WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: PELITA DI TENGAH GULITA




Pagi masih terasa sunyi. Juga lengang. Bahkan azan Subuh pun belum terdengar. Di sebuah rumah mungil di pinggir kampung, terlihat nyala lampu minyak bergerak-gerak mengikuti hembusan angin. Sebuah rumah yang sederhana. Dindingnya yang terbuat dari bambu sudah terlihat lapuk dimakan usia. Pada salah satu ruang, terlihat seorang gadis yang sedang duduk bersimpuh di atas hamparan sajadah kusam yang mungkin saja juga telah pudar warnanya dimakan usia.
Seruni, nama sang gadis. Telah hampir setengah jam yang lalu dia duduk bersimpuh, seusai menjalankan shalat malamnya. Sementara di bale bambu di sampingnya, terlihat seorang anak kecil yang masih tertidur pulas. Lasmi, adik Seruni masih berkutat dengan mimpinya.
“Lasmi, bangun. Shalat Subuh dulu,” Seruni mengguncang tubuh mungil adiknya ketika dari kejauhan terdengar lengkingan suara Azan.
Anak kecil itu menggeliat sambil merapatkan selimutnya. Gumaman kata-kata keluar dari bibirnya.
“Masih dingin, Yu,” jawab Lasmi malas-malasan.
“Heh, kamu ndak boleh malas begitu. Apalagi mau shalat. Diganggu setan itu namanya. Ayo bangun dulu, Yu Runi mau bikin srapan untuk Bapak,” kata Seruni sambil menarik selimut adiknya.
Lasmi terpaksa bangun dengan mata sedikit terpejam. Udara memang dingin menggigit. Apalagi rumah mereka terletak di tempat tinggi, di dekat hutan. Sambil berjalan sempoyongan Lasmi berjalan ke belakang rumah untuk mengambil air wudhu. Sementara Seruni beranjak pergi ke dapur. Lampu minyak yang tergantung di dinding dapur segera dinyalaknnya. Di antara temaram sinar lampu terlihat samar sebagian dari isi dapurnya. Perabotan-perabotan yang tua dan seadanya menyiratkan betapa sederhananya kehidupan mereka.
Ah, seandainya emak masih tinggal di rumah ini mungkin aku tidak harus mengerjakan pekerjaan ini setiap hari, hatinya membatin perih. Menyiapkan sarapan untuk Lasmi, dan juga bekal untuk Bapak yang harus bekerja di ladang. Bapaknya, laki-laki tua yang sabar itu memang bekerja sebagai seorang buruh. Kadang mencangkul ladang orang yang memang butuh tenaganya. Kadang juga memetik hasil-hasil perkebunan para juragan desa yang memang mempunyai tanah yang sangat luas. Dan dari hasil menjual tenaga itulah, mereka kemudian mendapatkan sekedar imbalan untuk biaya hidup sehari-hari.
Mungkin, karena kehidupan yang sulit itulah maka emaknya tidak sanggup hidup bersama mereka lagi. Keadaan yang serba pas-pasan akhirnya membuat emaknya kabur dengan seorang pemuda kaya dari desa tetangga. Entah kemana. Terakhir Seruni mendengar kabar bahwa emaknya pergi ke Lampung dan telah menikah di sana. Dengan sang pemuda yang membawanya. Ah, Seruni hanya mampu menghela nafas berat ketika mengingat kejadian yang memalukan itu. Juga menyakitkan.
“Kok, Yu Runi melamun? Katanya mau masak sarapan,” celoteh Lasmi menyentakkan kesadaran Seruni.
Seruni dengan sigap menyalakan kayu bakar di dalam tungku yang terbuat dari tanah. Sesaat kemudian api telah menyala dan membuat udara di sekitar dapur menjadi sedikit hangat. Meski di luar sana, kabut masih menyelimuti embun-embun yang menempel di pucuk daun.
“Airnya sudah mendidih, Nduk?” tanya bapaknya yang telah selesai menjalankan shalat Subuh.
“Sebentar lagi, Pak. Hari ini Bapak mencangkul di ladang Pak Nata, kan?” tanya Seruni.
