Empat
ekor ular berwarna hitam itu terus mendesis dan meliuk-liuk di lantai rumah.
Arini dan Marni mencoba menghalau binatang tersebut dengan gagang sapu yang
dipukul-pukulkan ke arah ular tersebut. Tetapi seperti tidak takut dengan ancaman
tersebut, ular-ular itu terus mendekat dan mencoba untuk mematuk kaki kedua
gadis tersebut. Arini dan kakaknya terus menjerit-jerit ketakutan sambil
mengibaskan gagang sapunya ke segala arah.
Kini
kedua gadis tersebut naik ke atas meja. Marni mencoba memukul salah satu
binatang tersebut. Bukkk!! Tepat mengenai kepalanya. Sang ular menggelepar
sejenak sebelum akhirnya mati dengan kepala remuk. Mengetahui salah satu
temannya mati, ular yang lain menjadi marah. Kepalanya mendongak ke atas dengan
posisi siap untuk menyerang.
Mendadak
pintu kamar terbuka. Ayah kedua gadis itu muncul dari balik pintu.
"Marni,
ada apa?" tanya laki-laki paruh baya tersebut.
"Ular,
Pak! Awas, bapak jangan bergerak!" jerit Marni mengingatkan.
"Ular?
Mana ularnya?" tanya ayahnya sambil berjalan ke arah kedua gadis itu.
"Bapak,
awassss.....!!" jerit Arini cemas ketika melihat salah seekor ular
tiba-tiba saja menjalar cepat ke arah bapaknya.
Belum
sempat laki-laki tua itu beranjak pergi, tiba-tiba salah seekor ular telah
berada didepan kakinya. Mulutnya terbuka lebar. Dan nampak dua buah taring
menyeringai ganas. Dengan serangan yang tak terduga ular tersebut telah mematuk
kaki kanannya. Dua buah taring yang tajam itu terhujam ngilu di kaki orang tua
tersebut.
Terkejut
dengan serangan yang tiba-tiba, laki-laki itu hanya diam mematung ketika bisa
yang sangat beracun mengalir masuk ke tubuhnya melalui aliran darah. Dalam
sekejap tubuh tua itu gemetar hingga akhirnya limbung dan jatuh berdebam ke
lantai dengan raut muka yang menyiratkan kesakitan yang sangat.
"Bapaaaaakkkkk...!!!"
jerit Arini memecah kesunyian malam.
Keringat
dingin mengalir deras membasahi sekujur tubuhnya. Dengan wajah pasi dan nafas
yang memburu, Arini terjaga dari tidurnya. Mimpi yang baru saja dialaminya
sungguh menakutkan dan seakan nyata tergelar di depannya.
Arini
segera menenggak habis segelas air dingin yang ada di samping tempat tidurnya.
Jam 02:05 dini hari. Mimpi tersebut terasa sangat mencekam batinnya. Segera
saja Arini pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu. Gadis kelas tiga SMA
itu ingin menjalankan shalat Tahajud agar batinnya kembali tenang. Ya Allah,
semoga ini hanya mimpi biasa bukan isyarat apapun, doa nya sambil terus
membasahi wajahnya dengan air dingin.
Hari
itu ujian terakhir di sekolahnya.
Arini
dan Ratri, sahabat dekatnya, pulang sekolah menyusuri jalanan kampung yang
teduh dan sejuk. Di kanan kiri jalan, pohon-pohon akasia tumbuh merimbun.
"Rin,
setelah lulus nanti kamu mau melanjutkan kuliah?" tanya Ratri sambil
berjalan.
"Aku
inginnya begitu, kamu bagaimana?" Arini balik bertanya.
"Aku
mungkin akan bekerja ikut pamanku di kota. Adik-adikku masih banyak dan mereka
butuh biaya untuk sekolah. Aku harus bantu emak dan bapak untuk mencari
biaya," jawab Ratri.
Kehidupan
Ratri memang tidak seberuntung dirinya. Kedua orang tuanya adalah seorang buruh
tani di tempat orang. Sedangkan tiga orang adiknya masih kecil-kecil.
"Kapan
kamu berangkat ke kota? Berarti kita nanti tidak bisa bersama-sama lagi. Aku
akan kesepian kehilangan kamu," kata Arini sedih.
"Setelah
terima ijasah nanti aku berangkat. Aku juga pasti akan sedih kehilangan teman
sebaik kamu. Tapi suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi," kata
Ratri sambil menggenggam tangan sahabatnya. Dan kedua sahabat itu berjalan
pelan menyusuri teduhnya siang di bawah pohon-pohon akasia yang bergoyang
ditiup angin musim kering.
*******
Seminggu
setelah pengumuman hasil ujian.
