Hampa menerpa. Segala cuaca seakan terkumpul pada suasana pagi itu.
Sekejap mendung tebal melintas seakan tak peduli pada tatapan cemas anak-anak
kecil yang berjalan melintas perbukitan kecil itu untuk berjalan menuju ke
sekolahnya yang berdiri rapuh di atas bukit. Di kali lain, dalam hitungan
detik, kabut putih tebal menyebar ke segala penjuru menutup pandang segala
penglihatan yang bergegas pada langkah-langkah pagi yang seakan tergesa menuju
ke suatu tempat. Entah kemana.
Angin masih masih berkesiur pelan mengantarkan dingin yang kadang membuat
tubuh menggigil. Seperti juga pada sebuah jendela yang terbuka, seraut wajah
menatap pagi berkabut dalam balut seribu gundah yang terhias kuyu pada
wajahnya. Apakah kau masih di sana ,
kekasihku? Menatap gumpalan kabut bersulam seribu embun yang menari di
pucuk-pucuk daun? Batinnya gamang menatap pilu di kejauhan. Gadis itu,
mengenang wajah kekasihnya yang telah pulang ke alam baka, ketika bencana tak
terkira menerjang tempat kediamannya. Tanah yang seakan marah, menerjang habis
semua warganya dalam sebuah tragedi tak terencana ketika hujan tak juga
mengirimkan berita bahwa dia akan turun sepanjang hari, lalu kemudian longsor
menerpa seketika.
Masih jelas kenangan bersama, ketika purnama menyepuh malam dalam cahaya
yang remang mempesona.
“ Kau tahu, aku sudah membicarakan tentang hubungan kita dengan kedua
orang tuaku. Dan tak lebih dari satu purnama lagi, kami akan menghadap ke orang
tuamu untuk meminta kamu bersedia menjadi pendampingku,” janji sang kekasih
pada saat itu.
Angin berdesir manja. Purnama terlunta,namun bahagia. Burung malam yang
tadi riuh berirama, diam sekejap mencerna janji sang arjuna. Tak perlu waktu
lama, ketika janji terkata, hati yang telah lama menunggu bahagia itu terlonjak
riang menerpa segala semesta dalam bola-bola asmara
yang melagukan irama surga.
“ Tentu saja. Bukankah dari dulu memang inilah akhirnya. Kita ingin kelak
selalu bersama, membesarkan anak-anak kita dalam pondok sederhana. Menjala
segala bahagia dan mewariskannya kepada keturunan kita?” jawab sang putri
jelita dengan nafas lega. Tenang. Setenang telaga biru yang makin berkilau
dalam tumpahan sinar rembulan.
Dan tawa menggema. Menelusup selubung malam dalam balutan rona bahagia.
Hingga akhirnya kedua keluarga sepakat telah menentukan tanggal sakral yang
akan menyatukan dua insan saling mencinta itu dalam bingkai mahligai rumah
tangga. Dua purnama ke depan, janji itu akan terucap. Segala persiapan telah
direncanakan dengan sempurna. Hingga detik waktu seakan tak mampu mengurai
penantian akan janji yang terpatri.
Tetapi, kehidupan punya jalan ceritanya sendiri. Tak perlu meminta restu
pada mereka yang menjalani. Dia punya dunianya sendiri. Baik cerita bahagia
yang menyunggingkan tawa, ataupun cerita duka yang menggenangkan air mata. Dia
tak peduli. Karena iramanya melagukan nyanyiannya sendiri.
Bencana itu, membawa sekeping hatinya pergi. Juga separuh jiwa. Bahkan
mungkin separuh nyawa. Seperti pepatah Jawa, bahwa garwo adalah sigaraning
nyowo. Garwo, pasangan jiwa. Dia adalah separuh nyawa, separuh jiwa. Ketika
pasangan jiwa itu pergi, ada bagian-bagian dalam diri yang ikut pergi. Rencana
bahagia itu juga sirna. Menguap bersama duka. Mengalir mengikut arus air mata.
“Kenapa?” hanya itu yang selalu terucap. Sang belahan jiwanya hilang
bersama retaknya bumi tempatnya berkarya. Hilang, tergulung bencana yang
meluluh lantakkan kampungnya, ketika tebing-tebing curam itu tak sanggup lagi
berdiri kokoh menyangga curahan hujan yang berderai seharian.
“Kami tak bisa lagi menemukan 20 jenasah yang diperkirakan masih
tertimbun longsor. Medan
yang sulit dan juga cuaca yang tak memungkinkan, membuat kami terpaksa
menghentikan pencarian ini,” kata para aparat yang bertugas mencari korban.
Pupus sudah harapan itu. Bahkan untuk sekedar melihat kali terakhir raga
yang selalu dirindukannya pun, seakan tak lagi ada. Dunia seakan runtuh,
meluruh bersama puing-puing asa yang dulu tegak kokoh berdiri melandasi
bangunan istana cinta yang dibangunnya. Dan kini semuanya terberai.
Termangu sang gadis menatap kejauhan. Kosong pandangan. Mencoba menyibak
kabut yang tergelar di depannya. Siapa tahu, sang belahan jiwa muncul di sana . Dari lorong yang tak
mampu dimasukinya. Tetapi, sampai senja menutup cakrawala, tak juga ada dia
datang menggandeng lengannya. Seperti dulu kala. Saat dia masih ada.
Teringat akan kenangan indah, ketika senja seperti ini. Ketika kabut
memayungi mereka dalam sentuhan hangat dua kutub cinta. Cinta mereka berdua.
Tanpa siapa-siapa. Berjalan penuh gelak tawa. Menyusuri hutan-hutan cemara.
Mengumpulkan sejuta kunang-kunang yang bercahaya. Alangkah indahnya.
“Sebaiknya kita pulang. Sebentar lagi hujan akan turun kembali. Terlalu
bahaya kalau kamu disini?” lembut suara ibunya menyadarkan lamunannya yang
mengembara. Ah, bunda. Betapa dalam segala suasana, engkau selalu ada. Memberi
kekuatan dalam hempasan badai kehidupan.
Dan pulang ke rumah, seakan mengulang lagi kenangan indah itu. Di beranda
ini. Tempat berbincang ketika hujan memayung cuaca. Juga ketika purnama
menyulam semesta. Segala tempat. Segala rupa, hanya ada kenangan itu. Tak jua
sirna. Namun, di belaian lembut bunda segala kosong jiwa menemukan muara. Cinta
yang sebenarnya…………..
bravo bravo..., bahasa kalbunya sangat amat puitis. 10langkah lebih maju dari cerpen yang kamu buat 2 tahun yL as catatan
BalasHapusahahhahaha
Hapus