“Iya. Ndak jauh kok tempatnya. Kamu masaknya ndak usah buru-buru. Bapak berangkat agak siang,” kata lelaki tua itu sambil berjalan keluar dapur.
Ah, Bapak. Seruni memandangi punggung lelaki tua yang berjalan meninggalkan dapur itu. Punggung yang sarat dengan beban. Himpitan kehidupan telah membuat keadaan mereka laksana terjepit dalam bongkah batu besar yang menyesakkan. Seruni terpaksa berhenti sekolah sampai kelas dua SMP. Padahal otak gadis itu cukup cerdas, setidaknya terbukti dari kelas satu Sekolah Dasar dirinya selalu menjadi juara umum di sekolahnya.
Terkadang Seruni merasakan betapa tidak adilnya kehidupan yang dia jalani. Ada sebagian orang yang dengan mudah dapat meraih cita-cita dan impiannya. Tetapi ada pula sebagian yang lain yang harus menelan pil pahit yang disebut kekecewaan, secara bulat-bulat, karena keadaan yang sulit. Dan salah satu adalah dirinya. Betapa kemarahan akan keadaannya yang serba kekurangan membuat dadanya menjadi sesak. Padahal Seruni merasa, dia mempunyai tekat dan semangat. Tetapi rupanya keberuntungan tidak berpihak kepadanya. Keluarganya bukanlah keluarga yang mampu. Sementara mereka yang mampu, terkadang berbuat sekehendak hatinya tanpa befikir bahwa di antara sekian banyak orang, banyak dari mereka yang harus berjuang sekuat tenaga, membanting tulang, hanya untuk sekedar bertahan hidup.
Dan mentari mulai menyembul dari balik bukit itu. Sinarnya yang hangat ramah menerangi ladang-ladang di sekitar bukit, dan sepetak hutan hijau di sebelah barat rumah Seruni. Seruni memandang sekelilingnya dengan pandangan sepi. Seperti pagi-pagi yang telah berlalu, rutinitas pekerjaan yang dijalaninya kadang membuat gadis remaja itu jenuh dan bosan. Betapa tidak. Pagi-pagi sekali Seruni harus memasak untuk Bapak dan adiknya. Kemudian menyiapkan sarapan untuk Lasmi yang akan berangkat sekolah, dan Bapaknya yang akan pergi ke ladang. Ketika hari beranjak siang, Seruni harus ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Dari hari ke hari pekerjaan itulah yang menjadi santapannya. Terkadang, Seruni merasa betapa hidupnya ada yang kurang. Entahlah. Seruni sendiripun tak tahu apa yang hilang dalam kehidupannya. Hanya saja Seruni kadang merasa ada sebagian hatinya yang terasa kosong dan sunyi. Sesunyi kampung tempat tinggalnya.
“Assalamu’alaikum, dik Runi,” sebuah suara mengagetkan Seruni yang sedang menyapu halaman depan rumahnya,
“Wa’alaikum salam, eh.. Mas Gumilar. Mau ke kota, Mas?” jawab Seruni sedikit gugup.
Entah mengapa setiap menatap sorot mata lembut itu, ada debar-debar aneh yang menyentak dadanya. Gumilar. Laki-laki muda itu tersenyum hangat sambil mengangguk. Dia adalah anak juragan Tanu, pemilik beberapa perkebunan di kampung Seruni.
“Iya, mau nyusul Bapak ke kota. Ibu menyuruh saya menemui Bapak. Mari dik Runi, saya jalan dulu,” kata Gumilar sambil melangkahkan kaki menuruni jalanan bukit itu.
Seruni mengangguk hormat kepada lelaki muda di hadapnnya. Gumilar memang pemuda yang baik di kampung ini. Dia kakak kelasnya waktu di Sekolah Dasar dulu. Setelah lulus SD, Gumilar melanjutkan pendidikannya ke kota sampai sekarang. Dan kini sudah hampir tiga tahun dia menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren terkenal di sana.
“Nduk, Bapak berangkat dulu. Nanti kalau kamu mengantarkan makan siang, langsung ke ladangnya Pak Nata saja,” suara bapaknya mengagetkan lamunan Seruni.
“Iya, Pak. Tehnya sudah diminum?”
“Sudah. Lasmi mana?”