"Arini,
kamu sudah kenal dengan Rengga, anaknya Pak Burhan, bukan?" tanya ayahnya
ketika Arini baru saja pulang dari sekolahnya.
"Rengga
yang tinggal di kota itu, Pak?"
"Betul.
Tadi dia ke sini ingin menemui kamu," kata ayahnya.
"Ada
perlu apa, Pak?" tanya Arini heran.
Pak
Burhan adalah sahabat ayahnya sejak dulu. Rengga, anaknya yang tinggal di kota
memang sering pulang ke kampung ini. Karena kedua orang tua Rengga memang
tinggal kampung ini. Sedangkan Rengga diasuh kakek dan neneknya di kota.
"Duduklah,
biar bapak ceritakan. Begini, bapak dan Pak Burhan sudah dari kecil bersahabat
baik. Beliau juga yang membantu bapak ketika usaha kita hampir bangkrut. Bapak
banyak berhutang budi kepada beliau. Agar persahabatan kami ini tetap terjalin
baik, maka kami sepakat untuk menjodohkan kamu dengan nak Rengga. Dan tadi
keluarga mereka telah melamarmu," tegas suara ayahnya.
"Apa?
Melamar? Arini tidak mau, Pak. Arini masih ingin melanjutkan sekolah,"
bantah Arini cepat.
"Kamu
mau bikin malu keluarga, hah? Pembicaraan kami sudah sepakat dan sudah
menentukan hari untuk tanggal pernikahanmu. Minggu depan adalah waktu untuk
kamu menjadi istri Rengga, dan kamu akan dibawa ke kota untuk menempati rumah
yang telah dipersiapkan untuk kalian berdua," ayahnya berkata lebih keras.
"Tidak,
Pak. Arini menolak pernikahan ini. Arini akan melanjutkan sekolah,"
jawabnya mulai terisak.
"Buat
apa kamu sekolah tinggi-tinggi. Pada akhirnya toh kamu juga akan tinggal di
rumah mengurus anak dan suamimu. Dengan Rengga kamu akan hidup enak, kamu bisa
mendapatkan apapun yang kamu mau. Mulai sekarang kamu tidak boleh keluar rumah
tanpa ijin. Bapak akan menyuruh kakakmu untuk mengawasi kamu," berkata
ayahnya sambil menatap tajam ke arah Arini.
Arini
benar-benar menangis kini. Dengan gontai gadis itu masuk ke kamarnya. Berita
yang baru saja diterimanya bukanlah kabar yang ingin didengarnya. Menikah?
Dengan Rengga, yang bahkan Arini tidak mengenal siapa itu Rengga?
Di
kamarnya, Arini menumpahkan kegalauan hatinya dengan tangis. Arini teringat
ibunya yang telah pergi ke alam lain. Seandainya ibu masih ada, mungkin sifat
keras ayahnya bisa diredam. Namun ibunya telah tiada bertahun silam, saat Arini
belum begitu mengerti tentang arti sebuah kehilangan. Dan sejak itu pula
ayahnya menjadi orang tua tunggal bagi Arini dan kakak perempuannya.
Rasa
cinta ayahnya memang sangat besar. Dalam membesarkan kedua putrinya, lelaki itu
tidak mencari ibu baru buat mereka. Semua dilakukannya sendiri. Bahkan dalam
kehidupan berumah tangga pun, ayahnya yang menentukan. Menurut ayahnya, itu
semua dilakukan agar hidup kedua putrinya tidak kekurangan. Tetapi untuk
sekarang betapa Arini merasakan semua itu adalah benteng kokoh yang justru
memenjarakannya. Sesak dan menyakitkan.
Tetapi
penolakan Arini tak berpengaruh banyak pada keputusan ayahnya. Disaksikan
sedikit kerabat dan sanak saudara, pernikahan sederhana itu berlangsung.
Selanjutnya Arini mengikuti Rengga, yang kini telah menjadi suaminya, ke kota.
Dan babak baru dalam kehidupannya dimulai meski dengan sebuah keterpaksaan.
"Kamu
tidak usah memikirkan bapak. Ada Marni yang akan menjaga bapakmu ini. Semua ini
bapak lakukan untuk kebhagaiaanmu,
nduk," kata ayahnya sambil mengelus rambut Arini ketika siang itu Arini
akan berangkat ke kota bersama suami barunya.
Dengan
sisa tangis kepedihan karena harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya,
perjalanan Arini bersama suaminya seperti sebuah langkah untuk menyongsong
harapan yang tak pasti.
"Inilah
rumah kita, Arini. Sekarang kamu sudah menjadi bagian dari rumah ini. kamu
bebas melakukan apa saja di sini."
Itu
kata Rengga ketika mereka telah tiba di kota. Di rumah mereka. Rumah yang besar
dan megah.
