WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: BILUR-BILUR KEHIDUPAN



Empat ekor ular berwarna hitam itu terus mendesis dan meliuk-liuk di lantai rumah. Arini dan Marni mencoba menghalau binatang tersebut dengan gagang sapu yang dipukul-pukulkan ke arah ular tersebut. Tetapi seperti tidak takut dengan ancaman tersebut, ular-ular itu terus mendekat dan mencoba untuk mematuk kaki kedua gadis tersebut. Arini dan kakaknya terus menjerit-jerit ketakutan sambil mengibaskan gagang sapunya ke segala arah.
Kini kedua gadis tersebut naik ke atas meja. Marni mencoba memukul salah satu binatang tersebut. Bukkk!! Tepat mengenai kepalanya. Sang ular menggelepar sejenak sebelum akhirnya mati dengan kepala remuk. Mengetahui salah satu temannya mati, ular yang lain menjadi marah. Kepalanya mendongak ke atas dengan posisi siap untuk menyerang.
Mendadak pintu kamar terbuka. Ayah kedua gadis itu muncul dari balik pintu.
"Marni, ada apa?" tanya laki-laki paruh baya tersebut.
"Ular, Pak! Awas, bapak jangan bergerak!" jerit Marni mengingatkan.
"Ular? Mana ularnya?" tanya ayahnya sambil berjalan ke arah kedua gadis itu.
"Bapak, awassss.....!!" jerit Arini cemas ketika melihat salah seekor ular tiba-tiba saja menjalar cepat ke arah bapaknya.
Belum sempat laki-laki tua itu beranjak pergi, tiba-tiba salah seekor ular telah berada didepan kakinya. Mulutnya terbuka lebar. Dan nampak dua buah taring menyeringai ganas. Dengan serangan yang tak terduga ular tersebut telah mematuk kaki kanannya. Dua buah taring yang tajam itu terhujam ngilu di kaki orang tua tersebut.
Terkejut dengan serangan yang tiba-tiba, laki-laki itu hanya diam mematung ketika bisa yang sangat beracun mengalir masuk ke tubuhnya melalui aliran darah. Dalam sekejap tubuh tua itu gemetar hingga akhirnya limbung dan jatuh berdebam ke lantai dengan raut muka yang menyiratkan kesakitan yang sangat.
"Bapaaaaakkkkk...!!!" jerit Arini memecah kesunyian malam.
Keringat dingin mengalir deras membasahi sekujur tubuhnya. Dengan wajah pasi dan nafas yang memburu, Arini terjaga dari tidurnya. Mimpi yang baru saja dialaminya sungguh menakutkan dan seakan nyata tergelar di depannya.
Arini segera menenggak habis segelas air dingin yang ada di samping tempat tidurnya. Jam 02:05 dini hari. Mimpi tersebut terasa sangat mencekam batinnya. Segera saja Arini pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu. Gadis kelas tiga SMA itu ingin menjalankan shalat Tahajud agar batinnya kembali tenang. Ya Allah, semoga ini hanya mimpi biasa bukan isyarat apapun, doa nya sambil terus membasahi wajahnya dengan air dingin.
Hari itu ujian terakhir di sekolahnya.
Arini dan Ratri, sahabat dekatnya, pulang sekolah menyusuri jalanan kampung yang teduh dan sejuk. Di kanan kiri jalan, pohon-pohon akasia tumbuh merimbun.
"Rin, setelah lulus nanti kamu mau melanjutkan kuliah?" tanya Ratri sambil berjalan.
"Aku inginnya begitu, kamu bagaimana?" Arini balik bertanya.
"Aku mungkin akan bekerja ikut pamanku di kota. Adik-adikku masih banyak dan mereka butuh biaya untuk sekolah. Aku harus bantu emak dan bapak untuk mencari biaya," jawab Ratri.
Kehidupan Ratri memang tidak seberuntung dirinya. Kedua orang tuanya adalah seorang buruh tani di tempat orang. Sedangkan tiga orang adiknya masih kecil-kecil.
"Kapan kamu berangkat ke kota? Berarti kita nanti tidak bisa bersama-sama lagi. Aku akan kesepian kehilangan kamu," kata Arini sedih.
"Setelah terima ijasah nanti aku berangkat. Aku juga pasti akan sedih kehilangan teman sebaik kamu. Tapi suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi," kata Ratri sambil menggenggam tangan sahabatnya. Dan kedua sahabat itu berjalan pelan menyusuri teduhnya siang di bawah pohon-pohon akasia yang bergoyang ditiup angin musim kering.
