WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: SEBELUM PERTEMUAN




Senja menjelang ditingkahi rinai gerimis yang membuat dingin terasa semakin menggigit. Semenjak pagi hujan memang turun tiada henti. Seakan tidak ingin memberi kesempatan matahari untuk sekedar menampakkan diri walau hanya sejenak. Hamdani dengan setengah tergesa menerobos rinai gerimis yang kini telah semakin deras. Sepertinya hujan akan turun semakin deras malam ini. Itu terlihat dari gumpalan awan hitam yang semakin tebal menggantung di langit.
Itu pertanda, Hamdani harus siap-siap terjaga sepanjang malam. Karena apabila hujan benar-benar turun dengan deras, tempat kostnya pasti akan tergenang air. Jangankan hujan sampai seharian seperti ini, hujan yang hanya turun dua jam saja dengan terpaksa dia harus numpang tidur di tempat kost Rahmat. Itu terjadi dua hari yang lalu.
Hamdani memang bekerja di kota ini dan terpaksa kost karena tempat kerjanya, yakni sebuah bengkel mobil, kadang mewajibkannya untuk lembur sampai malam. Untuk ngelajo jelas tidak mungkin karena jarak antara rumah dan tempatnya bekerja sangat jauh. Lagipula Hamdani belum mempunyai kendaraan sendiri. Oleh karenanya, daripada tenaganya dihabiskan dalam perjalanan, maka dia lebih memilih mengontrak sebuah kamar di dekat tempatnya bekerja dan pulang seminggu sekali.
Kadang Hamdani merasa heran juga dengan kota ini. Sepertinya kota tempatnya tinggal kini juga tidak mau ketinggalan untuk ikut-ikutan panen banjir seperti kota-kota besar lainnya. Padahal secara geografis, tempatnya tinggal sekarang bukanlah tempat ideal untuk dilalui banjir.
Dengan sedikit berlari dan tak lupa melindungi kepalanya dengan jaket, Hamdani menembus gerimis. Badannya mulai basah. Celana panjangnya digulung sebatas lutut agar tidak terendam air yang mulai beranjak naik. Tetapi percuma saja. Karena air ternyata dengan cepat telah luber ke jalan.
Wah, gawat nih, pikirnya. Pasti kamarnya kini telah terendm air. Untungnya saja tidak ada barang-barang berharga yang ditinggalkannya di kamar kontrakannya. Hamdani tersenyum getir. Barang berharga apa, gumamnya. Hampir satu tahun dia bekerja, dan uang gajiannya selalu diberikan kepada Ibu dan adiknya, Tinah, yang tinggal di kampung. Ayah mereka telah tiada beberapa tahun yang lalu. Ibu mereka hanya bekerja serabutan dan mengandalkan pendapatan dari kebun mereka yang tidak terlalu luas.
Beruntunglah Tinah yang selalu menjadi juara umum di sekolah, sehingga selalu mendapatkan beasiswa tiap tahunnya. Sehingga uang pembayaran sekolah dapat teratasi. Dan hasil kebun mereka bisa digunakan untuk mencukkupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi rupanya persoalan tidak selesai sampai di situ. Karena setelah lulus sekolah nanti, Tinah ingin melanjutkan kuliah karena ingin sekali menjadi guru.
“Apa tidak sebaiknya kamu berhenti dulu barang setahun dua tahun untuk bekerja mengumpulkan uang dulu. Baru setelah itu kamu bisa memikirkan keinginan kamu untuk melanjutkan sekolah,” saran Hamdani kepada adik satu-satunya itu.
“Ya, aku pengennya begitu, Mas, kalau memang tidak ada biaya untuk langsung melanjutkan kuliah. Tetapi yang jelas aku harus melanjutkan sekolah. Aku tidak ingin kepinteranku ini hanya terkubur sampai di sini hanya gara-gara kita miskin. Mosok selamanya kita harus hidup miskin,” jawab Tinah.
“Iya, aku ngerti, Tin. Oleh karenanya kamu harus banyak-bnanyak berdo’a supaya kamu diberi kemudahan untuk menggapai keinginan kamu itu,” nasehat Hamdani bijak.
