Astaghfirullahal'adzim!
Aku
mengucapkan Istighfar dalam hati sambil mengelus dada. Entah siapa yang
menyebarkan berita yang menghebohkan itu. Yang jelas hampir seluruh penghuni
tempat kost ku yang sekarang sudah mendengar dan tahu berita itu. Aku yang
termasuk anak baru di tempat kost ini tentu saja kaget mendengarnya.
Secara
dekat, aku tidak begitu mengenal Arlyna, cewek yag jadi topik pembicaraan kami.
Yang aku tahu, gadis itu cantik, berkulit putih, dan sedikit pendiam. Nama lengkapnya
Arlyna Yoshida, mahasiswi semester dua jurusan Bahasa Inggris di sebuah PTS.
Dia berasal dari Jakarta.
Itu saja
informasi yang aku tahu tentang gadis itu. Pendiam dan sedikit misterius, itu
kesan pertama yang aku lihat ketika seminggu yang lalu aku pindah ke tempat
kost ini.
Sebagai
penghuni baru, tentu saja aku harus jaga sikap dan perilaku supaya tidak dicap
sebagai cewek yang sombong. Lagi pula itu memang bukan sifatku. Survey
membuktikan, bahwa aku ini si gembala sapi, eh salah, aku ini orang yang ramah,
baik hati, tidak sombong, rajin menabung, sayang kedua orang tua, rajin
bekerja, dlsb, alias dan lain sebagainya. Betul-betul narsis tingkat dewa.
Oke.
Kembali ke masalah semula. Kabar heboh itu tentu saja tentang si Arlyna. Kamar
gadis itu berseberangan dengan kamarku di lantai atas. Dia tinggal sendiri.
Demikian juga aku. Aku mendapatkan tempat kost ini dari temanku, Lia, yang
telah tinggal di sini lebih dulu.
"Tempatnya
enak lho, Ris. Deket jalan besar. Deket juga dengan kost para cowok, sekalian
bisa cuci mata, kan?" promosinya genit selangit.
Heran juga
ini anak. Kalau lihat cowok cakep pasti langsung amnesia dengan harga kamar
kost yang cenderung naik mengikuti harga BBM. Aku sih tertarik pindah ke situ
bukan lantaran kemakan promosinya si Lia yang seperti iklan pasta gigi itu,
tetapi dikarenakan tempat kostku yang lama sedang dibongkar karena katanya mau
diperluas lagi bangunannya. Dan mungkin benar juga kata Lia, bisa sekalian cuci
mata. Ups!!
Singkat
kata, singkat cerita, akhirnya aku pindah juga. Dan tahulah aku kabar tentang
si Arlyna itu.
"Hati-hati
dengan si Arlyna itu lho, Ris. Nanti kamu bisa ikut-ikutan seperti dia,"
kata si Wina, salah satu penghuni tempat kost ini juga.
Aku jadi
penasaran. Menurutku Arlyna itu baik. Tiap pagi saat aku membeli sarapan di
warung depan selalu ketemu. Dan dia selalu tersenyum padaku. Memang, kalau
pulang dia selalu malam. Paling tidak setelah lewat jam 21.00. Tetapi itu kan
urusan masing-masing. Aku tidak ingin menuduh dia yang bukan-bukan. Kata pak ustadz,
su'uzon itu salah satu dosa besar.
"Ris,
ditunggu Nurul dari tadi," kata Ardea saat aku pulang dan ketemu dia di
gang depan.
"Sekarang
dimana?" tanyaku.
"Tuh,
di tempat kost lagi ngobrol sama Arlyna," jawab Ardea sambil lalu.
Segera
kupercepat langkah kaki ku. Kasihan juga Nurul yang sudah menunggu dari tadi.
"Makasih
ya, Lyn, udah nemenin Nurul," kata ku tersenyum sambil mengajak Nurul ke
kamarku di lantai atas.
"Kamu
gimana, sih? Ditungguin lama banget," semprot Nurul begitu masuk ke
kamarku.
"Sorry,
tadi aku harus ke supermarket dulu beli keperluan wanita. Jadi kita pergi
sekarang?" jawabku membela diri.
"Yaiyalah.
Ngapain aku nunggu lama kalau nggak jadi," sungutnya.
Malam telah
larut. Emangnya gula?
Semua
makhluk di rumah kost ini sepertinya sudah terbang ke alam mimpi masing-masing.
Tapi tidak denganku. Sejak tadi sore, aku harus bolak-balik ke kamar kecil berhubung perut terasa sakit. Mules.
