WHAT'S NEW?
Loading...

cerpen: DENDAM SANG IBLIS



Jam berdentang sebelas kali. Pantulan gemanya merobek senyap di kampung kecil di kaki bukit itu. Malam terasa sunyi mencekam. Suasana terasa lengang dan mendirikan bulu roma. Meski bulan penuh di langit sana namun keadaan kampung  kecil itu seperti layaknya kota mati. Sementara kabut tipis yang menyelimuti seakan  tabir gaib yang melayang menebar ancaman dari dunia lain.
"Malam ini suasana sepi sekali. Kamu juga merasakan?" sebuah suara  membuka percakapan di sebuah gardu ronda. Tiga orang pemuda sedang duduk-duduk di sana.
"Iya, aku merinding nih," kata seorang pemuda yang berambut keriting.
"Dasar penakut. Kita kan bertiga. Masih ingat kata Pak Ustadz kemarin kan? Kalau satu orang penakut ditambah satu orang penakut, hasilnya harus berani. Apalagi kita sekarang ini bertiga. Ayo, keliling kampung lagi. Suasana seperti ini biasanya biasanya digunakan oleh orang-orang tak bertanggung jawab utuk berbuat hal yang tidak baik," ajak pemuda yang bertubuh kekar.
Lalu ketiganya beranjak dari tempatnya masing-masing. Sambil membawa kentongan dan senjata tajam untuk berjaga-jaga mereka berjalan beriringan menyusuri setiap sudut kampung kecil itu. Jarak tiap-tiap rumah yang agak berjauhan membuat dua orang di antaranya merasa sedikit ketakutan.
Malam semakin sunyi. Sesekali angin dingin berkesiur mendendangkan nyanyian penuh misteri. Awan hitam sesekali melintas pelan menghalangi sinar rembulan dan menghadirkan seribu bayangan hitam pepohonan laksana barisan tentara iblis yang siap meneror penghuni kampung.
Sesampainya di pinggir kampung, ketiganya berhenti sejenak. Dari tempat tersebut seluruh kampung terlihat jelas seperti gundukan tanah hitam dengan cahaya lampu di sana-sini. Nampak barisan rumah-rumah penduduk yang berdiri bisu. Sedang di sebelah selatan nampak pemakaman umum dengan sebuah pohon trembesi raksasa berdiri angker.
"Matikan senter kalian. Kita berhenti di sini untuk mengawasi sekeliling," kata si pemuda bertubuh kekar yang bernama Pramono. Di antara mereka bertiga, Pramono lah yang paling berani.
"Mengapa berhenti di sini, Pram? Di sini gelap banget," bisik pemuda yang berdiri paling belakang sambil kepalanya menoleh ke sekeliling.
"Di sini tempat yang paling gelap. Juga paling tinggi. Kita akan mudah mengawasi setiap penjuru kampung dari sini. Mad, kamu bawa golok, kan?" tanya Pramono kepada pemuda berkulit gelap yang bernama Rahmad.
Rahmad mendekat sambil menunjukkan goloknya.
"Kenapa kita harus berjaga di sini?" tanya Rahmad sedikit takut juga.
"Kamu masih ingat kata Mbah Darpo kemarin, kan? Setiap malam Jum'at Kliwon orang-orang yang mendalami ilmu gaib akan menguji ilmunya. Katanya sudah tiga malam berturut-turut di kampung kita ada cahaya-cahaya aneh yang keluar dari makam keramat itu. Juga ada suara-suara aneh yang menyeramkan. Hiiiiiiy....serem," kali ini si pemuda bertubuh tambun yang berbicara.
"Iya, mereka datang untuk mengambil kamu sebagai tumbal. Apalagi badan kamu gemuk, pasti lezat dijadikan persembahan untuk makhluk-makhluk gaib itu," ledek Rahmad.
"Ssssst jangan berisik. Kita duduk di sini dulu. Awas jangan sampai tertidur, apalagi kamu, Zul. Kalau tidur nanti kita tinggalkan di sini," kata Pramono mengingatkan Zul, si pemuda tambun itu.
Zul, si gendut hanya cemberut. Kebiasaan tidur di sembarang tempat kadang memang merepotkan teman-temannya.
"Ih, jangan dong, Pram. Tapi memang mataku ngantuk banget nih," kata Zul sambil menguap lebar.
Belum sempat Zul mengatupkan mulutnya dari kejauhan terlihat seleret cahaya berwarna kebiru-biruan terbang di atas kampung mereka. Menyerupai bola api. Cahaya itu melesat terbang dan menuju ke sebuah rumah. Sesaat setelah bola api  itu jatuh, cahaya menyebar dan berubah menjadi sekumpulan cahaya-cahaya kecil yang jumlahnya sangat banyak. Seperti kembang api, cahaya itu bergerak bersama-sama, berputar, kemudian menyatu kembali menjadi sebuah bola api dan kemudian perlahan-lahan mengecil dan menghilang seakan lesap di kegelapan.
