WHAT'S NEW?
Loading...

Cerpen: KUNTUM YANG LURUH



Airin cemberut. Dihentakkan kakinya yang mungil dengan kesal. Sudah lebih dari 40 menit gadis cantik itu menunggu mobil jemputannya. Namun rupanya Pak Parmin telat. Terjebak macet karena ada demo, begitu katanya tadi pas di telfon. Huh, demo lagi, demo lagi. Airin mendesah dengan kesal. Siang memang sangat terik kali ini. kampus pun telah lengang. Hanya ada beberapa orang yang sedang bergerombol di bawah rimbun pohon akasia di halaman kampus.
"Hai, nunggu jemputan, ya? Bareng aku aja, yuk,"
Sebuah mobil berhenti di depannya. Dari dalam mobil menyembul seraut wajah dengan senyum lebarnya.
"Iya nih. Mana Pak Parmin telat pula," jawab Airin sambil matanya mengawasi di kejauhan. Siapa tahu mobil Pak Parmin sudah kelihatan.
"Aku antar aja, yuk. Daripada nunggunya kelamaan. Panas lagi," ajak sang cowok.
Ferdy. Cowok itu memang selalu ramah kepada para gadis yang sedang di dekatinya.
"Aduh, gimana ya? Kan kasihan nanti kalau Pak Parmin sampai sini, aku udah nggak ada," tolak Airin halus.
Padahal di dalam hatinya sudah mengangguk ribuan kali mengiyakan ajakan Ferdy. Betapa tidak. Diajak jalan bareng oleh seorang idola kampus adalah anugerah terindah di mimpi para gadis-gadis itu. Dari segi prestasi akademik, Ferdy memang tidak terlalu menonjol. Tapi keahliannya dalam bermusik patut diacungi jempol. Dua album sudah dikeluarkan.
"Kan bisa ditelfon. Kamu nggak takut kering kelamaan nunggu. Panas banget kan di luar?" bujuk Ferdy tak mau menyerah.
"Ya udah deh aku telfon Pak Parmin lagi," kata Airin.
Segera saja sepasang anak muda itu melaju meninggalkan pelataran kampus. Terik matahari di luar masih menyengat. Debu jalanan beterbangan tertipu angin musim kemarau. Debu di mana-mana.
Tetapi lain halnya dengan hati Airin. Hatinya serasa sejuk. Bunga bermekaran di taman hatinya. Bagaimana tidak. Sudah lama dia menginginkan hal seperti saat ini. jalan bareng Ferdy. Berdua. Hanya berdua.
"Kok melamun?' suara Ferdy membuyarkan lamunan Airin.
"Siapa yang melamun?" elak Airin.
"Dari tadi diam saja," kata Ferdy memperlambat laju kendaraannya ketika melintasi segerombolan anak-anak kecil yang sedang menyeberang jalan.
"Memangnya suruh teriak-teriak?" jawab Airin sambil melihat keluar.
"Eh, nanti sore boleh main ke rumah kamu?" todong Ferdy tanpa basa-basi.
"Mau ngapain?" sahut Airin cepat.
Padahal dalam hatinya bersorak kegirangan.
"Ya main aja. Emang nggak boleh?"
Ferdy memang pernah mengutarakan keinginannya untuk main ke rumah Airin. Dan Airin memang selalu menolaknya, meski sebetulnya dalam hatinya sangat senang dengan kedatangan cowok itu. Bukan apa-apa, Airin takut menerima kedatangan Ferdy ke rumahnya karena Airin tahu selama ini Ferdy sering jalan bareng dengan begitu banyak gadis-gadis terkenal di kampusnya.
"Memang tampangku serem seperti rampok yang ingin merampok rumah kamu, ya?" goda Ferdy.
"Tentunya akan banyak gadis-gadis yang akan membenciku kalau kamu datang ke rumahku," Airin memberi alasan.
Ferdy tertawa. Sungguh, mata tajam Ferdy terlihat begitu indah jika sedang tertawa. Airin menikmatinya.
