Senja menjelang
ditingkahi rinai gerimis yang membuat dingin terasa semakin menggigit. Semenjak
pagi hujan memang turun tiada henti. Seakan tidak ingin memberi kesempatan
matahari untuk sekedar menampakkan diri walau hanya sejenak. Hamdani dengan
setengah tergesa menerobos rinai gerimis yang kini telah semakin deras.
Sepertinya hujan akan turun semakin deras malam ini. Itu terlihat dari gumpalan
awan hitam yang semakin tebal menggantung di langit.
Itu pertanda,
Hamdani harus siap-siap terjaga sepanjang malam. Karena apabila hujan
benar-benar turun dengan deras, tempat kostnya pasti akan tergenang air.
Jangankan hujan sampai seharian seperti ini, hujan yang hanya turun dua jam
saja dengan terpaksa dia harus numpang tidur di tempat kost Rahmat. Itu terjadi
dua hari yang lalu.
Hamdani memang
bekerja di kota ini dan terpaksa kost karena tempat kerjanya, yakni sebuah
bengkel mobil, kadang mewajibkannya untuk lembur sampai malam. Untuk ngelajo jelas tidak mungkin karena jarak
antara rumah dan tempatnya bekerja sangat jauh. Lagipula Hamdani belum
mempunyai kendaraan sendiri. Oleh karenanya, daripada tenaganya dihabiskan
dalam perjalanan, maka dia lebih memilih mengontrak sebuah kamar di dekat
tempatnya bekerja dan pulang seminggu sekali.
Kadang Hamdani
merasa heran juga dengan kota ini. Sepertinya kota tempatnya tinggal kini juga
tidak mau ketinggalan untuk ikut-ikutan panen banjir seperti kota-kota besar
lainnya. Padahal secara geografis, tempatnya tinggal sekarang bukanlah tempat
ideal untuk dilalui banjir.
Dengan sedikit
berlari dan tak lupa melindungi kepalanya dengan jaket, Hamdani menembus
gerimis. Badannya mulai basah. Celana panjangnya digulung sebatas lutut agar
tidak terendam air yang mulai beranjak naik. Tetapi percuma saja. Karena air
ternyata dengan cepat telah luber ke jalan.
Wah, gawat nih,
pikirnya. Pasti kamarnya kini telah terendm air. Untungnya saja tidak ada
barang-barang berharga yang ditinggalkannya di kamar kontrakannya. Hamdani
tersenyum getir. Barang berharga apa, gumamnya. Hampir satu tahun dia bekerja,
dan uang gajiannya selalu diberikan kepada Ibu dan adiknya, Tinah, yang tinggal
di kampung. Ayah mereka telah tiada beberapa tahun yang lalu. Ibu mereka hanya
bekerja serabutan dan mengandalkan pendapatan dari kebun mereka yang tidak
terlalu luas.
Beruntunglah Tinah
yang selalu menjadi juara umum di sekolah, sehingga selalu mendapatkan beasiswa
tiap tahunnya. Sehingga uang pembayaran sekolah dapat teratasi. Dan hasil kebun
mereka bisa digunakan untuk mencukkupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi rupanya
persoalan tidak selesai sampai di situ. Karena setelah lulus sekolah nanti,
Tinah ingin melanjutkan kuliah karena ingin sekali menjadi guru.
“Apa tidak
sebaiknya kamu berhenti dulu barang setahun dua tahun untuk bekerja
mengumpulkan uang dulu. Baru setelah itu kamu bisa memikirkan keinginan kamu
untuk melanjutkan sekolah,” saran Hamdani kepada adik satu-satunya itu.
“Ya, aku pengennya
begitu, Mas, kalau memang tidak ada biaya untuk langsung melanjutkan kuliah.
Tetapi yang jelas aku harus melanjutkan sekolah. Aku tidak ingin kepinteranku
ini hanya terkubur sampai di sini hanya gara-gara kita miskin. Mosok selamanya
kita harus hidup miskin,” jawab Tinah.
“Iya, aku ngerti,
Tin. Oleh karenanya kamu harus banyak-bnanyak berdo’a supaya kamu diberi
kemudahan untuk menggapai keinginan kamu itu,” nasehat Hamdani bijak.