Pramono dan teman-temannya hanya diam mematung memandangi kejadian tersebut. Mulut ketiganya ternganga tak mampu bersuara.
"A..a...aapa itu tadi, Pram?" kata Zul ketakutan sambil memeluk kuat tubuh Pramono.
"Entahlah, aku juga tidak tahu," kata Pramono sambil mencengkeram golok di pinggangnya kuat-kuat.
"Pram, kita pulang saja. Aku takut," kata Rahmad gemetar. Celananya terasa basah oleh air seninya sendiri.
"Sssst, jangan. Kita lihat dulu apa yang terjadi," kata Pramono menenangkan kedua temannya.
Tiba-tiba terlihat lagi bola api yang tadi telah hilang. Kini bola api itu melesat ke udara kemudian hilang di antara gumpalan awan-awan hitam yang tiba-tiba saja datang menyelimuti kampung kecil di kaki bukit itu. Suasana terasa kian mencekam. Bahkan suara binatang malam pun tak terdengar. Semuanya seakan takut untuk bersuara. Pramono dan teman-temannya masih terpaku di tempatnya. Keringat dingin  membanjiri tubuh mereka.
"Apa yang baru saja kita lihat, ya?" seru Pramono takjub.
"Mungkin itukah yang disebut pageblug itu? Kata orang-orang jaman dulu, kalau ada bola api jatuh dari langit pertanda akan ada banyak bencana. Aduh, kita pulang saja, yuk," rengek Zul seperti anak kecil.
"Ah, kamu selalu percaya hal-hal seperti itu. Kita sebaiknya turun dan lihat rumah siapa yang tadi didatangi cahaya itu. Sepertinya itu rumah Mbah Darpo. Ayo kita ke sana, aku penasaran dengan orang tua itu," ajak Pramono sambil menuruni bukit.
"Gila kamu, Pram. Mau apa kita ke sana? Lebih baik kita pulang saja," tolak Rahmad.
"Kalau kalian tidak ikut, aku sendiri yang akan ke sana," kata Pramono sambil terus berjalan.
"Eh.....aku ikut. Kita kan satu team, masa mau pulang sendiri-sendiri. Tidak solider itu namanya. Biar saja kalau Rahmad mau pulang. Ayo, Pram," Zul berlari mengikuti Pram.
"Tunggu, aku juga ikut. Aku mau tahu apa yang terjadi," susul Rahmad.
"Alaaah, padahal kamu takut kan kalau pulang sendiri," ledek Zul sambil mencibir.
Ketiganya segera berjalan ke rumah Mbah Darpo. Rumah itu nampak sepi. Bahkan terlihat sedikit angker dengan dua buah pohon beringin kembar di halamannya.
Pramono dan kedua temannya berjalan perlahan ke samping rumah, tempat di mana cahaya yang mereka lihat tadi jatuh. Tetapi mereka tak menemukan jejak apapun di sana. Dengan pandangan tajam ketiganya mengawasi setiap jengkal pekarangan rumah berbentuk joglo itu. Semuanya sunyi. Seakan tak ada kehidupan di dalamnya.
"Siapa itu di luar?" suara berat Mbah Dipo memecah hening malam.
Pramono, Zul, dan Rahmad terkejut mendengar suara berat dan serak itu.
Pintu terbuka. Derit daun pintu di tengah malam buta itu seakan jerit kematian yang datang dari alam antah berantah. Mengiris jiwa. Seorang lelaki tua berbadan kekar berdiri di tengah pintu kayu jati berukir gambar naga itu. Dia lah Mbah Darpo.
"Kami, mbah. Sedang ronda," jawab Pramono sambil mendekat.
"Oh, kalian rupanya. Bagaimana keadaan kampung kita malam ini. Aman, to?" tanya Mbah Darpo.
"Aman, mbah. Mbah Darpo belum tidur rupanya," jawab Zul.
"Tadi sudah, tapi bangun karena mau ke belakang. Mau mampir dulu, Nak Pram?" tawar laki-laki tua itu kepada Pramono dan kedua temannya.
Sekilas, Pramono menangkap seleret misteri di balik alis mata yang lebat itu.
'Terima kasih, mbah. Sudah terlalu malam, kami akan melanjutkan berkeliling dulu. Mari, mbah," kata Pramono mengangguk sambil undur diri.
"Hmmm.... hati-hati kalau begitu, ya," kata Mbah Darpo masih berdiri di tempatnya. Menunggu sampai Pramono dan kedua temannya hilang di telan kegelapan malam.
