Kamu udahan, kan?" ajak Giska.
"Iya, sudah. Bener kamu tidak ingin ke dokter?" tanya Lisa kurang yakin.
"Aduh, beneran. Cuma sakit kepala kok. Istirahat sebentar di rumah, minum obat, trus tidur kayaknya lebih menarik minatku kali ini," jawab Giska meyakinkan.
Bergegas, Lisa menggandeng Giska keluar dari pusat perbelanjaan itu.
"benar, kamu nggak apa-apa? Sepertinya kamu lagi ada masalah," Lisa mencoba mencari tahu.
"Tidak ada apa-apa, Lis. Kalau ada masalah aku pasti akan cerita ke kamu. Thanks, ya, aku tuun di sini saja," kata Giska menutupi perasaannya. Saat itu mobil Lisa sudah sampai di depan rumah Giska.
"Perlu diantar sampai ke dalam?" tanya Lisa.
"Nggak usah, Lis. Aku bisa masuk sendiri kok, makasih ya," sahut Giska seraya melambaikan tangannya.
Giska segera berlari masuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ditumpahkannya perasaan yang dari tadi menyesakkan rongga dadanya. Giska menangis. Hatinya merasa sakit melihat pemandangan di pusat perbelanjaan tadi. Fandy. Ya, cowok yang dilihatnya tadi memang Fandy. Kekasihnya. Enam bulan yang lalu Fandy keluar negeri untuk melanjutkan kuliah bisnisnya. Menuruti keinginan papanya, katanya waktu itu. Papanya berniat untuk mewariskan beberapa perusahaan yang dimilikinya. Perpisahan enam bulan lalu masih terekam jelas di memori ingatannya.
"Berdoalah untukku, Gis. Semoga kita bisa saling setia. Aku secepatnya akan kembali untukmu."
Sebuah janji yang manis di telinga. Giska mencoba meyakini setia itu, meski di lubuk hatinya kadang terbersit ragu. Betapa tidak. Giska cukup tahu diri, siapa diri dan keluarganya. Giska terlahir dari keluarga yang sederhana dan biasa-biasa saja. Sementara Fandy adalah anak seorang pengusaha ternama.
"Yang kaya kan orang tuaku, Gis. Bukan aku. Dan yang menjalani hidupku adalah aku sendiri, bukan mereka," hibur Fandy setiap kali Giska menceritakan keadaan dirinya. Dan kesungguhan Fandy itulah yang meluluhkan perasaan Giska. Dan Giska mempercayai janji-janji yang diucapkan lelaki itu.
Hingga akhirnya Fandy pergi jauh. Teramat jauh. Saat itu, sejumput asa memang menguatkan pilar hatinya. Menyulamkan percaya, bahwa kelak Fandy akan kembali lagi untuknya. Giska menangis ketika burung besi raksasa itu terbang menjauh. Hari-hari sepi tergambar di pelupuk matanya. Semenjak kepergian Fandy, Giska selalu menyertakan nama sang kekasih itu dalam setiap do'anya. Disiraminya asa yang dia punya dengan kesetiaan yang dijaganya utuh dengan harapan, semoga waktu dan jarak yang terbentang akan tetap menaungi setianya.
Seminggu setelah perpisahan, sebuah kartu pos bergambar indah datang ke kamarnya. Disertai tumpukan kata-kata rindu. Pun pula hari-hari selanjutnya. Juga minggu-minggu setelahnya, dan bahkan bulan-bulan sesudahnya. Mereka tetap saling merindu. Jarak bukanlah rintangan yang perlu dirisaukan.
Hingga di bulan ke lima. Alunan rindu perlahan sayup. Gita rindu tak mengalun merdu seperti sebelumnya. Ada cemas yang mengusik hati Giska. Tetapi lekas ditepisnya rasa itu. Mungkin Fandy sibuk dengan kegiatannya. Apalagi belajar di negeri asing, tentu tak semudah di tempat sendiri.
"Jarak memang kadang bisa merubah sesuatu," kata Lisa, ketika Giska mencurahkan perasaan hatinya.
Tapi Giska mencoba untuk setia. Terlalu terburu-buru menuduh Fandy berbuat sesuatu hal yang menyakiti hatinya. Hingga siang itu di pusat perbelanjaan. Fandy menggandeng seorang wanita di depan matanya. Hatinya berdesir nyeri. Semudah itukah Fandy berpaling?
Dan suatu sore di taman kota.
"Maafkan aku, Gis. Aku memang tak mampu menjaga setia kita. Sekian lama bersama di tempat yang asing, membuat aku dan Jennie merasa saling membutuhkan," pengakuan jujur Fandy siang itu.
Giska merasa langit di atasnya runtuh dan menimpanya. Setia yang dia jaga selama ini, hancur oleh pengakuan yang menyakitkan tersebut. Hatinya hancur. Sekuat tenaga ditahannya emosi dirinya yang membuncah. Giska mencoba untuk tahu diri, betapa selama ini dia terlelap dalam mimpi yang dia ciptakan sendiri.
Hatinya memang sakit. Tetapi untuk membenci sosok Fandy, dia tak sanggup. Dan Giska mencoba menjalani perpisahannya dengan sebelah sayapnya yang patah. Seperti perpisahan beberapa bulan yang lalu, sore ini kembali sepi menanti hari-hari Giska ke depan.
Dan luka itu dari hari ke hari kian terasa nyeri. Kenangan dan kebersamaan yang telah dijalaninya sekian lama tergambar jelas di matanya ketika Giska melewati tempat-tempat indah yang dulu pernah dijalaninya bersama Fandy. Sulit rasanya menghapus semua kenangan itu. Apalagi ketika sepi menyergapnya. Dan tangis pedih tak mampu dikuasainya.
Akhirnya, Giska memutuskan untuk melupakan semua kepedihannya. Ditinggalkan segala yang melekat di benaknya selama ini. Juga kotanya. Yah, Giska memutuskan untuk pindah keluar kota. Kebetulan Om Bowo, adik papanya bertugas di Jogja. Giska berniat menyusul ke sana.