“Eh Mas, bagaimana kalau setelah lulus SMA nanti aku kerja ke luar negeri. Dua tahun kan aku bisa mengumpulkan uang banyak agar aku bisa membantu Ibu. Dan sisanya aku kumpulkan untuk biaya kuliah,” sebuah ide tiba-tiba saja melintas di kepala Tinah.
“Hush, ojo ngawur kamu. Nanti siapa yang jaga Ibu. Lagipula kerja keluar negeri kan butuh biaya banyak. Duwit dari mana?” Hamdani menolak saran adiknya.
“Kan bisa pinjam ke Mbak Rahmi. Sebentar lagi Mbak Rahmi kan pulang to. Dia kan sudah dua tahu di Jepang. Nanti setelah aku pulang, duwit pinjaman itu aku kembalikan semua. Mbak Rahmi pastinya tidak keberatan meminjamkan duwit ke calon adik iparnya ini,” goda Tinah.
“Justru aku yang nggak enak sama keluarga mereka, Tin. Belum apa-apa kok sudah pinjam duwit. Wis, kamu kerja di sini saja nanti tak Bantu carikan kerja. Bengkel Koh halim kayaknya butuh orang untuk jaga toko. Nanti kamu tak usulke kerja di tokonya,” putus Hamdani.
Dan Tinah masuk ke kamarnya dengan cemberut. Kerja di toko, apalagi di kota ini pasti gajinya kecil. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang agar aku bisa segera melanjutkan kuliah? Batinnya. Pokoknya cara yang paling cepat untuk mengumpulkan biaya itu, aku harus kerja keluar negeri seperti Mbak Rahmi. Belum genap dua tahun dia bekerja di Jepang, sudah banyak uang yang dikirimkannya ke kampong. Untuk bangun rumah, biaya sekolah adik-adik dan semua keluarganya. Dan tinah tertidur di kamarnya dengan memeluk mimpi-mimpinya untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya.
Hamdani sampai juga di tempat kontrakannya dengan tubuh hampir basah kuyup semuanya. Kamarnya nampak terbuka. Barang-barang yang ada di dalam kamarnya nampak tertata rapi. Air memang masuk sampai ke halaman tempat kontrakannya, tetapi untungnya tidak sampai menggenangi kamarnya. Hamdani bergegas masuk ke kamarnya, dan mendapati Tinah duduk diam di kursi.
“Ada apa, Tin?” tanya Hamdai cemas melihat rtaut muka adiknya yang nampak murung.
“Ibu sakit, Mas. Tinah butuh biaya untuk memeriksakan Ibu ke dokter. Uang yang kemarin sudah habis untuk nebus obat,” jawab Tinah lirih.
Hamdani terdiam. Sungguh, saat ini dia tidak pegang uang sedikitpun.
“Tapi aku belum gajian. Bagaimana kalau besok. Aku harus bon dulu di bengkel,” jawab Hamdani.
“Berarti gaji Mas bulan depan harus dipotong? Lalu bagaimana Mas mau bayar uang kontrakan. Belum lagi untuk biaya makan dan lain-lain?” tanya Tinah ragu.
“Sudahlah. Kamu tidak usah memikirkan hal itu. Aku punya banyak teman di sini. Nanti aku bisa pinjam ke teman-teman,” hibur Hamdani.
“Tapi, Mas…..,” Tinah masih ragu.
“Yang penting kesehatan Ibu, Tin. Oh ya, malam ini kamu nginep di sini, to? Terus siapa yang jaga Ibu?”
“Tadi aku sudah pesen sama Narti supaya menjaga Ibu,” jawab Tinah.
"Ya sudah. Nanti kamu tidur di kontrakannya Mbak Darti aja. Kebetulan Mas Bismo lagi tugas keluar kota," kata Hamdani sambil masuk ke kamar mandi.
"Itu ada air hangat, Mas. Tadi aku sudah manasin air buat mandi." Rupanya Tinah sudah menyiapkan air hangat untuk kakaknya. Setelah selesai mandi, keduanya menyantap hidangan ala kadarnya berupa mie instant dan nasi putih serta teh panas yang dimasak Tinah ketika Hamdani tengah mandi tadi.
*********
"Sudah mau bon lagi? Yang kemarin aja kamu belum lunas. Bisa-bisa nanti kamu tidak terima gaji ha?" kata Koh Halim ketika Hamdani mengutarakan niatnya untuk meminjam uang kepada bosnya.