Sementara malam mulai merangkak menjemput dini hari. Udara dingin terasa meresap sampai ke tulang belulang. Seekor burung hantu terbang melintas malam, kemudian hinggap di salah satu dahan pohon beringin kembar.
#
"Barno gilaaaaa!!!! Dia mengamuk dan merusak rumah Pak Wirjan!" terdengar teriakan yang cukup keras di pagi subuh itu. Suasana masih lengang karena malam baru saja beranjak pergi.
Sambil berlari-lari memukul sebuah kentongan, seorang warga kampung berteriak-teriak membangunkan orang-orang yang masih terlelap. Suasana berubah menjadi gaduh. Mereka segera berhamburan keluar rumah untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk dan pakaian yang kusut mereka berkerumun di pinggir jalan untuk mencari tahu kejadian yang menimpa kampung mereka.
"Ada apa, ya?" tanya seorang ibu sambil mendekap bayinya erat-erat.
"Barno gila. Dia mengamuk dan merusak rumah Pak Wirjan. Seluruh kaca jendelanya hancur di pukuli," jelas si laki-laki pemukul kentongan.
Semua penduduk kampung kecil itu segera menuju rumah Pak Wirjan. Dan benar saja, rumah itu kini porak poranda. Rumah megah berlantai dua itu dalam kondisi berantakan. Kaca-kacanya remuk. Demikian juga pintu, jendela, dan dinding rusak parah. Sementara seorang laki-laki berdiri di halaman sambil membawa sebongkah batu yang cukup besar, dan kemudian dilempar ke dalam rumah.
Praaaangggg!!!!
Kaca-kaca kembali hancur berserakan. Ibu-ibu dan anak kecil menjerit ketakutan melihat kejadian itu. Laki-laki gila yang bernama Barno nampak tertawa kegirangan sambil melompat-lompat senang melihat pemandangan di hadapannya.
"Bagaimana ini, siapa yang berani menangkapBarno?" kata beberapa orang dalam kekhawatiran.
Semuanya diliputi kecemasan yang mendalam. Sementara Barno memulai kembali aksinya dengan melempari batu ke arah rumah yang sudah rusak itu.

Praaaanggg!!!!
Kembali terdengar bunyi kaca-kaca hancur.
"Cepat panggil dokter Puskesmas, atau cari istrinya agar membujuk Barno menghentikan aksinya. Kalau dibiarkan saja, bisa-bisa seluruh kampung dirusak oleh dia," perintah ketua RW setempat.
Seorang perempuan berlari-lari sambil menangis menghampiri Barno yang masih tertawa-tawa kegirangan. Dia lah Titik, istri Barno.
"Kang Barno eling, kang. Mari kita pulang. Jangan merusak rumah Pak Wirjan lagi ya, kang," bujuk Titik sambil menggandeng lengan suaminya.
"Tidak mau. Aku tidak mau pulang. Aku akan bunuh si Wirjan keparat yang telah menghancurkan hidupku itu. Di mana dia, hah!? Biar aku bunuh dia. Wirjaaannnnn..... keluar kamu! Ayo kita bertarung. Kita lihat siapa yang akan mati. Wirjaaannnnnnnnn!!!!!" teriak Barno semakin keras.
"Pak, tolong pegangi suami saya. Ikat saja biar bisa dibawa ke Puskesmas," kata Titik meminta bantuan.
Beberapa orang pemuda segera maju dan meringkus Barno. Hampir saja mereka kewalahan menghadapi Barno yang terus meronta-ronta dan berteriak-teriak tak menentu.
"Hahahahhahah.... mampus kamu, Wirjan! Seluruh keluargamu akan mati. Semuanya akan aku bunuh sebagai balas dendamku atas kelakuanmu. Tunggu saatnya, keluargamu akan mampus semuanya!" oceh Barno sambil berguling-guling di tanah berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu tubuhnya.
"Sudah, sekarang panggil dokter biar Barno segera ditangani, aku akan menghubungi Pak Wirjan," perintah ketua RW sambil membubarkan kerumunan orang-orang itu.
Mereka bubar. Sementara, di balik sebuah jendela rumah yang cukup besar, nampak sepasang mata mengawasi orang-orang yang berlalu lalang melihat kejadian tersebut. Sebuah senyum menghias sudut bibirnya. Senyuman misterius.
Segera saja kabar tentang Barno yang gila merebak di segenap penjuru kampung kecil itu.
"Aneh, ya kok Barno bisa tiba-tiba menjadi gila seperti itu. Ada apa, ya?" bisik seorang ibu di warung sayuran sudut jalan.
"Iya, aneh banget. Padahal waktu kemarin dia pulang dari kota dan lewat di depan rumah saya masih biasa-biasa saja. Bahkan sempat mampir dan ngobrol dengan suamiku. Kok sekarang jadi seperti itu, ya?" timpal seorang ibu bertubuh gempal.