"Oh, jadi itu alasannya. Percaya deh, tidak akan ada yang marah dan melarang-larang aku kalau aku pergi ke rumahmu. Jadi boleh,kan?" Ferdy masih ngotot.
"Lihat nanti aja, deh. Makasih tumpangannya, ya?" kata Airin sambil mebuka pintu mobil. Mereka berdua sudah sampai di halaman rumah Airin.
Ferdy ikut turun dari mobil.
"Lho, nggak nyuruh masuk dulu?" tanya Ferdy bercanda.
"kapan-kapan saja. Rumah lagi kosong."
Airin bergegas masuk dan menuju ke kamarnya. Sementara Ferdy kembali masuk ke dalam mobilnya dan segera melajukan mobilnya keluar dari halaman yang luas itu.
************
Suatu senja di tepi kolam.
"Ga, aku jatuh cinta sepertinya," kata Airin kepada Ega.
Ega adalah sahabatnya. Mereka bersahabat sejak satu tahun yang lalu ketika Airin dan keluarganya pindah ke kota ini. Airin dan Ega berteman dekat karena Ega adalah anak Pak Parmin, sopirnya.
"Dengan siapa, Rin?" tanya Ega tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya.
"Ferdy. Kamu kenal?" tanya Airin.
"Ferdiansyah?" ulang Ega menegaskan.
"Iya. Kamu kenal dia?" Airin penasaran.
"Dia teman SD ku dulu. Tapi setelah lulus SD dia pindah ke kota lain ikut kakeknya. Sejak saat itu aku tidak pernah tahu beritanya," kata Ega.
"Kamu berteman denga dia?"Airin makin ingin tahu.
"Dulu dia sombong sekali. Mungkin karena orang tuanya kaya. Semoga saja sekarang dia telah berubah,"jawab Ega.
"Tapi menurutku dia baik, Ga,"bela Airin.
"Semoga saja. Sekian waktu yang telah berlalu semoga membuat dia menjadi lebih baik. Kamu mencintainya?" tanya Ega.
"Apakah salah?" Airin balik bertanya.
"Tentu saja tidak salah. Cinta milik semua orang dan datang kapan saja. Hanya saja kamu jangan salah memilih orang hanya karena emosi sesaat," kata Ega menasehati.
Dan kedekatan Airin bersama Ferdy memang semakin nyata. Airin kini jarang berkunjung ke rumah Ega lagi. Tetapi Ega maklum. Sebagai anak tunggal dari keluarga yang kaya dan sibuk, pasti Airin sering merasa kesepian di rumah. Dan ketika Ferdy menawarkan sebuah dunia yang indah, tentu saja Airin dengan suka cita menikmatinya. Hingga pada suatu senja yang kesekian kalinya di belakang rumah Ega, Airin berkeluh kesah kepada sahabatnya itu.
"Benar perkataanmu, Ga. Ferdy tidak sebaik yang aku kira," lirih suara Airin.
"Apa yang terjadi dengan kalian?" tanya Ega sambil memberi makan ikan-ikannya di kolam.
"Ferdy mulai menjauh dari aku. Setiap kali aku mengajak pergi dia tidak pernah punya waktu. Urusan manggung lah, ini lah, itu lah. Huh," kesal suara Airin.
Ega duduk di samping Airin. Ega memang selalu menjadi pendengar yang baik bagi Airin.
"Mungkin dia memang sibuk," kata Ega.
"Aku nggak tahu, Ga. Sekarang dia juga jarang pergi ke kampus. Dihubungi lewat telfon juga nggak bisa. Aku bingung sekaligus kecewa," kata Airin tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya.
Sementara senja telah jatuh sempurna. Bagi Airin, senja kali ini terasa begitu murung. Tidak seperti senja-senja yang lalu saat mereka berdua duduk di pinggir pantai sambil menikmati indahnya matahari tenggelam. Kali ini pun matahari tetap seperti senja yang kemarin. Tenggelam saat senja dan kembali esok hari.

