Giska meneguk tetes terakhir
minumannya dengan nikmat. Siang itu udara memang cukup panas. Giska dan
sahabatnya, Lisa, sedang menikmati makan siangnya di sebuah mal yang cukup
megah. Selesai makan, mereka berdua segera menuju ke lantai dua untuk menemani
Lisa mencari kado untuk keponakannya yang sore nanti berulang tahun.
Tiba di
lantai dua, mereka segera berkeliling ke tempat penjualan mainan anak-anak.
Lisa masih bingung mencari hadiah yang cocok untuk keponakannya. Sementara Lisa
berkeliling mencari barang yang diinginkan nya, Giska secara tak sengaja
melihat sesosok tubuh yang seperti dikenalinya. Bahkan amat sangat dikenalnya.
Giska menajamkan penglihatannya dan bermaksud untuk memanggil sesosok tubuh
tersebut, ketika dari arah lain datang seorang gadis yang menghampiri orang
yang dikenalnya itu. Mereka bergandengan tangan dengan mesra dan melangkah
pergi.
Giska
menggigit bibirnya dengan beribu perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Ada
rasa sedih sekaligus marah menghantam relung hatinya. Wajahnya pias menahan
tangis yang hampir tumpah.
"Kamu
kenapa, Gis?" tanya Lisa begitu melihat wajah Giska yang pucat.
"Nggak
tahu, Lis. Kepalaku pusing tiba-tiba," bohong Giska.
"Kalau
begitu aku antar kamu ke dokter, ya?" tawar Lisa.
"Tidak
usah, Lis. Mending kita pulang aja, yuk. Kamu udahan, kan?" ajak Giska.
"Iya,
sudah. Bener kamu tidak ingin ke dokter?" tanya Lisa kurang yakin.
"Aduh,
beneran. Cuma sakit kepala kok. Istirahat sebentar di rumah, minum obat, trus
tidur kayaknya lebih menarik minatku kali ini," jawab Giska meyakinkan.
Bergegas,
Lisa menggandeng Giska keluar dari pusat perbelanjaan itu.
"benar,
kamu nggak apa-apa? Sepertinya kamu lagi ada masalah," Lisa mencoba
mencari tahu.
"Tidak
ada apa-apa, Lis. Kalau ada masalah aku pasti akan cerita ke kamu. Thanks, ya,
aku tuun di sini saja," kata Giska menutupi perasaannya. Saat itu mobil
Lisa sudah sampai di depan rumah Giska.
"Perlu
diantar sampai ke dalam?" tanya Lisa.
"Nggak
usah, Lis. Aku bisa masuk sendiri kok, makasih ya," sahut Giska seraya
melambaikan tangannya.
Giska
segera berlari masuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, ditumpahkannya perasaan
yang dari tadi menyesakkan rongga dadanya. Giska menangis. Hatinya merasa sakit
melihat pemandangan di pusat perbelanjaan tadi. Fandy. Ya, cowok yang
dilihatnya tadi memang Fandy. Kekasihnya. Enam bulan yang lalu Fandy keluar
negeri untuk melanjutkan kuliah bisnisnya. Menuruti keinginan papanya, katanya
waktu itu. Papanya berniat untuk mewariskan beberapa perusahaan yang dimilikinya.
Perpisahan enam bulan lalu masih terekam jelas di memori ingatannya.
"Berdoalah
untukku, Gis. Semoga kita bisa saling setia. Aku secepatnya akan kembali
untukmu."
Sebuah
janji yang manis di telinga. Giska mencoba meyakini setia itu, meski di lubuk
hatinya kadang terbersit ragu. Betapa tidak. Giska cukup tahu diri, siapa diri
dan keluarganya. Giska terlahir dari keluarga yang sederhana dan biasa-biasa
saja. Sementara Fandy adalah anak seorang pengusaha ternama.
"Yang
kaya kan orang tuaku, Gis. Bukan aku. Dan yang menjalani hidupku adalah aku
sendiri, bukan mereka," hibur Fandy setiap kali Giska menceritakan keadaan
dirinya. Dan kesungguhan Fandy itulah yang meluluhkan perasaan Giska. Dan Giska
mempercayai janji-janji yang diucapkan lelaki itu.
Hingga akhirnya
Fandy pergi jauh. Teramat jauh. Saat itu, sejumput asa memang menguatkan pilar
hatinya. Menyulamkan percaya, bahwa kelak Fandy akan kembali lagi untuknya.
Giska menangis ketika burung besi raksasa itu terbang menjauh. Hari-hari sepi
tergambar di pelupuk matanya. Semenjak kepergian Fandy, Giska selalu
menyertakan nama sang kekasih itu dalam setiap do'anya. Disiraminya asa yang
dia punya dengan kesetiaan yang dijaganya utuh dengan harapan, semoga waktu dan
jarak yang terbentang akan tetap menaungi setianya.
Seminggu
setelah perpisahan, sebuah kartu pos bergambar indah datang ke kamarnya.