“Eh Mas, bagaimana
kalau setelah lulus SMA nanti aku kerja ke luar negeri. Dua tahun kan aku bisa
mengumpulkan uang banyak agar aku bisa membantu Ibu. Dan sisanya aku kumpulkan
untuk biaya kuliah,” sebuah ide tiba-tiba saja melintas di kepala Tinah.
“Hush, ojo ngawur
kamu. Nanti siapa yang jaga Ibu. Lagipula kerja keluar negeri kan butuh biaya
banyak. Duwit dari mana?” Hamdani menolak saran adiknya.
“Kan bisa pinjam ke
Mbak Rahmi. Sebentar lagi Mbak Rahmi kan pulang to. Dia kan sudah dua tahu di
Jepang. Nanti setelah aku pulang, duwit pinjaman itu aku kembalikan semua. Mbak
Rahmi pastinya tidak keberatan meminjamkan duwit ke calon adik iparnya ini,”
goda Tinah.
“Justru aku yang
nggak enak sama keluarga mereka, Tin. Belum apa-apa kok sudah pinjam duwit.
Wis, kamu kerja di sini saja nanti tak Bantu carikan kerja. Bengkel Koh halim
kayaknya butuh orang untuk jaga toko. Nanti kamu tak usulke kerja di tokonya,” putus
Hamdani.
Dan Tinah masuk ke
kamarnya dengan cemberut. Kerja di toko, apalagi di kota ini pasti gajinya
kecil. Butuh berapa lama untuk mengumpulkan uang agar aku bisa segera
melanjutkan kuliah? Batinnya. Pokoknya cara yang paling cepat untuk
mengumpulkan biaya itu, aku harus kerja keluar negeri seperti Mbak Rahmi. Belum
genap dua tahun dia bekerja di Jepang, sudah banyak uang yang dikirimkannya ke
kampong. Untuk bangun rumah, biaya sekolah adik-adik dan semua keluarganya. Dan
tinah tertidur di kamarnya dengan memeluk mimpi-mimpinya untuk melanjutkan
sekolah setinggi-tingginya.
Hamdani sampai juga
di tempat kontrakannya dengan tubuh hampir basah kuyup semuanya. Kamarnya
nampak terbuka. Barang-barang yang ada di dalam kamarnya nampak tertata rapi.
Air memang masuk sampai ke halaman tempat kontrakannya, tetapi untungnya tidak
sampai menggenangi kamarnya. Hamdani bergegas masuk ke kamarnya, dan mendapati
Tinah duduk diam di kursi.
“Ada apa, Tin?”
tanya Hamdai cemas melihat rtaut muka adiknya yang nampak murung.
“Ibu sakit, Mas.
Tinah butuh biaya untuk memeriksakan Ibu ke dokter. Uang yang kemarin sudah
habis untuk nebus obat,” jawab Tinah lirih.
Hamdani terdiam.
Sungguh, saat ini dia tidak pegang uang sedikitpun.
“Tapi aku belum
gajian. Bagaimana kalau besok. Aku harus bon dulu di bengkel,” jawab Hamdani.
“Berarti gaji Mas
bulan depan harus dipotong? Lalu bagaimana Mas mau bayar uang kontrakan. Belum
lagi untuk biaya makan dan lain-lain?” tanya Tinah ragu.
“Sudahlah. Kamu
tidak usah memikirkan hal itu. Aku punya banyak teman di sini. Nanti aku bisa
pinjam ke teman-teman,” hibur Hamdani.
“Tapi, Mas…..,”
Tinah masih ragu.
“Yang penting
kesehatan Ibu, Tin. Oh ya, malam ini kamu nginep di sini, to? Terus siapa yang
jaga Ibu?”
“Tadi aku sudah
pesen sama Narti supaya menjaga Ibu,” jawab Tinah.
"Ya sudah.
Nanti kamu tidur di kontrakannya Mbak Darti aja. Kebetulan Mas Bismo lagi tugas
keluar kota," kata Hamdani sambil masuk ke kamar mandi.
"Itu ada air
hangat, Mas. Tadi aku sudah manasin air buat mandi." Rupanya Tinah sudah
menyiapkan air hangat untuk kakaknya. Setelah selesai mandi, keduanya menyantap
hidangan ala kadarnya berupa mie instant dan nasi putih serta teh panas yang
dimasak Tinah ketika Hamdani tengah mandi tadi.
