Entah mengapa hujan
senja kali ini berwarna biru. Mungkin ini lebam karna dihantam rindu
bertalu-talu
#
Dan sunyi
menjalari setiap lekuk hati, memahat luka nganga di suwung semesta
#
Tentang remang malam,
saat bulan meneteskan bulir-bulir kenangan tentang masa silam; kunamakan ini
kesunyian
#
Dari getas ranting
kenangan menjelma daun kering, dibawa angin pada sebuah subuh yang hening
#
Menangislah, jika
dengan air mata kau mampu mencerna cinta yang kau angankan
#
Ada hal-hal yang tak pernah selesai kita utarakan,
aksara-aksara yang berkelindan di ingatan; gagap yang diam
#
Selalu saja, saat
pagi datang kita bergegas menutup buku kenangan yang tak pernah usai kita baca
#
Ada hal-hal yang tak pernah selesai kita utarakan,
aksara-aksara yang berkelindan di ingatan; gagap yang diam
#
Sepi menetes dari pucuk-pucuk
rimbun bambu, menimang rindu, melelapkan kenangan pada akar-akar kesunyian
#
Di remang
rembulan, kenangan menjelma menjadi gumpal gemawan, berarak melagukan bait-bait
kesepian
#
Di tepian
sunyi, kunang-kunang berdiam diri menyesap sepi dalam dunia yang tak ku kenali;
mungkin negri mimpi
#
Ada kepak sayap
angin di langit malam, membawa bulir hujan bersama sehelai kenangan dalam gigil
rindu yang kian tak berkesudahan
#
Jika senja tak mampu
membebat luka, mungkin angin bisa menunjukkan jalan kembali ke rumah tempat
duka menemukan pelabuhannya; dermaga cinta
#
Sepasang tangan mungil
anak-anak waktu gemulai menarikan tarian rindu, di cekung matanya, air mata menganak
sungai
#
Dan ranum
simalakama begitu menggoda, memenjarakan kita dalam dilema; akan diberikan
kepada siapa?
#
Nyanyian rimba, anak
anak angin yang bercengkrama, betapa kenangan merimbun di sudut telaga; berbuah
luka
#
Pada matamu yg
langit,pagi mencairkan segala gigil meski mendung tebal menggantung, meranumkan
rindu yg pahit
#
Mendung berarak di
langit utara, membawa serta nyanyian purba yang dulu sempat membuat kita lena--
Cinta
#
Selalu; aku tak ingin
beranjak dari jarakmu yg hanya sedepa di depanku, merajut aksara, memilin kata
menjadi selembar langit berwarna biru
#
Lalu
embun-embun itu bercengkrama dg anak-anak angin, menguarkan gelak, memetik
seikat hujan yang berwarna oranye
#
Di matamu
aku menemukan pagi rekahkan pintu langit dgn sebaris cahaya, mengelus lembut
lumut gunung, dan aku takjub dgn kekaguman yg ngungun
#
Karna kau lah bintang
hatiku, tempat paling terang di saat yang lain memilih gelap sebagai tempat
untuk berdiang
#
Sebentar lagi hujan
akan menyambangi kotamu, biarkan dia menetes di ceruk matamu, akan kau lihat,
betapa sepi tak mampu membunuhku
#
Pada silir
angin senja yang bercengkrama, betapa lena kita menjelajah, luas sawana,
beriring dalam gelak; menyatukan rasa
#
Hujan tak bercerita
tentang apapun, dia hanyalah teman setia waktu melamun
#
Sepi ini koloni dari
negeri yg jauh, menghamburkan begitu banyak mesiu rindu, menebar partikel debu
yg membuat sesak nafasku; kehilanganmu
#
Begitu giras, sepi
berlarian di sepanjang teras, menjelajah ruang-ruang yang tak sempat terjamah
matahari yang kadang menyalak keras-keras
#
Begitu saja,
aku terdampar di sebuah negeri asing, di mana segalanya seakan terasa basah
sepanjang musim--air mata kian menguning
Hujan selalu begitu,
menghadirkan sendu tentang hijau semak-semak pakis yang terkadang membuatku
menangis
#
Lelaplah segala letih
yang telah merajah di segala tempat yang telah kau jamah; aku hanyalah keping
malam yang demikian lelah menata langkah
#
Lalu sentuh rindumu
mencairkan beku, menjalarkan segala hangat pada dinding malam yang kian pekat
#
Ada pekik
hening yang begitu bening ketika langit mengirimkan cahaya pagi; menelusup di
rerimbun bambu-bambu kuning
#
Angin membawa doadoa
menuju samodera, dan awan menerjemahkannya menjadi hujan di utara; kita
menampungnya sebagai penyembuh lukaluka
#
Liuk bunga asoka menadah embun yang bergelayut di basah daun, betapa
pagi adalah saat di mana rindu riuh mengalun
#
Ada wangi bunga
kemuning tertinggal di basah pagi, di mana sepasang kenangan semalam
bercengkrama di kotak mimpi
#
Di beranda tua,
seorang gadis menatap rembulan yang berjelaga; di matanya sepi menarikan tarian
luka dari mimpi yang purba
#
Berteduhlah di
berandaku, kekasih, telah kusiapkan sebuah pembaringan biru tempat kita
melelapkan rindu
#
Ada remang
kejora berpendar di beranda malam, melangitkan doa yg kutitipkan pada angin yg
berembus di hutan cemara
Jika senja
telah usai, kan kurangkai sebait doa menjadi selimut malam yang kelak menjagamu
dari gigil rindu yang merinai
#
Jika senja datang
mengetuk jendelamu, sambutlah ia dengan segenap degup di dadamu; rindu yang kan menjagamu
#
Jika senja jatuh di
berandamu, itu aku yang turut serta menjemputmu, menyalakan lentera rindu di
sekat hatimu
#
Seikat hujan jatuh di
bawah pohon kenanga, di lengannya senja mengguratkan sebait puisi yang tak
bernama
#
Aku terdiam mengeja
setiap aksara di lembar kenangan, memastikan tak ada lagi luka yang tersimpan
di deretan abjad yang kau tuliskan
#
Sepotong senja
berwarna jingga pernah kusimpan untukmu. Pandangilah, saat senja di langit
kotamu berlangit kelabu
#
Dan di
selubung malam, angin meluruhkan daundaun kenangan, jatuh melayang di hamparan
bayang kelam
#
Kukembarai malam ditemani
rembulan yang meremang sendu, satu tempat kutuju; hatimu
#
Sempat kutitipkan
rinduku pada angin. kelak, malam akan menjatuhkannya menjadi embun yang
membasah di hijau dedaunan
#
Tak kutemukan kerlip
bintang di langit malam, apakah luka begitu merajam hingga kejora pun ikut
padam?