Mungkin ini efek kebanyakan makan rujak tadi siang.
Jam dinding
menunjuk angka 23.00. Perlahan aku keluar kamar. Sepi. Setengah berlari aku
menuju ke kamar kecil sambil menahan sesuatu yang ingin mendesak keluar. Ah, setelah hampir 10 menit mendekam di kamar
kecil, aku kembali ke kamar dengan perasaan lega dan bahagia.
Melewati
kamar Arlyna, aku terkejut. Samar-samar kudengar isak tangis. Kuntilanakkah??
Atau???? Tiba-tiba saja bulu kudukku meremang. Tapi sepanjang sejarah hidupku,
aku tak pernah melihat apa itu hantu, setan, dan sejenisnya. Dan itu sudah
cukup menyalakan rasa keberanianku untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam
kamar Arlyna. Sedikit berjingkat, kutempelkan telingaku ke pintu kamar Arlyna.
Dan semakin jelas. Itu bukan suara kuntilanak. Itu suara tangisan Arlyna. Belum
habis keterkejutanku, mendadak pintu di depanku terbuka. Aku diam sekaligus
kaget. Demikian juga Arlyna. Matanya terlihat sembab. Rasa terkejut nampak
jelas di wajahnya melihatku berdiri di depan kamarnya.
"Eh,
kamu, Ris? Belum tidur?" ujarnya gugup.
"Tadi
sudah, tapi terbangun gara-gara sakit perut. Kamu belum tidur juga?" tanyaku.
"E...e..
sudah tadi, tapi ini mau ke belakang dulu," kata Arlyna sambil berjalan ke
kamar kecil.
Aku
terdiam. Kupandangi punggung gadis yang berlalu di depanku. Jelas, Arlyna tadi
menangis. Matanya juga terlihat sembab. Ada apa, ya? Banyak pertanyaan berkelebatan
di otakku. Bukannya apa-apa, tetapi sebagai sesama penghuni rumah kost ini,
tentu tak ada salahnya kalau aku bisa membantu masalah yang sedang dihadapi
teman. Ah, sudahlah. Besok saja aku cari tahu tentang hal itu, kata hatiku
sambil masuk kembali ke kamar dan melanjutkan tidur yang tadi sempat terputus.
Sampai
akhirnya aku tidur dengan beribu pertanyaan di otakku.
"Ris,
bangun.... masuk kuliah nggakk??" ketukan di pintu yang bertubi-tubi
mengagetkanku. Kulirik jam meja di sempingku. Jam 06.15 menit! Ya, Tuhan,
padahal jam 06.30 aku ada mata kuliah.
Ini gara-gara perut mules semalaman yang membuat aku bangun kesiangan. Lagipula
penghuni di rumah ini kok tidak ada yang membangunkan aku pagi-pagi, sih, rutukku
mencari kambing hitam. Dan kambing hitam memang selalu jadi sasaran kemarahan
orang-orang tak bertanggungjawab. Kasihan benar nasib si kambing hitam.
Dan
parahnya lagi aku tak sempat shalat Subuh pula. Ampuni, Ya Allah. Dengan sistem
mandi ala bebek aku segera menyelesaikan mandiku dan bergegas pergi ke kampus.
Beruntung, begitu keluar gang ketemu Isna dengan motor maticnya. Ah, Tuhan maha
baik, thanks God!
Dengan
semangat membara, tak kusia-siakan bantuan dari Allah ini. Aku segera naik di
belakang Isna. Beginilah nasib anak kost, begitu mendapat sesuatu yang gratis
akan diterimanya dengan senang hati. Dan memang itu yang ditunggu.
******
TV di ruang
tamu masih menyala. Berarti masih ada makhluk yang belum tidur selarut ini.
Padahal ini sudah hampir dini hari. Aku sendiri bangun karena tadi belum sempat
shalat Isya'. Selesai shalat Maghrib tadi, aku langsung tidur.
Perlahan,
aku melangkah ke ruang tamu. Aku ingin tahu siapa yang masih menonton televisi.
Jangan-jangan, ada setan yang iseng menyalakan pesawat televisi seperti yang
ada di film-film horor itu. Tapi mana mungkin di rumah ini ada setannya. Suka
nonton tivi lagi.
Pelan-pelan
kuturuni anak tangga yang menghubungkan lantai atas dan lantai bawah. Tanpa
mengeluarkan suara, aku mencoba mendekat ke kamar tamu. Dan benar, itu bukan
setan. Kulihat Arlyna sedang asyik menonton siaran televisi. Aku menarik nafas
lega.
