Adisti
dengan sigap melompat ke dalam bus yang berhenti tepat di halte depan
kampusnya. Hujan masih turun meski tidak lagi sederas tadi saat Adisti keluar
dari kelasnya. Dilihatnya langit sebelah selatan yang nampak hitam pekat.
Mungkin nanti hujan akan turun lebih deras lagi, pikirnya galau.
Adisti melirik pergelangan
tangannya. Jam 16:39 menit. Gadis itu menghela nafas dengan kesal, karena
ternyata Dipo, kekasihnya, membatalkan janji untuk menemaninya pergi ke toko
buku. Secara mendadak, Dipo mengabarkan bahwa ada pertemuan mendadak dengan
kelompok pecinta alamnya karena salah satu anggotanya ada yang tertimpa
musibah. Ibunya meninggal dan harus pulang ke kampung halamannya di luar pulau
Jawa.
"Sorry ya, Dis. Aku nggak
bisa nganterin kamu. Kami ada pertemuan penting," itu alasannya.
Adisti cemberut. Sudah
berkali-kali rasanya Dipo membatalkan janjinya dengan alasan yang hampir sama.
Semuanya demi kepentingan team nya. Adisti kadang bisa memaklumi kegiatan
kekasihnya itu. Apalagi Dipo adalah ketua di kelompoknya tersebut. Tentu saja
segala tanggung jawab ada di pundaknya. Apalagi dalam waktu dekat ini katanya
akan melakukan pendakian, sekaligus pelantikan anggota baru di Gunung Sindoro
dan Gunung Sumbing di Jawa Tengah. Segala persiapan tentu harus di lakukan
secara matang.
Tetapi kenapa aku yang harus
selalu mengalah? Desah Adisti sambil menatap bulir-bulir huja yang jatuh di
jalanan. Tak bisakah sekali saja Dipo membatalkan pertemuan dengan kelompoknya,
atau setidaknya absen dari pertemuan sekali saja untuk sekedar menemaniku
menghabiskan waktu? Adisti kembali menghela nafas kecewa. Adisti kadang harus
menekan perasaan sepinya ketika harus melewatkan malam minggu dengan
kesendirian dan kesepiannya.
Toko Buku Gramedia, jam 17:15.
Adisti segera mencari buku-buku
yang dibutuhkannya. Perutnya sudah dari tadi memanggil minta jatah. Dari pagi
perutnya baru diisi sepotong roti. Dengan bergegas, Adisti menuju rumah makan
cepat saji yang ada di samping toko buku.
Pengunjung penuh sesak. Rupanya
banyak sekali pasangan anak muda yang ingin menikmati malam minggu dengan
makan-makan di tempat ini. Sulit juga menemukan bangku kosong. Hanya tersisa
satu bangku kosong di sudut ruangan. Itupun hanya satu. Sementara di depannya
sudah ada seorang cowok yang sedang asyik menyantap makanannya.
"Maaf, bangku ini sudah
dipesan?" tanya Adisti kepada cowok di depannya.
Sang cowok
menghentikan suapannya dan mengangkat wajahnya. Seulas senyum menghias bibir
tipisnya.
"Oh, silakan. Bangku ini
kosong," tawarnya ramah.
Adisti duduk dengan sedikit
jengah. Dia merasa tak nyaman duduk berhadapan dengan seseorang yang tidak di
kenalnya. Dia ingin secepatnya menyelesaikan makannya.
"Sendirian saja?"
tegur sang cowok memecah kediaman mereka.
"Seperti yang anda
lihat," jawab Adisti pendek.
"Malam Minggu begini sayang
lho kalau dilewatkan sendirian," sang cowok sedikit menggodanya.
"Bagi orang lain, mungkin.
Tapi menurutku biasa aja," sanggah Adisti.
"Oh ya, kita belum kenalan.
Namaku Bram," kata sang cowok sambil mengulurkan tangan.
Sedikit malas, Adisti menyambut
uluran tangan itu.
"Adisti. Sory, ya aku harus
segera pulang," jawabnya singkat.
"Eh, masih hujan lho. Kamu
pulang sendirian kan? Lebih baik jangan sekarang. Tunggu saja hujan
berhenti," saran Bram.
Adisti melihat keluar. Hujan
memang turun sangat deras. Bahkan lampu-lampu jalanan pun seakan tak mampu
menembus pekatnya gelap. Adisti gelisah. Berada dekat dengan seseorang yang
tidak dikenalinya membuat tingkat kewaspadaannya naik dua kali lipat.
Huh, seandainya tadi Dipo tidak
ada acara mendadak, tentu Adisti akan betah berlama-lama di tempat ini
menikmati guyuran hujan sekaligus menikmati indahnya lampu kota di bawah hujan.
