WHAT'S NEW?
Loading...

sajak twitter


Entah mengapa hujan senja kali ini berwarna biru. Mungkin ini lebam karna dihantam rindu bertalu-talu
#
Dan sunyi menjalari setiap lekuk hati, memahat luka nganga di suwung semesta
#
Tentang remang malam, saat bulan meneteskan bulir-bulir kenangan tentang masa silam; kunamakan ini kesunyian
#
Dari getas ranting kenangan menjelma daun kering, dibawa angin pada sebuah subuh yang hening
#
Menangislah, jika dengan air mata kau mampu mencerna cinta yang kau angankan
#
Ada hal-hal yang tak pernah selesai kita utarakan, aksara-aksara yang berkelindan di ingatan; gagap yang diam
#
Selalu saja, saat pagi datang kita bergegas menutup buku kenangan yang tak pernah usai kita baca
#
Ada hal-hal yang tak pernah selesai kita utarakan, aksara-aksara yang berkelindan di ingatan; gagap yang diam
#
Sepi menetes dari pucuk-pucuk rimbun bambu, menimang rindu, melelapkan kenangan pada akar-akar kesunyian
#
Di remang rembulan, kenangan menjelma menjadi gumpal gemawan, berarak melagukan bait-bait kesepian
#
Di tepian sunyi, kunang-kunang berdiam diri menyesap sepi dalam dunia yang tak ku kenali; mungkin negri mimpi
#
Ada kepak sayap angin di langit malam, membawa bulir hujan bersama sehelai kenangan dalam gigil rindu yang kian tak berkesudahan

#
Jika senja tak mampu membebat luka, mungkin angin bisa menunjukkan jalan kembali ke rumah tempat duka menemukan pelabuhannya; dermaga cinta
#
Sepasang tangan mungil anak-anak waktu gemulai menarikan tarian rindu, di cekung matanya, air mata menganak sungai
#
Dan ranum simalakama begitu menggoda, memenjarakan kita dalam dilema; akan diberikan kepada siapa?
#
Nyanyian rimba, anak anak angin yang bercengkrama, betapa kenangan merimbun di sudut telaga; berbuah luka
#
Pada matamu yg langit,pagi mencairkan segala gigil meski mendung tebal menggantung, meranumkan rindu yg pahit
#
Mendung berarak di langit utara, membawa serta nyanyian purba yang dulu sempat membuat kita lena-- Cinta
#
Selalu; aku tak ingin beranjak dari jarakmu yg hanya sedepa di depanku, merajut aksara, memilin kata menjadi selembar langit berwarna biru
#
Lalu embun-embun itu bercengkrama dg anak-anak angin, menguarkan gelak, memetik seikat hujan yang berwarna oranye

#
Di matamu aku menemukan pagi rekahkan pintu langit dgn sebaris cahaya, mengelus lembut lumut gunung, dan aku takjub dgn kekaguman yg ngungun
#
Karna kau lah bintang hatiku, tempat paling terang di saat yang lain memilih gelap sebagai tempat untuk berdiang
#
Sebentar lagi hujan akan menyambangi kotamu, biarkan dia menetes di ceruk matamu, akan kau lihat, betapa sepi tak mampu membunuhku
#
Pada silir angin senja yang bercengkrama, betapa lena kita menjelajah, luas sawana, beriring dalam gelak; menyatukan rasa

#
Hujan tak bercerita tentang apapun, dia hanyalah teman setia waktu melamun
#
Sepi ini koloni dari negeri yg jauh, menghamburkan begitu banyak mesiu rindu, menebar partikel debu yg membuat sesak nafasku; kehilanganmu
#
Begitu giras, sepi berlarian di sepanjang teras, menjelajah ruang-ruang yang tak sempat terjamah matahari yang kadang menyalak keras-keras
#
Begitu saja, aku terdampar di sebuah negeri asing, di mana segalanya seakan terasa basah sepanjang musim--air mata kian menguning
Hujan selalu begitu, menghadirkan sendu tentang hijau semak-semak pakis yang terkadang membuatku menangis
#
Lelaplah segala letih yang telah merajah di segala tempat yang telah kau jamah; aku hanyalah keping malam yang demikian lelah menata langkah
#
Lalu sentuh rindumu mencairkan beku, menjalarkan segala hangat pada dinding malam yang kian pekat
#
Ada pekik hening yang begitu bening ketika langit mengirimkan cahaya pagi; menelusup di rerimbun bambu-bambu kuning

#
Angin membawa doadoa menuju samodera, dan awan menerjemahkannya menjadi hujan di utara; kita menampungnya sebagai penyembuh lukaluka
#
Liuk bunga asoka menadah embun yang bergelayut di basah daun, betapa pagi adalah saat di mana rindu riuh mengalun
#
Ada wangi bunga kemuning tertinggal di basah pagi, di mana sepasang kenangan semalam bercengkrama di kotak mimpi
#

Di beranda tua, seorang gadis menatap rembulan yang berjelaga; di matanya sepi menarikan tarian luka dari mimpi yang purba