“Sudah berangkat dari tadi. Hati-hati ya, Pak.”
Lelaki tua itu segera berlalu. Dan Seruni segera sibuk dengan pekerjaannya. Sementara siang secara perlahan namun pasti mulai meninggi. Udara terasa lebih hangat sekarang. Sepasang burung kepodang kuning nampak asyik bercengkrama di dahan pohon akasia yang menjulang tinggi di pinggir hutan. Sementara di tempat lain, segerombolan burung pipit melintasi atap hutan. Hanya itulah teman seruni menjalani kehidupannya. Irama nyanyian burung dan senandung alam pedesaan.
Hingga akhirnya senja menjelang. Jingga di kaki langit sebelah barat menyuguhkan lukisan alam yang teramat sempurna. Sesaat lagi gelap akan membentangkan tirainya di kampung itu. Seruni yang hendak menutup jendela rumahnya, dikagetkan oleh sapaan yang memecah hening rumahnya.
“Assalamu’alaikum,” sebuah suara yang telah akrab mampir di telinganya.
“Wa’alaikum salam. Sudah pulang, Mas? Mana Bapaknya?” tergopoh Seruni membuka pintu.
“Bapak langsung pulang ke rumah. Ini saya mau memberikan sedikit oleh-oleh buat Lasmi,” kata Gumilar sambil mengulurkan sebuah bingkisan.
Belum sempat Seruni menerimanya, Lasmi dengan sigap meraih bingkisan tersebut.
“Wah, ini oleh-oleh buat Lasmi ya, Mas? Maturnuwun, Mas,” kata Lasmi girang sambil membuka bingkisan tersebut.
“Lasmi, kamu ndak boleh begitu sama Mas Gumilar. Ndak sopan. Maafkan kelakuan adik saya, Mas,” kata Seruni merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, dik Runi. Itu hanya buku-buku cerita kok. Kebetulan di kota, saya punya banyak buku-buku cerita seperti itu. Semoga saja bisa menambah pengetahuan Lasmi. Kalau dik Runi mau, saya juga punya buku yang bagus untuk dik Runi. Nanti kapan-kapan saya bawakan,” jawab Gumilar.
“Ndak usah, Mas. Nanti merepotkan. Terimakasih,” kata Seruni, meski sebetulnya diapun ingin sekali banyak membaca. Hanya saja sampai saat ini dia tidak mempunyai biaya untuk membeli buku-buku bacaan. Jangankan untuk membeli buku, untuk makan sehari-hari saja keluarganya harus pandai-pandai mengumpulkan uang.
“Ah, ndak apa-apa. Kalau begitu, saya pulang dulu, dik Runi. Assalamu’alaikum,” kata Gumilar memecah sepi.
“I...iya, Mas. Wa’alaikum salam. Terimakasih oleh-olehnya,” jawab Seruni sambil menutup pintu. Entah kenapa, setiap berhadapan dengan Gumilar, dia selalu gugup.
Sementara di luar sana gelap telah benar-benar menguasai bumi. Namun ada sebuah hati yang terasa benderang, bersinar menumbuhkan pijar-pijar asa. Dan nyanyian serangga malam laksana shimfony keindahan yang mengantarkan tidur malam ke buaian mimpi yang membahagiakan.
Dan pagi datang. Pintu rumah sederhana di pinggir kampung itu kembali terbuka. Namun keadaan di rumah itu tidak seperti pagi-pagi sebelumnya.
"Pak, teh hangatnya diminum dulu biar bapak segar," kata Seruni sambil menyuguhkan segelas teh hangat kepada bapaknya yang terbaring lesu di tempat tidur tua di ruang tengah. Dari tadi malam bapaknya terbaring sakit.
"Bapak mungkin terlalu letih bekerja. Runi mohon, bapak istirahat dulu beberapa hari biar sehat, ya?" kata Seruni sambil memijit kaki bapaknya.
"Bapak ndak apa-apa, Nduk. Bapak harus segera menyelesaikan pekerjaan bapak. Ndak enak sama Pak Nata. Upah bapak sudah dibayarkan semuanya," kata laki-laki tua itu sambil bangkit dari pembaringan. Derit dipan tua yang dipakainya seakan melagukan lagu kepedihan sebuah kisah kehidupan.