***********

Pagi masih berembun ketika Giska menyusuri pematang sawah. Hamparan sawah yang teramat luas ada di depannya. Sungguh menyegarkan. Rumah Om Bowo memang dekat dengan area persawahan.
Langkah Giska sedikit tertahan ketika melihat sesorang yang sedang duduk di gubug tengah sawah itu. Gubug itu merupakan tempat favoritnya menunggu matahari muncul dari balik bukit-bukit. Pemuda itu rupanya sedang melukis pemandangan pagi di tengah sawah.
"Halo, ini mbak Giska, ya?" sapanya ramah.
"Kok, tahu?" jawab Giska heran. Selama Giska di sini, dia merasa tidak mengenal pemuda ini.
"Saya, Aji. Tetangga Om Bowo," kata pemuda itu memperkenalkan diri.
Giska baru ingat. Pemuda inilah yang pernah dibantu Om Bowo untuk memperoleh beasiswa sekolah kedokteran. Dan kini dia kembali ke kampungnya untuk membantu Om Bowo.
"Oh, iya. Aku ingat. Om Bowo pernah bercerita tentang kamu. Kapan kamu kembali ke sini?" tanya Giska mulai akrab. Perjalanan hidup pemuda ini sering diceritakan oleh Om dan Tantenya. Meski belum pernah bertemu secara langsung, tetapi mendengar cerita tersebut Giska merasa bahwa pemuda di depannya ini orang baik.
"Sudah hampir satu minggu saya kembali ke kampung ini. eh, silakan duduk mbak," tawarnya ramah.
"Ah, jangan panggil mbak gitu dong. Panggil aja Giska. Kita kan seumuran. Kalau dipanggil mbak, kesannya aku seperti udah tuaaa banget," Giska mencoba bercanda.
"Eh.... iya," jawab Aji sambil membereskan peralatan lukisnya.
Sekilas, Giska melirik wajah pemuda di depannya yang sedang menunduk. Hmmm, wajah yang menarik juga. Dengan garis wajah yang tegas dan sepasang alis yang tebal, wajah Aji cukup menarik dinikmati,  batinnya genit.
"Oh, ya katanya kamu baru bertugas di Kalimantan? Bagaimana rasanya bertugas di daerah terpencil ?" Giska memecah keheningan yang sempat tercipta. Aji ini adalah seorang dokter muda yang baru saja mendapat tugas di daerah.
"Sangat menyenangkan, sekaligus terharu. Masih banyak saudara kita terutama yang tinggal di daerah terpencil, untuk hidup sehat pun sulit. Apalagi pergi ke dokter. Mahalnya biaya kesehatan salah satu faktor yang menyebabkan mereka enggan pergi ke dokter. Untuk itulah, Om Bowo dan saya bermaksud mendirikan klinik pengobatan di kampung ini agar masyarakat di sini tidak kesulitan untuk berobat sewaktu-waktu membutuhkan," jawab Aji panjang lebar.
Giska tersenyum menyimak cerita Aji. Ah, semoga masih banyak lagi orang-orang yang peduli kepada nasib hidup sesamanya.
**********
"Om, Giska mau berangkat dulu," pamit Giska kepada Om dan Tantenya.
Setelah liburan selama dua hari di rumah keluarga Om Bowo, Giska bermaksud untuk kembali lagi ke tempat kost nya.
"Hati-hati, Gis. Hari ini kamu tidak usah naik angkutan umum. Aji sudha Om suruh nganterin kamu. Sekarang dia nunggu di depan," kata Om Bowo sambil menikmati secangkir teh panasnya.
Giska mengernyitkan keningnya.