#
Berteduhlah di berandaku, kekasih, telah kusiapkan sebuah pembaringan biru tempat kita melelapkan rindu
#
Ada remang kejora berpendar di beranda malam, melangitkan doa yg kutitipkan pada angin yg berembus di hutan cemara
Jika senja telah usai, kan kurangkai sebait doa menjadi selimut malam yang kelak menjagamu dari gigil rindu yang merinai
#
Jika senja datang mengetuk jendelamu, sambutlah ia dengan segenap degup di dadamu; rindu yang kan menjagamu
#
Jika senja jatuh di berandamu, itu aku yang turut serta menjemputmu, menyalakan lentera rindu di sekat hatimu
#
Seikat hujan jatuh di bawah pohon kenanga, di lengannya senja mengguratkan sebait puisi yang tak bernama
#
Aku terdiam mengeja setiap aksara di lembar kenangan, memastikan tak ada lagi luka yang tersimpan di deretan abjad yang kau tuliskan
#
Sepotong senja berwarna jingga pernah kusimpan untukmu. Pandangilah, saat senja di langit kotamu berlangit kelabu
#
Dan di selubung malam, angin meluruhkan daundaun kenangan, jatuh melayang di hamparan bayang kelam
#
Kukembarai malam ditemani rembulan yang meremang sendu, satu tempat kutuju; hatimu
#
Sempat kutitipkan rinduku pada angin. kelak, malam akan menjatuhkannya menjadi embun yang membasah di hijau dedaunan
#
Tak kutemukan kerlip bintang di langit malam, apakah luka begitu merajam hingga kejora pun ikut padam?
Rerintik embun mulai jatuh di lembar daun-daun, dan malam mendekap sepi di antara gigil rindu yang kian merimbun
#
Malam jatuh sempurna di halaman; bulan kusam, dan angin melagukan nyanyian-nyanyian hitam
#
Dari sepi sebuah puisi, pagi melangitkan doa dari sebuah hati menjadi bilah-bilah cahaya yang kelak kau beri nama cinta
#
Di selasar pagi, apa yang mampu kau hikmati? Mungkinkah sepi? Atau sekeping kenangan yang tak mau pergi?
#
Ada sisa cahaya rembulan yang menempel di langit ingatan, tentang sederet aksara yang tak usai kita eja; kerinduan yg hampa

#
Kutanyakan pada pagi adakah rahasia dalam dadamu? Mungkin degup rindu meski hanya pelan; adakah untukku?
#
Kau bayangkan seperti apa aku di pagimu? Sebagai embun atau sebatang ranting tempat matahari menitip hangat nya?
#
Dan embus angin di reranting cemara adalah aksara, bersama kita coba mengeja rindu yang kian pekat, segelap senja yang jatuh di semua tempat
#
Sebab senja yangjatuh di matamu, adalah pelataran tempat ku singgah, dimana rapuhku menambatkan langkah
#
Seperti perang Baratayudha di padang kurusetra, rinduku; amuk dendam di dada paling dalam
#
Pada pagi, malam menitipkan pesan kerinduan yang diterjemahkan menjadi bebulir embun di basah rerumputan
#
Maka langitkan rindumu, dan pagi akan menyuarakannya menjadi bunyi; puisi pengusir sepi
#
Kelak saat pagi muncul dari balik kabut, kita akan melukisi kanvas hidup kita dengan warna-warna lembut; sebuah lukisan perjalanan hidup
#
Malam telah menyeru sang fajar untuk terbit. Bukankah pagi adalah sesuatu yang baik untuk menuliskan asa di kaki langit?
#
Aku tak sempat mengucap salam pada malam, tapi aku menitipkan rindu di setiap tetes embun yang melekat di pucuk-pucuk daun
#
Kita saling diam menunggu kereta, mencoba menemu kata yang terpenjara, hingga kereta tiba dan kau menaikinya tak jua kita mampu mengucap apa
#
Lalu kereta menjelma menjadi lorong waktu, membawa pergimu, dan menyisakan selembar kenangan yang kubaca diamdiam
#
Lalu di tempat entah, jauh yang tak terjamah, secuil rindu ikut terbawa laju kereta, berderak seperti gerak roda-roda tua
#
Kutitipkan ia, rindu yang tak sempat kau baca, pada embus udara yang menelusup di jendela kereta
Pun gigil kerinduan menadah embun malam di sisi hutan; pembasuh luka-luka yang berdiam di ingatan
#
Begitu lembut angin mengembus di sela rimbun bunga sakura, cerlang kejora itu; penuntun tatih lemah langkahku; menggapai rembulan hatimu

#
Wangi seroja, memenuh setiap sudut semesta, begitu harum aroma kerinduan, seiring mentari pulas di peraduan
#
Biarkan aku tetap terluka, jika dengan begitu aku bisa menikmati makna sebuah cinta
#
Gerisik daun tebu menyapaku di antara angin musim yang tak menentu. Ilalang membisu, menatap kosong langit yang tersaput awan kelabu
#
Senja kelabu tua, saat kita berlarian di bawah mega tanpa langit jingga, menepikan luka-luka
#
Bejana rindu telah retak,kini kita mencoba menepis jarak,didera waktu yang terus berdetak

#
Pada kepak sayap angina dengarlah segala rinduku yang berdetak, segala inginku yang berkehendak
#
Kelak, hujan akan menaburkan kenangan menjadi butir-butir harapan, di sebuah negeri yang kita namakan sepi

0 komentar:

Posting Komentar