*********
"Sudah mau bon
lagi? Yang kemarin aja kamu belum lunas. Bisa-bisa nanti kamu tidak terima gaji
ha?" kata Koh Halim ketika Hamdani mengutarakan niatnya untuk meminjam
uang kepada bosnya.
Laki-laki gendut
bermata sipit itu meski sedikit cerewet tetapi sebetulnya hatinya baik. Apalagi
dia tahu kehidupan Hamdani yang serba kekurangan. Dan Hamdani memang termasuk
karyawan yang rajin dan pintar. Untuk itulah, Koh Halim berniat untuk menaikkan
jabatannya menjadi kepala montir di bengkel tempatnya.
"Ibu saya
sakit, Koh. Adik saya datang dan dia butuh uang," jawab Hamdani pelan.
"Kamu butuh
berapa duit, ha?"
"Dua ratus
ribu, Koh. Itu dipotong untuk gaji saya yang bulan depan saja."
"Haiya, sudah
kamu pakai aja. Sekalian ini bantuan dari aku untuk Ibumu. Jangan khawatir,
gajimu bulan depan tidak akan aku potong. Tapi kalau urusan kamu sudah beres,
kamu secepatnya masuk kerja, ya?"
"Terima kasih,
Koh. Saya secepatnya akan masuk kerja kalau urusan Ibu saya sudah
selesai," kata Hamdani sambil mengambil uang yang ada di meja di depannya.
"Hamdani, kamu
orang baik dan berbakti kepada Ibu kamu. Itu duit aku berikan untuk berobat Ibu
kamu, jadi kamu tidak usah mengembalikan. Sudah, sekarang kamu pulang dan
segera bawa Ibu kamu ke dokter dan besok kamu harus segera kerja lagi.
Pekerjaan masih banyak, ha,"
"Iya, Koh.
Terima kasih. Saya pulang dulu." Bergegas Hamdani keluar ruangan dan
menghampiri adiknya yang menunggu di luar.
"Eh, Hamdani.
Adik kau cantik juga. Bolehlah kiranya aku jadi adik iparmu, kawan, biar nanti
aku ajak adik kau keliling Danau Toba untuk berbulan madu," canda Lamhot,
pemuda asal Medan yang memang sudah akrab dengan Hamdani.
"Halah, mau
pulang pakai apa kau ke Medan, Lai? Bayar dululah utang-utangmu itu, baru kamu
melamar adikku. Hahaha…," jawab Hamdani disambut tertawa teman-temannya.
Dan perjalanan
pulang sungguh terasa lambat bagi Hamdani. Entah kenapa dia ingin secepatnya
sampai di rumah dan memeluk tubuh ringkih Ibunya yang saat ini pasti sedang
terbaring lemah di amben yang sudah lapuk dan reyot. Gurat-gurat ketuaan pasti
semakin banyak menghias wajah lembut itu. Apalagi setelah kepergian ayahnya dua
tahun lalu. Wajah Ibunya nampak semakin menua.
Tetapi Ibunya
memang perempuan yang tegar. Belum pernah sekalipun Hamdani mendengar Ibunya
mengeluh. Kalau Hamdani dan Tinah melakukan kesalahan, pastilah dengan lembut
Ibunya akan selalu memberikan nasehat-nasehat yang bijak yang begitu
menentramkan hatinya. Hamdani belum pernah menemukan perempuan yang sekuat dan
selembut Ibunya.
Kalaulah ada
sedikit kemiripan, mungkin Rahmi lah perempuan itu. Rahmi, gadis lembut yang
tinggal tak jauh dari rumahnya. Kelembutan sikap dan hatinya sungguh seperti
oase di tengah padang pasir yang kerontang. Hamdani merasa beruntung
mendapatkan gadis selembut itu, meski memang kehidupan Rahmi juga hampir sama
dengan kehidupan dirinya.
Rahmi dan adiknya ditinggal
pergi oleh ayahnya untuk selama-lamanya ketika dia berumur lima tahun, dan
adiknya yang saat itu berumur 13 bulan. Ibunya dengan susah payah
membesarkannya sendirian. Untuk membalas kebaikan Ibunya yang telah
membiayainya sampai sebesar ini, maka Rahmi memutuskan untuk bekerja sbagai TKI
ke Saudi Arabia. Beruntung, ketulusan cinta mereka masih tetap terjaga sampai
saat ini meski jarak memisahkan mereka berdua.
"Ongkosnya,
Mas," tegur sang kernet membuyarkan lamunan Hamdani.