"Pak Nata pasti memaklumi keadaan bapak. Bapak kan lagi sakit. Hari ini bapak ndak usah ke ladang ya, biar nanti Runi yang ke rumah Pak Nata meminta ijin ke beliau. Nanti kalau bapak sakit, kita semua akan repot," bujuk Seruni.
" Baiklah, Nduk. Bapak akan beristirahat barang satu atau dua hari. Bapak hanya kasihan kepada kamu dan Lasmi. Seandainya emakmu tidak pergi meninggalkan kita.....," dan mata tua itu menahan butiran air mata.
"Sudahlah, Pak. Runi ikhlas dengan semua ini. Biarlah emak pergi meninggalkan kita, tapi Runi janji tidak akan meninggalkan bapak sampai kapanpun," hibur gadis remaja itu.
Lengan keriput itupun membelai rambut anak gadisnya. Seruni memeluk bapaknya dengan kasih sayang. Betapa, begitu banyak beban hidup yang harus mereka hadapi. Dan lelaki renta di pelukannya ini sungguh telah mengorbankan begitu banyak tenaga, air mata, dan segalanya untuk kelangsungan hidup mereka bertiga.
Kadang, Seruni merasakan kebencian hadir di hatinya kepada sosok perempuan yang telah melahirkannya. Perlakuan emak kepada bapak, adik, dan dirinya sungguh menyakitkan. Meninggalkan mereka hanya untuk kesenangan semata. Tapi Seruni sadar bahwa di kaki ibunya lah surga itu ada. Dan kebencian hatinya lambat laun berubah menjadi doa, semoga Tuhan membukakan hidayah, dan mempertemukan mereka kembali suatu saat nanti.
Namun Tuhan punya rencana lain. Pada hari kelima sakitnya, lelaki tua yang tegar itu pergi untuk selamanya. Tubuhnya tak sanggup lagi menahan sakit paru-paru yang telah menggerogoti tubuh kurusnya. Seruni merasakan dunianya kini berubah kelam. Bapaknya, laki-laki tua yang ia sayangi, yang letih menanggung beban di usia senjanya, kini harus pergi. Seruni seakan kehilangan pegangan. Dia tak tahu harus bagaimana menjalani kehidupan tanpa seseornag yang selama ini  tulang punggung di keluarganya. Betapa dunia tiba-tiba saja dirasakannya sebagai ladang kepedihan.
Tetapi ketika lentera di hatinya hampir padam, masih ada sebuah kekuatan yang kembali mampu menguatkan pilar hatinya yang letih. Memercikkan cahaya yang menerangi batinnya. Gumilar, lelaki muda itu begitu tulus memberi perhatian kepada Seruni dan adiknya. Nasehat-nasehat bijaksana yang keluar dari bibirnya laksana air penyejuk jiwa yang membasahi padang gersang hatinya karena kehilangan bapaknya. Persahabatan dua anak manusia itupun melahirkan benih-benih cinta yang perlahan menyemi.
"Tapi keadaan kita sangat berbeda, Mas. Saya yakin orang tua Mas Gumilar akan menentang hubungan kita," kata Seruni suatu sore ketika senja telah meredup di bibir hutan.
Cinta selalu butuh pengorbanan. Ujian. Juga cobaan. Karena dari sebuah ujian dan cobaan itulah waktu akan menguji apakah cinta layak dipertahankan atau semua akan berakhir seiring berlalunya waktu yang mengikis kata setia.
Hingga pada suatu siang yang lengang di sisi hutan,
"Seruni, ibu mohon kamu jangan lagi mengharapkan cinta dari anakku, Gumilar. Seharusnya kamu tahu diri siapa kamu itu. Seluruh kampung juga tahu siapa Murni, emakmu, perempuan nakal yang pergi meninggalkan keluarganya demi mendapatkan laki-laki kaya. Kalau kamu nanti jadi istri Gumilar, kamu juga pasti akan seperti kelakuan emakmu itu. Bikin malu saja!" hardik perempuan separuh baya itu. Sebuah kalimat yang menghunjamkan rasa nyeri di hatinya. Hati Seruni hancur dan harga dirinya seakan terbanting dan kandas ke dasar bumi.