******* 
Seminggu setelah pengumuman hasil ujian.
"Arini, kamu sudah kenal dengan Rengga, anaknya Pak Burhan, bukan?" tanya ayahnya ketika Arini baru saja pulang dari sekolahnya.
"Rengga yang tinggal di kota itu, Pak?"
"Betul. Tadi dia ke sini ingin menemui kamu," kata ayahnya.
"Ada perlu apa, Pak?" tanya Arini heran.
Pak Burhan adalah sahabat ayahnya sejak dulu. Rengga, anaknya yang tinggal di kota memang sering pulang ke kampung ini. Karena kedua orang tua Rengga memang tinggal kampung ini. Sedangkan Rengga diasuh kakek dan neneknya di kota.
"Duduklah, biar bapak ceritakan. Begini, bapak dan Pak Burhan sudah dari kecil bersahabat baik. Beliau juga yang membantu bapak ketika usaha kita hampir bangkrut. Bapak banyak berhutang budi kepada beliau. Agar persahabatan kami ini tetap terjalin baik, maka kami sepakat untuk menjodohkan kamu dengan nak Rengga. Dan tadi keluarga mereka telah melamarmu," tegas suara ayahnya.
"Apa? Melamar? Arini tidak mau, Pak. Arini masih ingin melanjutkan sekolah," bantah Arini cepat.
"Kamu mau bikin malu keluarga, hah? Pembicaraan kami sudah sepakat dan sudah menentukan hari untuk tanggal pernikahanmu. Minggu depan adalah waktu untuk kamu menjadi istri Rengga, dan kamu akan dibawa ke kota untuk menempati rumah yang telah dipersiapkan untuk kalian berdua," ayahnya berkata lebih keras.
"Tidak, Pak. Arini menolak pernikahan ini. Arini akan melanjutkan sekolah," jawabnya mulai terisak.
"Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi. Pada akhirnya toh kamu juga akan tinggal di rumah mengurus anak dan suamimu. Dengan Rengga kamu akan hidup enak, kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu mau. Mulai sekarang kamu tidak boleh keluar rumah tanpa ijin. Bapak akan menyuruh kakakmu untuk mengawasi kamu," berkata ayahnya sambil menatap tajam ke arah Arini.
Arini benar-benar menangis kini. Dengan gontai gadis itu masuk ke kamarnya. Berita yang baru saja diterimanya bukanlah kabar yang ingin didengarnya. Menikah? Dengan Rengga, yang bahkan Arini tidak mengenal siapa itu Rengga?
Di kamarnya, Arini menumpahkan kegalauan hatinya dengan tangis. Arini teringat ibunya yang telah pergi ke alam lain. Seandainya ibu masih ada, mungkin sifat keras ayahnya bisa diredam. Namun ibunya telah tiada bertahun silam, saat Arini belum begitu mengerti tentang arti sebuah kehilangan. Dan sejak itu pula ayahnya menjadi orang tua tunggal bagi Arini dan kakak perempuannya.
Rasa cinta ayahnya memang sangat besar. Dalam membesarkan kedua putrinya, lelaki itu tidak mencari ibu baru buat mereka. Semua dilakukannya sendiri. Bahkan dalam kehidupan berumah tangga pun, ayahnya yang menentukan. Menurut ayahnya, itu semua dilakukan agar hidup kedua putrinya tidak kekurangan. Tetapi untuk sekarang betapa Arini merasakan semua itu adalah benteng kokoh yang justru memenjarakannya. Sesak dan menyakitkan.
Tetapi penolakan Arini tak berpengaruh banyak pada keputusan ayahnya. Disaksikan sedikit kerabat dan sanak saudara, pernikahan sederhana itu berlangsung. Selanjutnya Arini mengikuti Rengga, yang kini telah menjadi suaminya, ke kota. Dan babak baru dalam kehidupannya dimulai meski dengan sebuah keterpaksaan.
"Kamu tidak usah memikirkan bapak. Ada Marni yang akan menjaga bapakmu ini. Semua ini  bapak lakukan untuk kebhagaiaanmu, nduk," kata ayahnya sambil mengelus rambut Arini ketika siang itu Arini akan berangkat ke kota bersama suami barunya.
Dengan sisa tangis kepedihan karena harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya, perjalanan Arini bersama suaminya seperti sebuah langkah untuk menyongsong harapan yang tak pasti.
"Inilah rumah kita, Arini. Sekarang kamu sudah menjadi bagian dari rumah ini. kamu bebas melakukan apa saja di sini."
Itu kata Rengga ketika mereka telah tiba di kota. Di rumah mereka. Rumah yang besar dan megah.