Laki-laki gendut bermata sipit itu meski sedikit cerewet tetapi sebetulnya hatinya baik. Apalagi dia tahu kehidupan Hamdani yang serba kekurangan. Dan Hamdani memang termasuk karyawan yang rajin dan pintar. Untuk itulah, Koh Halim berniat untuk menaikkan jabatannya menjadi kepala montir di bengkel tempatnya.
"Ibu saya sakit, Koh. Adik saya datang dan dia butuh uang," jawab Hamdani pelan.
"Kamu butuh berapa duit, ha?"
"Dua ratus ribu, Koh. Itu dipotong untuk gaji saya yang bulan depan saja."
"Haiya, sudah kamu pakai aja. Sekalian ini bantuan dari aku untuk Ibumu. Jangan khawatir, gajimu bulan depan tidak akan aku potong. Tapi kalau urusan kamu sudah beres, kamu secepatnya masuk kerja, ya?"
"Terima kasih, Koh. Saya secepatnya akan masuk kerja kalau urusan Ibu saya sudah selesai," kata Hamdani sambil mengambil uang yang ada di meja di depannya.
"Hamdani, kamu orang baik dan berbakti kepada Ibu kamu. Itu duit aku berikan untuk berobat Ibu kamu, jadi kamu tidak usah mengembalikan. Sudah, sekarang kamu pulang dan segera bawa Ibu kamu ke dokter dan besok kamu harus segera kerja lagi. Pekerjaan masih banyak, ha,"
"Iya, Koh. Terima kasih. Saya pulang dulu." Bergegas Hamdani keluar ruangan dan menghampiri adiknya yang menunggu di luar.
"Eh, Hamdani. Adik kau cantik juga. Bolehlah kiranya aku jadi adik iparmu, kawan, biar nanti aku ajak adik kau keliling Danau Toba untuk berbulan madu," canda Lamhot, pemuda asal Medan yang memang sudah akrab dengan Hamdani.
"Halah, mau pulang pakai apa kau ke Medan, Lai? Bayar dululah utang-utangmu itu, baru kamu melamar adikku. Hahaha…," jawab Hamdani disambut tertawa teman-temannya.
Dan perjalanan pulang sungguh terasa lambat bagi Hamdani. Entah kenapa dia ingin secepatnya sampai di rumah dan memeluk tubuh ringkih Ibunya yang saat ini pasti sedang terbaring lemah di amben yang sudah lapuk dan reyot. Gurat-gurat ketuaan pasti semakin banyak menghias wajah lembut itu. Apalagi setelah kepergian ayahnya dua tahun lalu. Wajah Ibunya nampak semakin menua.
Tetapi Ibunya memang perempuan yang tegar. Belum pernah sekalipun Hamdani mendengar Ibunya mengeluh. Kalau Hamdani dan Tinah melakukan kesalahan, pastilah dengan lembut Ibunya akan selalu memberikan nasehat-nasehat yang bijak yang begitu menentramkan hatinya. Hamdani belum pernah menemukan perempuan yang sekuat dan selembut Ibunya.
Kalaulah ada sedikit kemiripan, mungkin Rahmi lah perempuan itu. Rahmi, gadis lembut yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Kelembutan sikap dan hatinya sungguh seperti oase di tengah padang pasir yang kerontang. Hamdani merasa beruntung mendapatkan gadis selembut itu, meski memang kehidupan Rahmi juga hampir sama dengan kehidupan dirinya.
Rahmi dan adiknya ditinggal pergi oleh ayahnya untuk selama-lamanya ketika dia berumur lima tahun, dan adiknya yang saat itu berumur 13 bulan. Ibunya dengan susah payah membesarkannya sendirian. Untuk membalas kebaikan Ibunya yang telah membiayainya sampai sebesar ini, maka Rahmi memutuskan untuk bekerja sbagai TKI ke Saudi Arabia. Beruntung, ketulusan cinta mereka masih tetap terjaga sampai saat ini meski jarak memisahkan mereka berdua.
"Ongkosnya, Mas," tegur sang kernet membuyarkan lamunan Hamdani.
Hamdani mengulurkan lembaran uang sepuluh ribu kepada sang kernet.