"Mungkin di diguna-guna oleh seseorang. Menurut kabar istrinya kan ada main dengan Mbah Darpo," kali ini si ibu berkulit kuning langsat menimpali.
"Hush, jangan menuduh begitu. Kita semua kan belum tahu yang sebenarnya. Jangan menyebar fitnah, bisa-bisa kampung kita akan celaka, lho," nasehat si ibu berbaju merah menengahi.
"Iya nih Bu Karta suka asal kalau ngomong. Kalau Mbah Darpo mendengar bisa celaka lho. Selama ini Mbah Darpo kan tidak suka berbuat aneh-aneh. Meski dia belum lama tinggal di sini, kelihatannya dia orang baik," kata si ibu penjual sayur.
"Sudah-sudah ayo pulang. Suami sudah kelaparan di rumah nunggu masakan kita," ajak si ibu berbaju merah tadi sambil melangkah pergi.
#
"Jadi sekarang bagaimana, Kang?" tanya Titik kepada laki-laki tua yang duduk di depannya.
"Aku juga masih bingung. Aku kira si Wirjan tadi ada di rumahnya. Sekarang di mana si Barno?" tanya laki-laki tua yang ternyata Mbah Darpo itu.
"Di rumah sedang tidur. Apakah Pak Wirjan sudah pulang?" tanya Titik memastikan.
"Tadi aku lihat dia sudah ada di rumahnya," kata Mbah Darpo.
"Lalu kapan rencana kita akan dimulai?" tanya Titik manja sambil meraih lengan kekar Mbah Darpo.
"Malam ini. Secepatnya aku ingin membalas dendam kepada laki-laki itu agar dia tahu bagaimana rasanya kalau hidupnya hancur. Sekarang kamu pulang saja, aku akan menyiapkan rencana kita. Ingat, jangan sampai ada orang yang tahu kamu keluar dari tempat ini," kata Mbah Darpo sambil membelai rambut panjang Titik yang tergerai.
"Beres, Kang. Aku akan hati-hati dan merahasiakan semuanya," kata perempuan muda itu sambil mengenakan selendang untuk menutupi wajahnya.
Dan memang peristiwa yang terjadi di kampung itu didalangi oleh keduanya. Sebuah persekongkolan iblis dengan latar belakang dendam. Rupanya memang benar apa yang selama ini dicurigai oleh warga kampung. Titik dan Mbah Darpo menjalin sebuah hubungan terlarang. Tetapi karena selama ini tak pernah ada bukti, warga hanya bisa menduga-duga. Mereka tidak berani bertindak karena belum pernah menangkap basah keduanya. Dan kejadian Barno menjadi gila memang hasil perbuatan Mbah Darpo.
Tak ada yang tahu bahwa berpuluh tahun lalu Darpo muda adalah pekerja di rumah Pak Wirjan. Dulu dia bernama Satrio. Akan tetapi akibat perbuatannya yang tercela, berselingkuh dengan istri Pak Wirjan, membuat pemuda itu diusir dari kediaman Pak Wirjan. Konon, Pak Wirjan menyuruh anak buahnya untuk menghabisi pemuda itu dan membuangnya ke hutan.
Itu adalah rahasia kelam berpuluh tahun lalu di kampung kecil itu. Dan kini pemuda yang dibuang itu, dan telah berganti nama menjadi Mbah Darpo muncul kembali. Dia mengubah nama dan penampilannya menjadi Mbah Darpo. Meski secara fisik telah jauh berbeda dan berubah, tetapi jiwa iblisnya tetap tak berubah. Dia mempunyai maksud keji yang tersembunyi.
Bersama Titik, istri Barno, mereka bermaksud menguras kekayaan Pak Wirjan. Apalagi sekarang Titik lah yang bekerja sebagai pembantu di rumah megah itu. Maka makin mudahlah rencana itu mereka jalankan. Dengan cara membuat Barno menjadi gila dan membunuh Pak Wirjan, maka mereka berfikir bahwa kejahatan mereka tidak akan terendus. Bagaimana mungkin seorang gila bisa dituntut di pengadilan? Sebuah rencana iblis yang jahat.
Hingga pada suatu pagi yang senyap.
"Barno kambuh lagi. Dia telah membunuh Pak Wirjan!" teriakan itu merobek sunyi di pagi yang berembun lembab.
Sementara di sebuah tempat, sang iblis tertawa puas. Dendam nya sudah terbalaskan.

1 komentar: Leave Your Comments

  1. Lumayan bagus ceritanya, ada satu kata di paragraph ke 3, kata biasanya memang sengaja 2 kali sebut?

    BalasHapus