Disertai tumpukan kata-kata rindu. Pun pula hari-hari selanjutnya. Juga
minggu-minggu setelahnya, dan bahkan bulan-bulan sesudahnya. Mereka tetap
saling merindu. Jarak bukanlah rintangan yang perlu dirisaukan.
Hingga di
bulan ke lima. Alunan rindu perlahan sayup. Gita rindu tak mengalun merdu
seperti sebelumnya. Ada cemas yang mengusik hati Giska. Tetapi lekas ditepisnya
rasa itu. Mungkin Fandy sibuk dengan kegiatannya. Apalagi belajar di negeri
asing, tentu tak semudah di tempat sendiri.
"Jarak
memang kadang bisa merubah sesuatu," kata Lisa, ketika Giska mencurahkan
perasaan hatinya.
Tapi Giska
mencoba untuk setia. Terlalu terburu-buru menuduh Fandy berbuat sesuatu hal yang
menyakiti hatinya. Hingga siang itu di pusat perbelanjaan. Fandy menggandeng
seorang wanita di depan matanya. Hatinya berdesir nyeri. Semudah itukah Fandy
berpaling?
Dan suatu
sore di taman kota.
"Maafkan
aku, Gis. Aku memang tak mampu menjaga setia kita. Sekian lama bersama di
tempat yang asing, membuat aku dan Jennie merasa saling membutuhkan,"
pengakuan jujur Fandy siang itu.
Giska
merasa langit di atasnya runtuh dan menimpanya. Setia yang dia jaga selama ini,
hancur oleh pengakuan yang menyakitkan tersebut. Hatinya hancur. Sekuat tenaga
ditahannya emosi dirinya yang membuncah. Giska mencoba untuk tahu diri, betapa
selama ini dia terlelap dalam mimpi yang dia ciptakan sendiri.
Hatinya
memang sakit. Tetapi untuk membenci sosok Fandy, dia tak sanggup. Dan Giska
mencoba menjalani perpisahannya dengan sebelah sayapnya yang patah. Seperti
perpisahan beberapa bulan yang lalu, sore ini kembali sepi menanti hari-hari
Giska ke depan.
Dan luka
itu dari hari ke hari kian terasa nyeri. Kenangan dan kebersamaan yang telah
dijalaninya sekian lama tergambar jelas di matanya ketika Giska melewati
tempat-tempat indah yang dulu pernah dijalaninya bersama Fandy. Sulit rasanya
menghapus semua kenangan itu. Apalagi ketika sepi menyergapnya. Dan tangis
pedih tak mampu dikuasainya.
Akhirnya,
Giska memutuskan untuk melupakan semua kepedihannya. Ditinggalkan segala yang
melekat di benaknya selama ini. Juga kotanya. Yah, Giska memutuskan untuk
pindah keluar kota. Kebetulan Om Bowo, adik papanya bertugas di Jogja. Giska
berniat menyusul ke sana.
***********
Pagi masih
berembun ketika Giska menyusuri pematang sawah. Hamparan sawah yang teramat
luas ada di depannya. Sungguh menyegarkan. Rumah Om Bowo memang dekat dengan
area persawahan.
Langkah
Giska sedikit tertahan ketika melihat sesorang yang sedang duduk di gubug
tengah sawah itu. Gubug itu merupakan tempat favoritnya menunggu matahari
muncul dari balik bukit-bukit. Pemuda itu rupanya sedang melukis pemandangan
pagi di tengah sawah.
"Halo,
ini mbak Giska, ya?" sapanya ramah.
"Kok,
tahu?" jawab Giska heran. Selama Giska di sini, dia merasa tidak mengenal
pemuda ini.
"Saya,
Aji. Tetangga Om Bowo," kata pemuda itu memperkenalkan diri.
Giska baru
ingat. Pemuda inilah yang pernah dibantu Om Bowo untuk memperoleh beasiswa
sekolah kedokteran. Dan kini dia kembali ke kampungnya untuk membantu Om Bowo.
"Oh,
iya. Aku ingat. Om Bowo pernah bercerita tentang kamu. Kapan kamu kembali ke
sini?" tanya Giska mulai akrab. Perjalanan hidup pemuda ini sering
diceritakan oleh Om dan Tantenya. Meski belum pernah bertemu secara langsung,
tetapi mendengar cerita tersebut Giska merasa bahwa pemuda di depannya ini
orang baik.
"Sudah
hampir satu minggu saya kembali ke kampung ini. eh, silakan duduk mbak,"
tawarnya ramah.
"Ah,
jangan panggil mbak gitu dong. Panggil aja Giska. Kita kan seumuran. Kalau
dipanggil mbak, kesannya aku seperti udah tuaaa banget," Giska mencoba
bercanda.
"Eh....
iya," jawab Aji sambil membereskan peralatan lukisnya.
Sekilas,
Giska melirik wajah pemuda di depannya yang sedang menunduk. Hmmm, wajah yang
menarik juga. Dengan garis wajah yang tegas dan sepasang alis yang tebal, wajah
Aji cukup menarik dinikmati, batinnya
genit.