Arini hanya diam mengawasi setiap sudut rumah barunya. Arini belum tahu, apakah dia harus gembira atau sedih dengan segala kemewahan yang kini ada di hadapannya. Bagian dari perjalanan hidupnya. Yang jelas Arini merasakan ada sebagian ruang hatinya yang terasa kosong. Hampa. Entah kenapa.
Enam bulan sudah Arini menjalani kehidupannya sebagai istri Rengga. Pengusaha besar dan kaya dengan beberapa perusahaan yang tersebar di berbagai tempat. Hingga suatu ketika, saat Arini berkesempatan mendampingi suaminya ke salah satu pabrik miliknya, tanpa diduga bertemu dengan Ratri, sahabatnya dulu.
"Ratri. Kamu Ratri, kan?" tanya Arini hampir tak percaya.
"Arini? Aku tidak mengira kita akan bertemu di sini. Ternyata sekarang kamu telah menjadi istri pengusaha kaya raya itu. Pasti kamu hidup enak sekarang," jawab Ratri tanpa mampu menyembunyikan rasa keterkejutannya.
"Enam bulan aku di sini. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi. Kamu tidak pernah memberi kabar," kata Arini sambil menggenggam tangan sahabatnya itu.
"Maaf, Ar. Aku sibuk sekali di sini. Kerja lembur terus agar bisa mengirimkan uang ke kampung. Biaya sekolah adik-adikku semakin lama semakin banyak," jawab Ratri.
"Kalau libur dan ada waktu, kamu main ke rumahku, ya?" ajak Arini.
"Ada apa, Arini? Ada masalah?" tiba-tiba Rengga sudah berdiri di belakang Arini.
"Ini Mas, aku ketemu sahabatku dari kampung. Ratri namanya. Aku tidak mengira dia bekerja di sini," kata Arini.
"Ya sudah, kamu bekerja lagi. Besok semua harus sudah selesai karena barangnya akan segera dikirim. Arini, kita keluar sekarang, " kata Rengga sambil menggamit lengan Arini keluar dari tempat itu. Arini tak suka dengan perlakuan suaminya tersebut, tetapi demi menjaga sikap terpaksa Arini meninggalkan sahabatnya yang kemudian telah sibuk bekerja kembali.
Kekesalan hatinya dia tumpahkan ketika mereka sampai di rumah.
"Mas, kenapa sikap Mas seperti itu. Dia sahabatku dari kecil, Mas bahkan sudah seperti saudara bagiku. Tidak seharusnya Mas bersikap seperti itu kepada Ratri, apalagi dia adalah karyawan di perusahaan Mas," kata Arini kecewa.
"Justru itu, Arini. Dia kan buruh. Bekerja dan mendapat upah. Sudah itu saja. Apa lagi?" hardik Rengga.
"Tetapi setidaknya, Mas dapat bersikap ramah padanya. Besok aku akan ke pabrik dan minta maaf sama dia," kata Arini.
"Sudah, sudah! Cuma masalah seperti itu saja kamu sudah ribut. Kamu tidak usah ke sana. Mulai besok aku akan keluar kota, dan kamu jangan sekali-kali pergi tanpa memberitahu terlebih dahulu. Aku akan suruh Pak Roby mengawasi kamu. Awas kalau kamu berbuat macam-macam," ancamnya.
Itulah Rengga. Suaminya. Sikap dan kata-katanya cenderung kasar dan mau menang sendiri. Selama hampir setengah tahun Arini menjadi istrinya, tak pernah ada kedamaian di rumah ini. Namun Arini mencoba menguatkan hatinya demi ayahnya. Kalau tidak mengingat nasehat ayahnya, mungkin Arini sudah kelauar dari rumah besar ini.
Dan kini Arini hanya diam. Sudah hampir habis air matanya mengingat betapa sengsaranya dia tinggal di rumah ini. Dan dua hari kemudian Rengga memang pergi keluar kota. Setiap pergi keluar kota Arini belum pernah sekalipun diajaknya serta. Tapi justru Arini merasa lega karena meski sebentar bisa terbebas dari kungkungan peraturan-peraturan yang dibuat Rengga.
Hingga seminggu setelah kepergian Rengga, di suatu malam yang berhujan.
Hujan seakan tercurah begitu saja dari tingkap langit. Sesekali kilatan petir terlihat di langit yang gelap kusam. Arini sedang duduk di ruang tengah sambil membaca sebuah buku ketika bel rumah berdentang memecah malam diiringi bunyi guruh. Dengan malas, Arini beranjak ke pintu depan. Terlihat Ratri berdiri di luar pagar dengan pakaian yang basah kuyup. Payung yang dipakainya seakan tak mampu melindungi badannya dari guyuran air hujan.