"Om Bowo menyuruh Aji mengantar, Giska?" tanya Giska menegaskan.
"Iya. Tuh dia sudah nunggu di depan. Jangan khawatir, Gis. Dia pemuda yang baik. Om dan Tante  sudah menganggap Aji bagian dari keluarga ini. Eh, dia juga masih sendiri lho," goda Tante Risma sambil tersenyum menggoda.
"Dijamin kamu nggak nyesel deh," goda Om Bowo menimpali.
"Ih, Om dan Tante apaan, sih?" Giska tersipu malu. Wajahnya memerah.
"Ya, sudah. Berangkat sana. Kasihan Aji sudah nunggu dari tadi," kata Tante Risma akhirnya.
Akhirnya, dengan diantar Aji, Giska berangkat ke tempat kostnya. Sepanjang perjalanan banyak hal yang diperbincangkan. Entah mengapa Giska merasa nyaman dibonceng pemuda ini.
"Kenapa kamu memilih kuliah di kota ini?" tanya Aji.
"Ingin mencari suasana baru aja. Ada yang aneh?" Giska balik bertanya.
"Ya, nggak sih. Tapi paling tidak kan ada sebuah alasan tertentu kenapa mendadak kamu pindah ke sini," jawab Aji. Sebelum sempat Aji bertanya lebih banyak, mereka sudah sampai di sebuah bangunan bertingkat yang cukup megah. Tempat kost Giska.
"Kita sudah sampai. Masuk, yuk," ajak Giska.
"Tidak usah, mungkin lain kali saja," kata Aji.
"Kalau begitu terima kasih, ya. Sampaikan salam pada Om dan Tante," kata Giska sambil membuka pintu pagar.
"Nanti aku sampaikan. Ehm... kalau ada waktu, boleh kapan-kapan main ke sini?" tanya Aji sedikit ragu.
"Tempat ini terbuka untuk siapa saja yang punya niat baik," senyum Giska mengembang.
"Ok. Lain kali saja aku datang kemari," kata Ajin sambil menghidupkan motornya dang segera memacu kendaraannya meninggalkan tempat itu.
Giska masih berdiri di pelataran. Dipandanginya punggung pemuda yang berlalu menjauh itu. Dengan langkah ringan, Giska melangkah ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Sesampai di kamar, dibaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Pikirannya masih melayang ke sosok pemuda yang baru saja pergi.
Aji. Pemuda itu begitu bersahaja. Kebersamaan yang baru tercipta beberapa hari yang lalu meninggalkan kesan yang manis. Menghadirkan sesuatu di hatinya. Entah apa namanya. Namun yang jelas, Giska serasa telah mengenal Aji sangat lama. Mungkin disebabkan karena kedekatan Aji dengan keluarga Om Bowo. Yang jelas, dari semua hari-hari yang selama ini dilaluinya di kota ini, kebersamaan sesaat dengan Aji  lah  yang meninggalkan kesan indah di hatinya. Namun Giska tidak ingin secepat itu menyimpulkan bahwa dirinya telah menitipkan sebagian rasa hatinya kepada pemuda itu. Sakit dan luka akibat pengkhianatan beberapa waktu yang lalu belum benar-benar mengering. Tetapi paling tidak, di hatinya kini ada sebait nyanyian indah yang mengalun mengisi hari-harinya. Mengubur elegi episode kemarin.

1 komentar: Leave Your Comments

  1. cerita yang simple, ada koreksi ketikan, di atas dua paragraph terakhir kata "dang" mungkin "dan" kalee ya?

    BalasHapus