Arini
hanya diam mengawasi setiap sudut rumah barunya. Arini belum tahu, apakah dia
harus gembira atau sedih dengan segala kemewahan yang kini ada di hadapannya.
Bagian dari perjalanan hidupnya. Yang jelas Arini merasakan ada sebagian ruang
hatinya yang terasa kosong. Hampa. Entah kenapa.
Enam
bulan sudah Arini menjalani kehidupannya sebagai istri Rengga. Pengusaha besar
dan kaya dengan beberapa perusahaan yang tersebar di berbagai tempat. Hingga
suatu ketika, saat Arini berkesempatan mendampingi suaminya ke salah satu
pabrik miliknya, tanpa diduga bertemu dengan Ratri, sahabatnya dulu.
"Ratri.
Kamu Ratri, kan?" tanya Arini hampir tak percaya.
"Arini?
Aku tidak mengira kita akan bertemu di sini. Ternyata sekarang kamu telah
menjadi istri pengusaha kaya raya itu. Pasti kamu hidup enak sekarang,"
jawab Ratri tanpa mampu menyembunyikan rasa keterkejutannya.
"Enam
bulan aku di sini. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kita akan bertemu
lagi. Kamu tidak pernah memberi kabar," kata Arini sambil menggenggam tangan
sahabatnya itu.
"Maaf,
Ar. Aku sibuk sekali di sini. Kerja lembur terus agar bisa mengirimkan uang ke
kampung. Biaya sekolah adik-adikku semakin lama semakin banyak," jawab
Ratri.
"Kalau
libur dan ada waktu, kamu main ke rumahku, ya?" ajak Arini.
"Ada
apa, Arini? Ada masalah?" tiba-tiba Rengga sudah berdiri di belakang
Arini.
"Ini
Mas, aku ketemu sahabatku dari kampung. Ratri namanya. Aku tidak mengira dia
bekerja di sini," kata Arini.
"Ya
sudah, kamu bekerja lagi. Besok semua harus sudah selesai karena barangnya akan
segera dikirim. Arini, kita keluar sekarang, " kata Rengga sambil
menggamit lengan Arini keluar dari tempat itu. Arini tak suka dengan perlakuan
suaminya tersebut, tetapi demi menjaga sikap terpaksa Arini meninggalkan
sahabatnya yang kemudian telah sibuk bekerja kembali.
Kekesalan
hatinya dia tumpahkan ketika mereka sampai di rumah.
"Mas,
kenapa sikap Mas seperti itu. Dia sahabatku dari kecil, Mas bahkan sudah
seperti saudara bagiku. Tidak seharusnya Mas bersikap seperti itu kepada Ratri,
apalagi dia adalah karyawan di perusahaan Mas," kata Arini kecewa.
"Justru
itu, Arini. Dia kan buruh. Bekerja dan mendapat upah. Sudah itu saja. Apa
lagi?" hardik Rengga.
"Tetapi
setidaknya, Mas dapat bersikap ramah padanya. Besok aku akan ke pabrik dan minta
maaf sama dia," kata Arini.
"Sudah,
sudah! Cuma masalah seperti itu saja kamu sudah ribut. Kamu tidak usah ke sana.
Mulai besok aku akan keluar kota, dan kamu jangan sekali-kali pergi tanpa
memberitahu terlebih dahulu. Aku akan suruh Pak Roby mengawasi kamu. Awas kalau
kamu berbuat macam-macam," ancamnya.
Itulah
Rengga. Suaminya. Sikap dan kata-katanya cenderung kasar dan mau menang
sendiri. Selama hampir setengah tahun Arini menjadi istrinya, tak pernah ada
kedamaian di rumah ini. Namun Arini mencoba menguatkan hatinya demi ayahnya.
Kalau tidak mengingat nasehat ayahnya, mungkin Arini sudah kelauar dari rumah
besar ini.
Dan
kini Arini hanya diam. Sudah hampir habis air matanya mengingat betapa
sengsaranya dia tinggal di rumah ini. Dan dua hari kemudian Rengga memang pergi
keluar kota. Setiap pergi keluar kota Arini belum pernah sekalipun diajaknya
serta. Tapi justru Arini merasa lega karena meski sebentar bisa terbebas dari
kungkungan peraturan-peraturan yang dibuat Rengga.
Hingga
seminggu setelah kepergian Rengga, di suatu malam yang berhujan.
Hujan
seakan tercurah begitu saja dari tingkap langit. Sesekali kilatan petir
terlihat di langit yang gelap kusam. Arini sedang duduk di ruang tengah sambil
membaca sebuah buku ketika bel rumah berdentang memecah malam diiringi bunyi
guruh. Dengan malas, Arini beranjak ke pintu depan. Terlihat Ratri berdiri di
luar pagar dengan pakaian yang basah kuyup. Payung yang dipakainya seakan tak
mampu melindungi badannya dari guyuran air hujan.