"Bagaimana kondisi Ibu kemarin, Tin?" Tanya Hamdani kepada adiknya yang duduk di sampingnya. Perasaannya mendadak tidak tenang.
"Waktu kemarin aku tinggal baik-baik saja kok, Mas. Ibu sudah bisa berjalan-jalan ke sekitar rumah. Cuma kadang batuknya agak mengganggu. Kenapa, to?" Tinah ikut-ikutan resah.
"Ndak tahu, ya. Cuma perasaanku saja yang tidak enak. Kamu sudah suruh Narti nemani Ibu, to?"
"Iya, Mas."
"Ya sudah. Moga-moga Ibu tidak apa-apa. Jadi nanti sore aku sudah bisa kembali ke kota dan besok sudah bisa masuk kerja lagi," kata Hamdani.
"Lho, Mas Hamdani ndak tidur di rumah, to? Ibu kangen lho, Mas," rengek Tinah
"Kalau Ibu sudah sehat aku nanti balik lagi ke bengkel. Kan ndak enak sama Koh Halim yang sudah ngasih duit ini ke kita. Ini kan dikasih, bukan minjem," jawab Hamdani.
"Koh Halim baik yo, Mas?" puji Tinah.
"Iya, memang baik. Bulan depan aku kan mau diangkat jadi kepala montir. Dan gajiku juga akan ditambah," kata Hamdani sumringah.
"Wah, kalau begitu aku bisa melanjutkan kuliah to, Mas?" Tinah ikut senang.
"Iya. Nanti gajiku sebagian bisa ditabung untuk bantu-bantu kamu melanjutkan sekolah. Tapi kamu belajarnya juga harus bener-bener."
Dan perjalanan itupun mengantarkan Hamdani sampai ke ujung kampungnya. Keduanya lega dan senang telah sampai ke kampungnya dengan selamat setelah hamper tiga jam duduk di atas kendaraan.
Jalanan kampung terlihat becek. Rupanya semalam hujan turun mengguyur kampung tersebut. Terlihat kubangan-kubangan air keruh menggenangi hamper sepanjang perjalanan ke rumahnya.
Perasaan Hamdani semakin tidak enak. Jalanan ke rumahnya terasa sunyi dan lengang. Hanya dahan-dahan akasia yang kadang berkeriyut dihembus angina sore yang lembab. Dan angina pun seakan melagukan sebuah kepedihan. Ada apa ini? hati Hamdani bertanya-tanya. Biasanya, pada jam-jam seperti ini, ibu-ibu kampung duduk-duduk di depan rumah masing-masing sambil bercengkrama dengan tetangga.
Bergegas keduanya mempercepat langkah. Tinggal melewati beberapa rumah dan satu belokan lagi rumah mereka akan terlihat. Tetapi alangkah terkejutnya mereka berdua ketika memasuki halaman rumahnya. Banyak orang berkumpul melingkar di ruangan tengah rumahnya. Sementara di tengah-tengah lingkaran itu nampak Ibunya terbaring diam berselimut kain lusuh, kain yang dibelikan Hamdani lebaran tahun lalu. Wajahnya terlihat tenang dan damai.
"Nak Hamdani, Dik Tinah. Ikhlaskan kepergian Ibu ya? Ibu Nak Hamdani telah pergi setengah jam yang lalu," kata pak Kyai sambil memapah tubuh Hamdani yang tiba-tiba terkulai kuyu. Hamdani merasakan bumi tempatnya berpijak berputar sangat cepat dan gelap. Sayup-sayup telinganya masih menangkap jerit histeris yang keluar dari mulut Tinah, sebelum semuanya betul-betul menjadi gelap. Sunyi. 




1 komentar: Leave Your Comments

  1. Ini baru cerita yang menarik dan ada kata2 yg puitis aku suka,
    Cuma ada catatan "paragraph per I kala boleh saya sarankan : kalimat hujan "telah" semakin deras bisa di didelete juga kalimat "hujan semakin deras" mungkin ga perlu diulang. "ngekijo" apa ya? paragraph ke 5 ada koreksi ketikan "terendm" paragraph 11 "lagipula" (nyambung), ada kata "kampong" dan "angina" ini sengaja.

    BalasHapus