"Tinggal di mana?"
Bram mencoba mencairkan kegelisahan Adisti.
Sedikit terpaksa, Adisti
menyebutkan alamatnya. Siapa tahu, cowok di depannya mengenal salah seorang
penghuni tempat tinggalnya.
"Lho, kalau begitu kita
tetanggaan. Kalau tidak percaya, kamu boleh cek di kartu pengenalku.
Sebentar," kata Bram seraya mengambil tanda pengenal dari dompetnya.
"Coba kamu lihat, alamat
ini dekat tempat tinggalmu, kan?" Bram mendekatkan kartu pengenal itu ke
Adisti. Adisti melihat alamat yang tertera di kartu pengenal itu memang dekat
rumahnya.
"Bagaimana? Masih
curiga?" tanya Bram.
Adisti masih diam. Jaman
sekarang, para penjahat selalu banyak akal. Adisti melihat keluar. Hujan telah
berhenti rupanya. Tinggal menyisakan gerimis tipis.
"Kalau kamu tidak
keberatan, kita bisa pulang bareng. Bukankah kita searah? Jangan khawatir, aku
tidak akan menculik kamu. Kamu sudah tahu alamatku, kan. Nanti kalau kamu aku
apa-apain, kamu bisa lapor ke polisi," Bram mencoba menghilangkan keraguan
yang tergambar di wajah Adisti.
Adisti masih diam. Jam hampir
menunjuk ke angka 21:00.
"Ayolah, Dis. Ini sudah malam,
lho. Bahaya kalau nanti kamu pulang kemaleman, dan sendirian pula. Mau
kan?" ajak Bram meyakinkan.
"Sory, Bram. Mungkin lain
kali aja. Aku akan pulang naik taksi," tolak Adisti sambil melambaikan
tangannya ketika sebuah taksi melintas di depannya.
Dengan sigap, Adisti membuka
pintu taksi jemputannya tanpa mempedulikan panggilan Bram yang mencoba
mencegahnya. Ah, peduli amat. Toh aku tidak kenbal siapa dia, pikir Adisti
sambil menghempaskan badannya di belakang sopir.
"Jalan, Pak,"
perintahnya pada sang sopir. Dan taksi itupun meluncur membelah jalanan kota
yang terlihat berkilauan karena hujan kembali turun.
***********
"Cowok baru?" tanya
Adinda sambil menyodorkan seikat bunga mawar merah segar. Adinda adalah saudara
kembarAdisti.
Adisti yang sedang membaca novel
mengangkat muka. Dengan mata menyipit dan dahi berkerut memandang bunga di
tangan saudara kembarnya itu.
"Dari siapa?" tanyanya
penasaran.
"Di sini tertulis namanya,
Bram. Oh, cowok baru nan romantis," ledeknya.
Adisti meraih bunga tersebut.
"Busyet, dia mengajak makan
malam, loh," katanya sambil memperlihatkan selembar kertas pink kepada
Adinda.
Adinda mencibir. Dia kurang suka
sebetulnya dengan sifat Adisti yang kadang gonta-ganti cowok. Banyak cowok yang
telah patah hati dibuatnya. Hanya dengan Dipo rupanya Adisti kena batunya.
Cowok pendiam nan kharismatik itu rupanya telah berhasil menjinakkan hati
Adisti. Hanya saja entah kenapa, akhir-akhir ini hubungan keduanya terlihat
sedikit merenggang. Mungkin karena kesibukan masing-masing. Tapi Adinda yakin,
keduanya saling mencintai. Sifat mereka yang kadang bertolak belakang, justru
menjadi hal indah yang saling melengkapi. Barangkali saja keisengan Adisti
sekarang lagi kumat.
"Bagaimana hubungan kamu
dengan Dipo? Baru juga ditinggal sebentar kamu sudah mau pindah ke lain
hati," Adinda mengingatkan.
"Dipo tak punya cukup waktu
lagi untukku sekarang. Bayangkan, Din, sudah hampir dua minggu ini tak ada
kabarnya. Handphone nya juga tidak aktif. Aku pikir, tidak ada salahnya aku
suruh Bram untuk sekedar menemani," Adisti membela diri.
"Terserah kamu lah,"
jawab Adinda sambil keluar dari kamar saudara kembarnya itu.
************
Suatu sore
di taman kota.
Dipo dan Adisti sedang menikmati
senja di bangku taman kota. Langit nampak indah dengan warna kesumba. Di
kejauhan, terlihat gugusan perbukitan yang membiru.
"Ada apa dengan hubungan
kita, Dipo?" tanya Adisti sambil memandang gunung yang membiru di selatan.