Hamdani mengulurkan
lembaran uang sepuluh ribu kepada sang kernet.
"Bagaimana
kondisi Ibu kemarin, Tin?" Tanya Hamdani kepada adiknya yang duduk di
sampingnya. Perasaannya mendadak tidak tenang.
"Waktu kemarin
aku tinggal baik-baik saja kok, Mas. Ibu sudah bisa berjalan-jalan ke sekitar
rumah. Cuma kadang batuknya agak mengganggu. Kenapa, to?" Tinah
ikut-ikutan resah.
"Ndak tahu,
ya. Cuma perasaanku saja yang tidak enak. Kamu sudah suruh Narti nemani Ibu,
to?"
"Iya,
Mas."
"Ya sudah.
Moga-moga Ibu tidak apa-apa. Jadi nanti sore aku sudah bisa kembali ke kota dan
besok sudah bisa masuk kerja lagi," kata Hamdani.
"Lho, Mas
Hamdani ndak tidur di rumah, to? Ibu kangen lho, Mas," rengek Tinah
"Kalau Ibu
sudah sehat aku nanti balik lagi ke bengkel. Kan ndak enak sama Koh Halim yang
sudah ngasih duit ini ke kita. Ini kan dikasih, bukan minjem," jawab
Hamdani.
"Koh Halim
baik yo, Mas?" puji Tinah.
"Iya, memang
baik. Bulan depan aku kan mau diangkat jadi kepala montir. Dan gajiku juga akan
ditambah," kata Hamdani sumringah.
"Wah, kalau
begitu aku bisa melanjutkan kuliah to, Mas?" Tinah ikut senang.
"Iya. Nanti
gajiku sebagian bisa ditabung untuk bantu-bantu kamu melanjutkan sekolah. Tapi
kamu belajarnya juga harus bener-bener."
Dan perjalanan
itupun mengantarkan Hamdani sampai ke ujung kampungnya. Keduanya lega dan
senang telah sampai ke kampungnya dengan selamat setelah hamper tiga jam duduk
di atas kendaraan.
Jalanan kampung
terlihat becek. Rupanya semalam hujan turun mengguyur kampung tersebut.
Terlihat kubangan-kubangan air keruh menggenangi hamper sepanjang perjalanan ke
rumahnya.
Perasaan Hamdani
semakin tidak enak. Jalanan ke rumahnya terasa sunyi dan lengang. Hanya
dahan-dahan akasia yang kadang berkeriyut dihembus angina sore yang lembab. Dan
angina pun seakan melagukan sebuah kepedihan. Ada apa ini? hati Hamdani
bertanya-tanya. Biasanya, pada jam-jam seperti ini, ibu-ibu kampung duduk-duduk
di depan rumah masing-masing sambil bercengkrama dengan tetangga.
Bergegas keduanya
mempercepat langkah. Tinggal melewati beberapa rumah dan satu belokan lagi
rumah mereka akan terlihat. Tetapi alangkah terkejutnya mereka berdua ketika
memasuki halaman rumahnya. Banyak orang berkumpul melingkar di ruangan tengah
rumahnya. Sementara di tengah-tengah lingkaran itu nampak Ibunya terbaring diam
berselimut kain lusuh, kain yang dibelikan Hamdani lebaran tahun lalu. Wajahnya
terlihat tenang dan damai.
"Nak Hamdani,
Dik Tinah. Ikhlaskan kepergian Ibu ya? Ibu Nak Hamdani telah pergi setengah jam
yang lalu," kata pak Kyai sambil memapah tubuh Hamdani yang tiba-tiba
terkulai kuyu. Hamdani merasakan bumi tempatnya berpijak berputar sangat cepat
dan gelap. Sayup-sayup telinganya masih menangkap jerit histeris yang keluar
dari mulut Tinah, sebelum semuanya betul-betul menjadi gelap. Sunyi.
Ini baru cerita yang menarik dan ada kata2 yg puitis aku suka,
BalasHapusCuma ada catatan "paragraph per I kala boleh saya sarankan : kalimat hujan "telah" semakin deras bisa di didelete juga kalimat "hujan semakin deras" mungkin ga perlu diulang. "ngekijo" apa ya? paragraph ke 5 ada koreksi ketikan "terendm" paragraph 11 "lagipula" (nyambung), ada kata "kampong" dan "angina" ini sengaja.