Seruni yang sedang mengikat beberapa ranting kering untuk kayu untuk kayu bakar itu hanya diam menunduk. Air matanya mengalir deras. Hatinya serasa tercabik-cabik. Seruni maklum kalau Nyonya Tanu, ibunya Gumilar, berpikiran seperti itu. Tetapi Seruni bukanlah Murni, ibunya. Meski darah perempuan itu memang mengalir di tubuhnya. Tetapi belum tentu juga kesalahan yang dilakukan orang tuanya, akan terulang kepada anaknya.
Seruni pulang membawa luka hati yang perih. Disusurinya jalan setapak di pinggir hutan yang lengang itu dengan lemah. Sementara hembusan angin siang di hutan itu tak juga mampu menyejukkan hatinya yang gulana.
"Yu Runi, tadi Mas Gumilar kesini dan menitipkan surat ini," kata Lasmi begitu Seruni menginjakkan kakinya di halaman rumah.
Dibukanya amplop berwarna putih bersih itu. Di dalamnya terdapat deretan kata-kata yang ditulis Gumilar.
Dik Runi....
Maafkan aku kalau pergi tanpa memberitahumu terlebih dahulu. Bukan maksud aku untuk pergi tanpa pamit kepada Dik Runi, tetapi karena memang aku sedikit terburu-buru. Ibu menyuruhku untuk secepatnya kembali ke kota untuk segera meyelesaikan pendidikan di pesantren. Mungkin dalam waktu lama aku tidak bisa pulang menemui Dik Runi. Tetapi aku mohon Dik Runi tetap memikirkan kata-kataku tempo hari. Aku serius ingin menjalin hubungan dengan Dik Runi. Dan aku harap Dik Runi juga mempunyai pikiran yang sama dengan aku.
Dik Runi........
Adik tidak usah terlalu peduli omongan orang tentang masa lalu orang tua adik. Tidak semua anak itu perbuatannya akan sama dengan orang tuanya, dan aku percaya Dik Runi gadis yang baik. Biarlah nanti waktu yang akan membuktikannya. Sedang mengenai Ibu, aku mohon Dik Runi bersabar dan tetaplah berdo'a. Semua orang tua tentu akan menginginkan yang terbaik untuk anaknya, begitu juga dengan Ibuku. Mohonlah petunjuk Allah agar membukakan pintu hidayahNya kepada Ibuku, agar beliau menyetujui hubungan kita ini. Aku juga akan berusaha semampuku.
Di Runi........
Di sini aku juga akan selalu berdoa dan berusaha untuk meyakinkan Ibu bahwa pilihanku kepada Dik Runi Insya Allah tidak salah. Dik Runi tidak seperti yang disangkakan Ibuku selama ini. Tetaplah minta petunjuk Allah, dan yakinlah bahwa segala permasalahan pasti akan ada jalan keluar, karena memang tujuan kita adalah kebaikan.
Dari orang yang mencintaimu


Gumilar
Seruni membaca surat tersebut dengan dada sesak. Begitu banyak perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Gembira, karena Seruni yakin bahwa Gumilar sungguh-sungguh mencintainya, sekaligus sedih ketika mengingat sikap Ibunya kepada dirinya. Tetapi di lubuk hati terdalamnya Seruni tetap memohon kepada Allah, seandainya Gumilar memang diciptakan untuk dirinya, tak kan ada yang mampu mengubah ketentuan takdir, pun pula sekiranya Gumilar bukan untuknya, Seruni tetap yakin bahwa ketentuan Allah atas dirinya itulah yang terbaik. Sebuah kepasrahan yang melegakan.
Dan kekuatan do'a itulah yang tetap menyalakan semangatnya untuk tetap berjuang demi kehidupan dirinya dan adiknya. Do'a-do'a yang dilantunkan laksana cahaya pelita di tengah kegelapan semesta.

1 komentar: Leave Your Comments

  1. ini cerita yang bagus ada koreksi salah ketik "di hadapnnya"(seruni mengangguk hormat di hadapannya) cek lagi. > ilustrasinya bagus. tapi sayang cerita terlalu singkat (buru2ya)

    BalasHapus