"Maksud kamu?" Dipo
balik bertanya.
"Akhir-akhir ini kamu tak
ada waktu lagi buatku. Aku merasa kamu semakin jauh," kata Adisti
perlahan.
Dipo tersenyum. Dirangkulnya
pundak gadis di sebelahnya. Dengan halus Adisti menepisnya.
"Kenapa kamu berfikiran
seperti itu. Akhir-akhir banyak kegiatan yang harus aku lakukan. Lagi pula
sebentar lagi ujian. Aku harus mempersiapkan diri agar kuliahku bisa segera
selesai," kata Dipo sabar.
"Tapi kamu sudah
berkali-kali membatalkan janji kita," tandas Adisti.
"Tolong mengerti, Dis. Aku
tidak bisa meninggalkan segala yang sudah menjadi tanggung jawabku begitu
saja," bujuk Dipo memohon pengertian.
"Jadi kamu anggap selama
ini aku tidak bisa mengerti kamu? Kamu egois! Selama ini aku yang harus selalu
mengalah, begitu?" sengit suara Adisti.
"Bukan begitu, Dis. Tolong
mengerti. Itu semua karena ada hal lain yang lebih mendesak. Kamu jangan emosi
begitu, dong," bujuk Dipo lembut.
"Oke. Untuk sementara ini,
mungkin kita tidak usah bertemu dulu agar kamu bisa fokus pada kepentinganmu
itu. Kamu tidak usah datang dulu ke rumah. Aku pulang sekarang," kata Adisti
bangkit dan menyetop taksi yang melintas.
Tinggal lah Dipo yang tertegun
menatap kepergian gadis pujaannya. Sementara senja telah berganti warna.
Kesumba di ufuk barat kini telah hilang. Hanya ada warna hitam. Warna malam.
**********
"Bertengkar lagi?"
tanya Adinda ketika mendapati Adisti uring-uringan sendiri di kamarnya. Sudah
beberapa hari semenjak pertengkarannya dengan Dipo tempo hari, Adisti jadi
gampang marah dan uring-uringan tak jelas. Menyetel musik keras-keras di
kamarnya.
"Hoy, Dipo di luar,
tuh!" kata Adinda setengak teriak.
"Mau apa katanya?"
tanya Adisti sambil masih berbaring di tempat tidurnya.
"Yang jelas dia ingin
ketemu kamu," jawab Adinda.
Adisti menghembuskan nafas
kuat-kuat. Dalam hatinya sebetulnya dia ingin sekali bertemu Dipo. Segala yang
ada pada diri cowok itu selalu saja membuatnya kangen. Tetapi ego gadis itu
terlalu tinggi, sehingga perasaan kangen itu ditekannya kuat-kuat. Dan kini,
pertahanannya seakan runtuh sudah. Terlalu lama kangen ini menyiksa
hari-harinya.
Akhirnya, setelah merapikan
rambut dan berganti pakaian, diseretnya langkah kakinya ke ruang depan.
"Mau apa kamu ke
sini?" sapanya dingin.
"Maaf, Dis. Aku ingin
menjelaskan, kenapa........"
"Katakan saja
intinya!" potong Adisti tegas.
"Oke. Begini, Dis. Dua
minggu kemarin aku tidak bisa menemui kamu karena aku ada urusan keluar kota.
Aku dan Papa baru saja membeli lahan pertanian yang baru dibuka. Oleh
karenanya, kemarin aku sibuk sekali karena harus menyelesaikan urusan tentang
lahan itu. Jadi selama itu memang handphone aku matikan. Lagipula jaringan di
sana agak payah. Tapi, bukankah ada Bram yang menemanimu?" tanya Dipo
menahan senyum.
Adisti terkejut.
Bram???
Dipo kenal Bram?
Sesaat wajah Adisti menegang.
Galau bermain di matanya.
"Kaget? Bram itu anaknya Om
Hendra, adik mama yang baru pindah kemari beberapa minggu yang lalu. Dia sudah
cerita semuanya. Terimakasih kamu tetap mencintai aku, Dis," goda Dipo
akhirnya membuka rahasia.
Adisti lega. Beberapa hari yang
lalu, Bram memang menyatakan cintanya. Tapi Adisti menolak, karena masih
mencintai Dipo.
Adisti masih diam. Berjuta
perasaan memenuhi rongga dadanya. Kesal, marah, malu, kangen, campur aduk jadi
satu.
"Dipooo,,,, aku akan
menuntut balas kalau kamu membuat aku tersiksa rindu seperti ini lagi,"
rajuk Adisti gemas sambil mencubit lengan kekasihnya, sang peneduh jiwanya itu.
0 komentar:
Posting Komentar