**************

"Ferdy sudah punya gadis lain. Kali ini dia sedang dekat dengan Friska," kata Airin kepada Ega.
Siang terasa sejuk karena hujan yang turun dari pagi belum juga berhenti. Mereka berdua sedang merayakan ulang tahun Airin. Sengaja Airin tidak ingin merayakan secara meriah. Cukup mengajak Ega makan-makan di sebuah restoran di sudut kota.
"Kamu melihatnya?" tanya Ega meyakikan.
Airin memandang keluar jendela. Titik-titik hujan yang turun semakin deras seakan menggoreskan berjuta luka di hatinya. Perih.
"Teman-temanku bilang seperti itu. Bahkan di ulang tahunku seperti ini, dia juga tidak ada kan?" getir suara Airin.
Lalu keduanya hening dalam pikiran masing-masing.
"Kamu benar, Rin," suara Ega memecah diam.
"Maksud kamu?" tanya Airin tak paham.
"Aku sering melihat Ferdy jalan berdua dengan orang lain, bukan kamu," jawab Ega pelan. Ega sangat paham sifat Airin yang temperamental.
"Kenapa kamu tidak mengatakannya dari dulu, Ga?" potong Airin cepat.
"Maafkan aku, Rin. Aku memang salah karena tidak dari dulu cerita hal ini ke kamu. Aku takut kalau kamu kecewa. Aku hanya menunggu saat yang tepat sampai kamu bisa melihat sendiri kebohongan Ferdy langsung dengan mata kamu sendiri. Kalau aku salah, aku minta maaf," jelas Ega sambil memegang tangan Airin.
Airin menghembuskan nafas dengan berat. Hujan masih saja turun. Kesibukan orang yang lalu lalang di luar sana semakin terasa.
"Maaf kalau aku sedikit emosional, Ga. Kamu tidak salah. Aku memang telah dibutakan oleh cinta. Mulai sekarang tolong bantu aku agar bisa melupakan Ferdy. Aku belum tahu harus bagaimana. Aku ingin meninggalkan kota ini rasanya," desah Airin.
"Aku kira kamu tidak perlu sampai meninggalkan kota ini, Rin. Kalau kamu pergi dari kota ini dengan alasan seperti itu, sampai kapan kamu mampu bertahan? Justru kamu akan menjadi semakin kalah karena disiksa perasaan dendam dan sakit hati. Tunjukkan bahwa Airin adalah gadis yang tegar. Tunjukkan pada Ferdy bahwa dengan pengkhianatan yang dia lakukan, kamu adalah tetap Airin yang kuat," saran Ega.
"Bagaimana caranya, Ga?"
"Jalani hidup seperti biasanya. Kamu bisa isi waktu kamu dengan hobby melukismu itu. Bukankah hal itu sudah lama kamu tinggalkan?" jawab Ega memberi solusi.
"Iya, benar. Sudah lama sekali aku tak lagi melukis," kata Airin.
"Tepatnya, semenjak kamu dekat dengan Ferdy," sahut Ega.
Airin tersenyum. Dipeluknya erat sahabat dekatnya itu. Kini hujan telah usai. Airin dan Ega segera meninggalkan tempat tersebut.

***********

Rumah mungil di halaman belakang dekat dengan taman itu memang sengaja dijadikan tempat untuk melukis. Papa Airin sengaja membangunnya untuk Airin karena tahu gadis itu memang sangat suka melukis. Seperti yang dilakukan gadis cantik itu saat ini. Lukisan kuntum-kuntum bunga, meski banyak tersapu warna kelabu di sana.
Tok..... tok....... tok.........
Ketukan di pintu memaksa Airin menghentikan kegiatan melukisnya. Dengan malas, gadis itu beranjak ke pintu depan. Pintu dibukanya. Dan di luar sana, Ferdy berdiri dengan lesu.
"Untuk apa kamu kesini?" tanya Airin dingin.
Ferdy nampak salah tingkah. Dengan kikuk dia berdiri. Airin merasa jengah.
"Aku mau minta maaf, Airin. Sekian lama aku melupakan kamu. Aku menyesal. Aku datang ke sini untuk minta maaf. Kamu ada waktu untukku hari ini?" pelan suara Ferdy.
Airin diam. Wajah inilah yang beberapa waktu lalu selalu mengisi hari-harinya. Sosok inilah yang telah mengirimkan warna-warna pelangi ke hatinya. Tetapi, sosok ini pula lah yang telah menghujamkan nyeri ke dasar hatinya.
Dan kini, Ferdy datang dengan segudang penyesalan dan rasa bersalahnya. Haruskah aku menerimanya kembali, gemuruh batin Airin.
"Bagaimana, Airin?" tanya Ferdy menunggu jawaban.
Airin memalingkan wajahnya. Dadanya masih bergemuruh.
"Aku lagi sibuk hari ini," hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya.
"Apakah kita masih bisa bersama lagi?" Ferdy mulai memohon.
"Friska tentu lebih bisa mengerti kamu. Saat ini pastinya dia sedang menunggu kedatanganmu," tegas Airin datar.
"Dia pergi ke puncak bersama Theo hari ini. Kami sudah tidak bersama-sama lagi," jawab Ferdy pelan.
Airin mendesah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya.
"Pulanglah. Lebih baik kamu merenung. Dikhianati itu sakit," sebuah jawaban tegas keluar dari mulut Airin.
"Aku ingin kita kembali lagi seperti dulu, Airin," kata Ferdy cepat.
Pintu itu kembali tertutup. Ferdy masih berdiri lesu di luar sana, sementara Airin termangu memandangi lukisannya. Lukisan kuntum-kuntum yang luruh. Sebuah gambaran yang kini ada di hatinya. Bunga cintanya untuk Ferdy memang telah luruh, namun Airin berjanji akan melupakan semuanya. Melupakan Ferdy dan segala kenangan yang menyertainya.
Airin tak harus meninggalkan kota ini hanya untuk sebuah kisah kelabu. Kota ini masih menyimpan banyak kisah indah untuknya. Meski entah.


3 komentar: Leave Your Comments

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Bag 3 dari cerita ada koreksi "meyakikan">meyakinkan. lumayan bagus cuma agak melo sedikit

    BalasHapus