"Ratri, ada apa?" tanyanya cemas.
"Maaf, Arini aku mengganggu. Aku membawa kabar dari kampung. Bapakmu sakit keras, kalau bisa kamu disuruh segera pulang. Mbak Marni sudah berusaha menghubungi kamu tapi katanya tidak bisa," jelas Ratri di antara derai hujan yang terus turun.
"Masuk dulu, Rat. Kita bicara saja di dalam," ajak Arini.
"Aku tidak bisa lama-lama di sini, Ar. Aku takut kalau nanti anak buah suamimu melaporkan keberadaanku di rumahmu ini. Nanti aku bisa dikeluarkan dari pekerjaanku. Kalau bisa kamu saja yang ke kontrakan ku. Ini alamatku," kata Ratri sambil menyerahkan secarik kertas.
"Iya, Rat. Aku besok pasti ke tempatmu. Hati-hati di jalan."
Dan Ratri segera bergegas pergi dari rumah besar itu. Arini segera masuk ke rumah. Besok pagi-pagi sekali, sebelum anak buah suaminya tahu, dia harus segera keluar dari rumah ini.
"Akhir-akhir ini aku betul-betul tidak bisa kemana-mana, Rat. Aku selalu diawasi. Sepertinya ada yang aneh dengan kelakuan suamiku. Kau tahu kenapa, Rat?" tanya Arini ketika keesokan paginya sampai di tempat kontrakan Ratri.
"Memang akhir-akhir ini ada sedikit masalah di pabrik. Banyak orang yang membicarakannya tapi aku juga belum tahu kebenarannya. Katanya suami kamu ikut terlibat dalam bisnis kayu illegal, dan saat ini menjadi incaran pihak kepolisian. Tapi aku tidak tahu kebenarannya, yang jelas bapak kamu sekarang sedang sakit, Ar. Keadaan kamu sendiri bagaimana?" kata Ratri.
"Entahlah, Rat. Aku tak tahu bagaimana diriku sekarang. Aku bingung. Kehidupanku terasa sangat menyakitkan, bahkan aku seperti menjadi tahanan di rumahku sendiri," keluh Arini.
"Mungkin ada baiknya kamu pulang sebentar ke kampung menengok bapak kamu sebelum suamimu pulang. Kasihan beliau sudah tua, " saran Ratri.
Dan dengan sedikit persiapan, saat itu juga Arini pulang ke kampung halamannya untuk menemui ayahnya. Betapa Arini sangat rindu ingin segera bertemu dengan orang tua itu. Arini juga rindu suasana kampung. Suara anak-anak mengaji di mushola sebelah rumahnya ketika bulan sedang purnama. Ah, sebuah kenangan yang menyenangkan.
Dan di waktu senja yang sedikit basah karena gerimis, Arini telah memasuki pinggir kampungnya. Bukit-bukit yang membiru tampak cantik melatar belakangi kampungnya. Semuanya seakan memanggil dengan penuh kerinduan. Arini tersenyum lega. Sebentar lagi aku akan berkumpul dengan orang-orang yang benar-benar menyayangi aku, batinnya tersenyum bahagia.
Tinggal satu tanjakan lagi ketika tiba-tiba dari arah depan mobil angkutan yang ditumpanginya, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi. Sang sopir terkejut, dan dengan reflek dia membanting setirnya ke kiri, ke arah jurang curam yang menganga di sisi jalan. Tak ada waktu untuk menghela nafas ketika akhirnya mobil itu menabrak sebuah batu besar di bibir jurang. Dan tanpa terkendali mobil itu melayang jatuh di ketinggian tebing.
Arini hanya dapay beristighfar menyebut Asma Allah ketika mobil itu melayang menuju dasar jurang. Langit senja seakan ikut berputar. Sekeliling diam membisu seakan ikut tercekam dengan kejadian itu. Nun samar-samar jauh di atas sana, di antara batas langit yang tak terjamah, di antara ambang batas kesadarannya, Arini melihat Ayah Ibunya tersenyum melambaikan tangan ke arahnya. Wajah mereka begitu tenang dan damai. Dan Arini sedang menyusul keduanya ke tempat yang damai.

1 komentar: Leave Your Comments

  1. bagus maju beberapa langkah dibandingkan dengan cerpen sebelumnya. cuma ada catatan di paragraph terakhir ada kata "dapay" apa tuh "dapat" mungkin?

    BalasHapus