"Ratri,
ada apa?" tanyanya cemas.
"Maaf,
Arini aku mengganggu. Aku membawa kabar dari kampung. Bapakmu sakit keras,
kalau bisa kamu disuruh segera pulang. Mbak Marni sudah berusaha menghubungi
kamu tapi katanya tidak bisa," jelas Ratri di antara derai hujan yang
terus turun.
"Masuk
dulu, Rat. Kita bicara saja di dalam," ajak Arini.
"Aku
tidak bisa lama-lama di sini, Ar. Aku takut kalau nanti anak buah suamimu
melaporkan keberadaanku di rumahmu ini. Nanti aku bisa dikeluarkan dari
pekerjaanku. Kalau bisa kamu saja yang ke kontrakan ku. Ini alamatku,"
kata Ratri sambil menyerahkan secarik kertas.
"Iya,
Rat. Aku besok pasti ke tempatmu. Hati-hati di jalan."
Dan
Ratri segera bergegas pergi dari rumah besar itu. Arini segera masuk ke rumah.
Besok pagi-pagi sekali, sebelum anak buah suaminya tahu, dia harus segera
keluar dari rumah ini.
"Akhir-akhir
ini aku betul-betul tidak bisa kemana-mana, Rat. Aku selalu diawasi. Sepertinya
ada yang aneh dengan kelakuan suamiku. Kau tahu kenapa, Rat?" tanya Arini
ketika keesokan paginya sampai di tempat kontrakan Ratri.
"Memang
akhir-akhir ini ada sedikit masalah di pabrik. Banyak orang yang
membicarakannya tapi aku juga belum tahu kebenarannya. Katanya suami kamu ikut
terlibat dalam bisnis kayu illegal, dan saat ini menjadi incaran pihak
kepolisian. Tapi aku tidak tahu kebenarannya, yang jelas bapak kamu sekarang
sedang sakit, Ar. Keadaan kamu sendiri bagaimana?" kata Ratri.
"Entahlah,
Rat. Aku tak tahu bagaimana diriku sekarang. Aku bingung. Kehidupanku terasa
sangat menyakitkan, bahkan aku seperti menjadi tahanan di rumahku
sendiri," keluh Arini.
"Mungkin
ada baiknya kamu pulang sebentar ke kampung menengok bapak kamu sebelum suamimu
pulang. Kasihan beliau sudah tua, " saran Ratri.
Dan
dengan sedikit persiapan, saat itu juga Arini pulang ke kampung halamannya
untuk menemui ayahnya. Betapa Arini sangat rindu ingin segera bertemu dengan
orang tua itu. Arini juga rindu suasana kampung. Suara anak-anak mengaji di
mushola sebelah rumahnya ketika bulan sedang purnama. Ah, sebuah kenangan yang
menyenangkan.
Dan
di waktu senja yang sedikit basah karena gerimis, Arini telah memasuki pinggir
kampungnya. Bukit-bukit yang membiru tampak cantik melatar belakangi
kampungnya. Semuanya seakan memanggil dengan penuh kerinduan. Arini tersenyum
lega. Sebentar lagi aku akan berkumpul dengan orang-orang yang benar-benar
menyayangi aku, batinnya tersenyum bahagia.
Tinggal
satu tanjakan lagi ketika tiba-tiba dari arah depan mobil angkutan yang
ditumpanginya, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi. Sang sopir
terkejut, dan dengan reflek dia membanting setirnya ke kiri, ke arah jurang
curam yang menganga di sisi jalan. Tak ada waktu untuk menghela nafas ketika
akhirnya mobil itu menabrak sebuah batu besar di bibir jurang. Dan tanpa
terkendali mobil itu melayang jatuh di ketinggian tebing.
Arini
hanya dapay beristighfar menyebut Asma Allah ketika mobil itu melayang menuju
dasar jurang. Langit senja seakan ikut berputar. Sekeliling diam membisu seakan
ikut tercekam dengan kejadian itu. Nun samar-samar jauh di atas sana, di antara
batas langit yang tak terjamah, di antara ambang batas kesadarannya, Arini
melihat Ayah Ibunya tersenyum melambaikan tangan ke arahnya. Wajah mereka
begitu tenang dan damai. Dan Arini sedang menyusul keduanya ke tempat yang
damai.
bagus maju beberapa langkah dibandingkan dengan cerpen sebelumnya. cuma ada catatan di paragraph terakhir ada kata "dapay" apa tuh "dapat" mungkin?
BalasHapus