Rerintik embun mulai
jatuh di lembar daun-daun, dan malam mendekap sepi di antara gigil rindu yang
kian merimbun
#
Malam jatuh sempurna
di halaman; bulan kusam, dan angin melagukan nyanyian-nyanyian hitam
#
Dari sepi sebuah
puisi, pagi melangitkan doa dari sebuah hati menjadi bilah-bilah cahaya yang
kelak kau beri nama cinta
#
Di selasar
pagi, apa yang mampu kau hikmati? Mungkinkah sepi? Atau sekeping kenangan yang
tak mau pergi?
#
Ada sisa cahaya
rembulan yang menempel di langit ingatan, tentang sederet aksara yang tak usai
kita eja; kerinduan yg hampa
#
Kutanyakan pada pagi
adakah rahasia dalam dadamu? Mungkin degup rindu meski hanya pelan; adakah
untukku?
#
Kau bayangkan seperti
apa aku di pagimu? Sebagai embun atau sebatang ranting tempat matahari menitip
hangat nya?
#
Dan embus
angin di reranting cemara adalah aksara, bersama kita coba mengeja rindu yang
kian pekat, segelap senja yang jatuh di semua tempat
#
Sebab senja yangjatuh
di matamu, adalah pelataran tempat ku singgah, dimana rapuhku menambatkan langkah
#
Seperti perang Baratayudha
di padang
kurusetra, rinduku; amuk dendam di dada paling dalam
#
Pada pagi, malam
menitipkan pesan kerinduan yang diterjemahkan menjadi bebulir embun di basah
rerumputan
#
Maka langitkan
rindumu, dan pagi akan menyuarakannya menjadi bunyi; puisi pengusir sepi
#
Kelak saat pagi muncul
dari balik kabut, kita akan melukisi kanvas hidup kita dengan warna-warna
lembut; sebuah lukisan perjalanan hidup
#
Malam telah
menyeru sang fajar untuk terbit. Bukankah pagi adalah sesuatu yang baik untuk
menuliskan asa di kaki langit?
#
Aku tak sempat
mengucap salam pada malam, tapi aku menitipkan rindu
di setiap tetes embun yang melekat di pucuk-pucuk daun
#
Kita saling diam
menunggu kereta, mencoba menemu kata yang terpenjara, hingga kereta tiba dan
kau menaikinya tak jua kita mampu mengucap apa
#
Lalu kereta
menjelma menjadi lorong waktu, membawa pergimu, dan menyisakan selembar
kenangan yang kubaca diamdiam
#
Lalu di tempat entah,
jauh yang tak terjamah, secuil rindu ikut terbawa laju kereta, berderak seperti
gerak roda-roda tua
#
Kutitipkan ia, rindu
yang tak sempat kau baca, pada embus udara yang menelusup di jendela kereta
Pun gigil kerinduan
menadah embun malam di sisi hutan; pembasuh luka-luka yang berdiam di ingatan
#
Begitu lembut
angin mengembus di sela rimbun bunga sakura, cerlang kejora itu; penuntun tatih
lemah langkahku; menggapai rembulan hatimu
#
Wangi seroja, memenuh
setiap sudut semesta, begitu harum aroma kerinduan, seiring mentari pulas di
peraduan
#
Biarkan aku tetap
terluka, jika dengan begitu aku bisa menikmati makna sebuah cinta
#
Gerisik daun tebu
menyapaku di antara angin musim yang tak menentu. Ilalang membisu, menatap
kosong langit yang tersaput awan kelabu
#
Senja kelabu tua,
saat kita berlarian di bawah mega tanpa langit jingga, menepikan luka-luka
#
Bejana rindu
telah retak,kini kita mencoba menepis jarak,didera waktu yang terus berdetak
#
Pada kepak sayap angina
dengarlah segala rinduku yang berdetak, segala inginku yang berkehendak
#
Kelak, hujan akan
menaburkan kenangan menjadi butir-butir harapan, di sebuah negeri yang kita
namakan sepi
0 komentar:
Posting Komentar