"Oh,
ya katanya kamu baru bertugas di Kalimantan? Bagaimana rasanya bertugas di
daerah terpencil ?" Giska memecah keheningan yang sempat tercipta. Aji ini
adalah seorang dokter muda yang baru saja mendapat tugas di daerah.
"Sangat
menyenangkan, sekaligus terharu. Masih banyak saudara kita terutama yang
tinggal di daerah terpencil, untuk hidup sehat pun sulit. Apalagi pergi ke
dokter. Mahalnya biaya kesehatan salah satu faktor yang menyebabkan mereka
enggan pergi ke dokter. Untuk itulah, Om Bowo dan saya bermaksud mendirikan
klinik pengobatan di kampung ini agar masyarakat di sini tidak kesulitan untuk
berobat sewaktu-waktu membutuhkan," jawab Aji panjang lebar.
Giska
tersenyum menyimak cerita Aji. Ah, semoga masih banyak lagi orang-orang yang
peduli kepada nasib hidup sesamanya.
**********
"Om,
Giska mau berangkat dulu," pamit Giska kepada Om dan Tantenya.
Setelah liburan
selama dua hari di rumah keluarga Om Bowo, Giska bermaksud untuk kembali lagi
ke tempat kost nya.
"Hati-hati,
Gis. Hari ini kamu tidak usah naik angkutan umum. Aji sudha Om suruh nganterin
kamu. Sekarang dia nunggu di depan," kata Om Bowo sambil menikmati
secangkir teh panasnya.
Giska
mengernyitkan keningnya.
"Om
Bowo menyuruh Aji mengantar, Giska?" tanya Giska menegaskan.
"Iya.
Tuh dia sudah nunggu di depan. Jangan khawatir, Gis. Dia pemuda yang baik. Om
dan Tante sudah menganggap Aji bagian
dari keluarga ini. Eh, dia juga masih sendiri lho," goda Tante Risma
sambil tersenyum menggoda.
"Dijamin
kamu nggak nyesel deh," goda Om Bowo menimpali.
"Ih,
Om dan Tante apaan, sih?" Giska tersipu malu. Wajahnya memerah.
"Ya,
sudah. Berangkat sana. Kasihan Aji sudah nunggu dari tadi," kata Tante
Risma akhirnya.
Akhirnya,
dengan diantar Aji, Giska berangkat ke tempat kostnya. Sepanjang perjalanan
banyak hal yang diperbincangkan. Entah mengapa Giska merasa nyaman dibonceng
pemuda ini.
"Kenapa
kamu memilih kuliah di kota ini?" tanya Aji.
"Ingin
mencari suasana baru aja. Ada yang aneh?" Giska balik bertanya.
"Ya,
nggak sih. Tapi paling tidak kan ada sebuah alasan tertentu kenapa mendadak
kamu pindah ke sini," jawab Aji. Sebelum sempat Aji bertanya lebih banyak,
mereka sudah sampai di sebuah bangunan bertingkat yang cukup megah. Tempat kost
Giska.
"Kita
sudah sampai. Masuk, yuk," ajak Giska.
"Tidak
usah, mungkin lain kali saja," kata Aji.
"Kalau
begitu terima kasih, ya. Sampaikan salam pada Om dan Tante," kata Giska sambil
membuka pintu pagar.
"Nanti
aku sampaikan. Ehm... kalau ada waktu, boleh kapan-kapan main ke sini?"
tanya Aji sedikit ragu.
"Tempat
ini terbuka untuk siapa saja yang punya niat baik," senyum Giska
mengembang.
"Ok.
Lain kali saja aku datang kemari," kata Ajin sambil menghidupkan motornya
dang segera memacu kendaraannya meninggalkan tempat itu.
Giska masih
berdiri di pelataran. Dipandanginya punggung pemuda yang berlalu menjauh itu.
Dengan langkah ringan, Giska melangkah ke dalam rumah dan menuju kamarnya.
Sesampai di kamar, dibaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Pikirannya masih
melayang ke sosok pemuda yang baru saja pergi.
Aji. Pemuda
itu begitu bersahaja. Kebersamaan yang baru tercipta beberapa hari yang lalu
meninggalkan kesan yang manis. Menghadirkan sesuatu di hatinya. Entah apa
namanya. Namun yang jelas, Giska serasa telah mengenal Aji sangat lama. Mungkin
disebabkan karena kedekatan Aji dengan keluarga Om Bowo. Yang jelas, dari semua
hari-hari yang selama ini dilaluinya di kota ini, kebersamaan sesaat dengan
Aji lah
yang meninggalkan kesan indah di hatinya. Namun Giska tidak ingin
secepat itu menyimpulkan bahwa dirinya telah menitipkan sebagian rasa hatinya
kepada pemuda itu. Sakit dan luka akibat pengkhianatan beberapa waktu yang lalu
belum benar-benar mengering. Tetapi paling tidak, di hatinya kini ada sebait
nyanyian indah yang mengalun mengisi hari-harinya. Mengubur elegi episode
kemarin.
cerita yang simple, ada koreksi ketikan, di atas dua paragraph terakhir kata "dang" mungkin "dan" kalee ya?
BalasHapus