WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: Cinta Yang Sebenarnya

Hampa menerpa. Segala cuaca seakan terkumpul pada suasana pagi itu. Sekejap mendung tebal melintas seakan tak peduli pada tatapan cemas anak-anak kecil yang berjalan melintas perbukitan kecil itu untuk berjalan menuju ke sekolahnya yang berdiri rapuh di atas bukit. Di kali lain, dalam hitungan detik, kabut putih tebal menyebar ke segala penjuru menutup pandang segala penglihatan yang bergegas pada langkah-langkah pagi yang seakan tergesa menuju ke suatu tempat. Entah kemana.

Angin masih masih berkesiur pelan mengantarkan dingin yang kadang membuat tubuh menggigil. Seperti juga pada sebuah jendela yang terbuka, seraut wajah menatap pagi berkabut dalam balut seribu gundah yang terhias kuyu pada wajahnya. Apakah kau masih di sana, kekasihku? Menatap gumpalan kabut bersulam seribu embun yang menari di pucuk-pucuk daun? Batinnya gamang menatap pilu di kejauhan. Gadis itu, mengenang wajah kekasihnya yang telah pulang ke alam baka, ketika bencana tak terkira menerjang tempat kediamannya. Tanah yang seakan marah, menerjang habis semua warganya dalam sebuah tragedi tak terencana ketika hujan tak juga mengirimkan berita bahwa dia akan turun sepanjang hari, lalu kemudian longsor menerpa seketika.

Masih jelas kenangan bersama, ketika purnama menyepuh malam dalam cahaya yang remang mempesona.

“ Kau tahu, aku sudah membicarakan tentang hubungan kita dengan kedua orang tuaku. Dan tak lebih dari satu purnama lagi, kami akan menghadap ke orang tuamu untuk meminta kamu bersedia menjadi pendampingku,” janji sang kekasih pada saat itu.

Angin berdesir manja. Purnama terlunta,namun bahagia. Burung malam yang tadi riuh berirama, diam sekejap mencerna janji sang arjuna. Tak perlu waktu lama, ketika janji terkata, hati yang telah lama menunggu bahagia itu terlonjak riang menerpa segala semesta dalam bola-bola asmara  yang melagukan irama surga.

“ Tentu saja. Bukankah dari dulu memang inilah akhirnya. Kita ingin kelak selalu bersama, membesarkan anak-anak kita dalam pondok sederhana. Menjala segala bahagia dan mewariskannya kepada keturunan kita?” jawab sang putri jelita dengan nafas lega. Tenang. Setenang telaga biru yang makin berkilau dalam tumpahan sinar rembulan.

Dan tawa menggema. Menelusup selubung malam dalam balutan rona bahagia. Hingga akhirnya kedua keluarga sepakat telah menentukan tanggal sakral yang akan menyatukan dua insan saling mencinta itu dalam bingkai mahligai rumah tangga. Dua purnama ke depan, janji itu akan terucap. Segala persiapan telah direncanakan dengan sempurna. Hingga detik waktu seakan tak mampu mengurai penantian akan janji yang terpatri.

Tetapi, kehidupan punya jalan ceritanya sendiri. Tak perlu meminta restu pada mereka yang menjalani. Dia punya dunianya sendiri. Baik cerita bahagia yang menyunggingkan tawa, ataupun cerita duka yang menggenangkan air mata. Dia tak peduli. Karena iramanya melagukan nyanyiannya sendiri.

Bencana itu, membawa sekeping hatinya pergi. Juga separuh jiwa. Bahkan mungkin separuh nyawa. Seperti pepatah Jawa, bahwa garwo adalah sigaraning nyowo. Garwo, pasangan jiwa. Dia adalah separuh nyawa, separuh jiwa. Ketika pasangan jiwa itu pergi, ada bagian-bagian dalam diri yang ikut pergi. Rencana bahagia itu juga sirna. Menguap bersama duka. Mengalir mengikut arus air mata.

“Kenapa?” hanya itu yang selalu terucap. Sang belahan jiwanya hilang bersama retaknya bumi tempatnya berkarya. Hilang, tergulung bencana yang meluluh lantakkan kampungnya, ketika tebing-tebing curam itu tak sanggup lagi berdiri kokoh menyangga curahan hujan yang berderai seharian.

“Kami tak bisa lagi menemukan 20 jenasah yang diperkirakan masih tertimbun longsor. Medan yang sulit dan juga cuaca yang tak memungkinkan, membuat kami terpaksa menghentikan pencarian ini,” kata para aparat yang bertugas mencari korban.

Pupus sudah harapan itu. Bahkan untuk sekedar melihat kali terakhir raga yang selalu dirindukannya pun, seakan tak lagi ada. Dunia seakan runtuh, meluruh bersama puing-puing asa yang dulu tegak kokoh berdiri melandasi bangunan istana cinta yang dibangunnya. Dan kini semuanya terberai.

Termangu sang gadis menatap kejauhan. Kosong pandangan. Mencoba menyibak kabut yang tergelar di depannya. Siapa tahu, sang belahan jiwa muncul di sana. Dari lorong yang tak mampu dimasukinya. Tetapi, sampai senja menutup cakrawala, tak juga ada dia datang menggandeng lengannya. Seperti dulu kala. Saat dia masih ada.

Teringat akan kenangan indah, ketika senja seperti ini. Ketika kabut memayungi mereka dalam sentuhan hangat dua kutub cinta. Cinta mereka berdua. Tanpa siapa-siapa. Berjalan penuh gelak tawa. Menyusuri hutan-hutan cemara. Mengumpulkan sejuta kunang-kunang yang bercahaya. Alangkah indahnya.

“Sebaiknya kita pulang. Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Terlalu bahaya kalau kamu disini?” lembut suara ibunya menyadarkan lamunannya yang mengembara. Ah, bunda. Betapa dalam segala suasana, engkau selalu ada. Memberi kekuatan dalam hempasan badai kehidupan.

Dan pulang ke rumah, seakan mengulang lagi kenangan indah itu. Di beranda ini. Tempat berbincang ketika hujan memayung cuaca. Juga ketika purnama menyulam semesta. Segala tempat. Segala rupa, hanya ada kenangan itu. Tak jua sirna. Namun, di belaian lembut bunda segala kosong jiwa menemukan muara. Cinta yang sebenarnya…………..








2 komentar: Leave Your Comments

  1. bravo bravo..., bahasa kalbunya sangat amat puitis. 10langkah lebih maju dari cerpen yang kamu buat 2 tahun yL as catatan

    BalasHapus