"Belum
tidur, Lyn?"sapaku sepelan mungkin agar tidak mengagetkannya. Siapa tahu
dia punya riwayat sakit jantung. Kan bahaya.
"Eh,
kamu, Ris. Kok kamu juga belum tidur?"
Ini anak sedikit
ngaco kali. Ditanya malah balik nanya.
"Tadi
terbangun mau ambil wudhu. Tadi belum shalat Isya'. Baru pulang?" tanyaku.
"Iya.
Tapi belum ngantuk. Iseng aja nyalain tv biar segera ngantuk," jawab
Arlyna.
"Ehm,
kalau gitu aku ke atas dulu, ya? udah malem banget, nih," kataku sambil
berniat balik ke atas.
"Ris,
sini dulu deh. Aku mau bicara," kata Arlyna bangkit dari kursinya.
"Ada
apa?" tanyaku sambil duduk di depannya.
"Kamu
tentu sudah mendengar cerita mengenai aku. Semua orang di sini pasti sudah cerita
padamu. Iya, kan?" desaknya.
Aku
terdiam. Sorot mata gadis di depanku menatap tajam ke arahku.
"Bagaimana
kalau lain kali saja kita membicarakan ini. Ini sudah terlalu malam, Lyn, takut
mengganggu yang lain," kataku menghindar. Bukan apa-apa, aku belum siap
untuk menceritakan yang aku dengar selama ini.
"Boleh
kapan-kapan aku cerita sesuatu?"pintanya memohon.
"Tentu
saja. Aku siap membantu kalau kamu butuh bantuanku," jawabku meyakinkan
nya.
"Baiklah,
kapan-kapan saja aku cerita padamu. Makasih, Ris, selamat tidur," kata
Arlyna lega.
Kutinggalkan
gadis itu. Sekilas, sebelum aku meninggalkannya, aku menangkap sorot mata itu
seperti menyimpan sesuatu. Entah apa. Semoga saja suatu saat dia mau
menceritakannya padaku.
*******
Jam 01:00
dini hari. Aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu karena ingin menjalankan
shalat malam. Kembali aku mendengar isak tangis itu. Kamar Arlyna. Ah, ada apa
lagi dengan gadis itu? Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengetuk pintu
kamarnya.
"Arlyna....
Lyn.... ," aku memanggil namanya
pelan.
Diam. Tak
ada suara. Apakah aku tadi salah dengar? Ah, tidak mungkin. Jelas itu bukan
suara kuntilanak.
"Lyn,
aku Risti. Boleh aku masuk?" kuulangi panggilanku.
"Masuk
saja, Ris. Pintu tidak dikunci," serak jawaban dari dalam kamar.
Pintu kubuka
perlahan. Dan pemandangan di dalamnya membuat aku terpekik kaget.
"Ya,
Allah. Apa yang kamu lakukan, Lyn?" tanyaku panik.
Di depanku,
Arlyna duduk di lantai dengan mata sembab. Rambutnya kusut masai. Sebotol racun
serangga ada di genggamannya. Dari pemandangan di depanku, aku
yakin Arlyna tidak sedang mengusir nyamuk di kamarnya.
"Kenapa
kamu melakukan hal bodoh ini, Lyn?" kataku sambil memapah tubuh mungil itu
ke tempat tidur. Ah, gadis semungil camar ini rupanya sedang mengalami tekanan
yang berat. Kusodorkan gelas berisi air putih.
"Minumlah
dulu. Setelah tenang baru kamu cerita padaku, siapa tahu aku bisa
menolong," hiburku.
"Aku
ingin mengakhiri semua beban yang menimpa hidupku ini, Ris. Aku bosan dengan
kehidupanku," isak Arlyna setelah menandaskan satu gelas air putihnya.
"Ceritakan
padaku apa yang terjadi?"
Kurengkuh
pundak ringkihnya.
"Aku
merasa hidup tak pernah adil padaku Ris. Bertahun-tahun aku mencoba melupakan
kejadian-kejadian buruk di sekelilingku tapi sulit sekali. Kau tahu, kenapa aku
sampai ke kota ini?" tanya Arlyna.
Aku
menggeleng. Kubiarkan gadis itu menuntaskan emosinya.
"Tiga
tahun lalu Mama menikah lagi karena Papa meninggal. Pada awal pernikahan, ayah
tiri ku itu baik kepada ku dan adikku. Tetapi setelah satu tahun tinggal
serumah, ternyata dia tak lebih dari laki-laki bejat yang memuakkan.
Berulangkali dia mau berbuat kurang ajar padaku. Tiap kali aku lapor ke mama,
mama hanya diam dan membiarkan saja. Aku tak kuat. Selepas lulus SMA aku
memutuskan kabur dari rumah dan tiba di kota ini. Untuk biaya kuliah dan
kebutuhan sehari-hari aku bekerja sebagai cleaning service. Itulah makanya aku
sering pulang malam karena harus lembur untuk menutup kebutuhanku. Tetapi
teman-teman di sini mengira aku sebagai wanita nakal. Aku memang tidak pernah
menceritakan tentang pekerjaanku ini kepada siapapun. Dan tadi siang, aku
dikeluarkan dari tempatku bekerja karena ada teman yang iri dan memfitnahku.
Aku bingung karena tak punya pekerjaan lagi. Aku tak tahu harus bagaimana lagi
bertahan hidup sekarang. Tadi sempat terlintas untuk bunuh diri
saja,"cerita Arlyna panjang lebar.
Aku masih
diam. Pikiranku juga buntu. Untuk sesaaat keadaan benar-benar hening. Aku tidak
mengira perjuangan hidup gadis ini begitu berat.
"Kenapa
kamu harus nekat mau bunuh diri?" tanyaku memecah sunyi.
"Aku
merasa tak punya siapa-siapa lagi sekarang. Sejak kuputuskan untuk kabur, aku
tak pernah tahu keadaan di rumah. Dan aku merasa sendirian di sini,"
jawabnya.
"Kamu
tidak sendiri, Lyn. Masih banyak jalan yang bisa kamu tempuh. Sabar, ya. Kalau
ada apa-apa aku siap membantu, kok. Maaf, kamu muslim?" tanyaku hati-hati.
Dia mengangguk.
"Tapi
sudah lama aku melupakan Tuhan karena sepertinya Tuhan pun tak peduli
padaku," jawabnya lemah.
Aku
tersennyum menghiburnya.
"Setiap
permasalahan ada jalan keluarnya. Kamu mau kalau malam ini kita shalat
berjamaah?" tawarku memberi jalan keluar. Karena untuk saat ini hanya itu
yang mampu aku lakukan.
"Apakah
Tuhan masih mau mendengar do'a ku? Telah lama kau melupakanNya," jawabnya
ragu.
"Percaya
dan jangan berprasangka buruk. Tuhan sesuai prasangka hambaNya. Dan yakinlah
pasti ada jalan keluar. Yuk," ajakku sambil bangkit dan keluar kamar.
Malam itu, kami shalat malam berjamaah dan berdo'a bersama-sama agar diberikan
jalan keluar.
*******
Siang
terasa sangat gerah di kamar. Aku yang sedang berbaring sambil membaca majalah
terkejut ketika Arlyna tergopoh-gopoh masuk ke kamarku. Semenjak kejadian malam
itu, sudah hampir dua minggu yang lalu, Arlyna menjadi akrab padaku.
"Ris,
makasih ya. Kamu memang sahabat terbaikku. Berkat nasehatmu, aku kini mencoba
untuk menjadi lebih tenang. Tadi aku telfon mama, dan katanya ayah tiriku
sekarang sudah tidak tinggal serumah lagi dengan mama. Kata mama dia pergi
dengan teman wanitanya dan ditangkap polisi karena kasus narkoba. Tak ada lagi
teror di rumahku. Besok aku mungkin akan balik ke Jakarta dan tinggal lagi
sama mama," ceritanya begitu
menggebu-gebu. Gurat kesedihan itu kini tak ada lagi.
"Syukurlah
kalau begitu. Betul kan kataku, dibalik kesulitan ada tersembunyi jalan keluar yang kita tidak
sangka," jawabku.
Gadis
mungil di depanku itu tersenyum dan memelukku erat.
"Tapi
aku sedih harus berpisah dengan kamu," katanya lirih.
"Aku
juga. Nanti jangan lupa sering telfon kesini, ya?" ujarku terharu.
Kami
mempererat pelukan seperti dua saudara kembar yang sudah lama terpisah jauh,
sangat jauh. Ada rasa haru sekaligus senang, karena camar kecil itu akhirnya
akan pulang ke pangkuan keluarganya. Dia tak harus mengembara sendirian di
hamparan lautan kehidupan ini.
Kami masih
berpelukan. Tak peduli ketika teman-teman ku bengong di depan pintu.
ceritanya lumayan.koreksian cari sendiri. aku dah ngantuk mau tidur sampai nanti
BalasHapus